Sabtu, 26 Oktober 2013

PIPIT




Ternyata begini rasanya menjadi orang tua. Pagi- pagi sekali saat matahari baru memancarkan secercah cahayanya, kami harus pergi mencari nafkah untuk anak- anak kami. Tak biasanya seperti saat kami masih berdua, tanpa kehadiran anak anak. Kami memang sudah terbiasa mencari nafkah pagi-pagi sekali. Tapi kali ini, rasa tanggung jawab sebagai orang tua makin memotivasi dan menyemangati kami.
Kebahagiaan yang begitu mendalam, begitu terpancar  dari mata kami. Kami beryukur pada Ilahi. Begitulah. Kami senantiasa memuji Tuhan pada pagi dan sore hari. karenanya kami selalu saja mendapat anugerah dari-Nya. Tak pernah seharipun kami kelaparan. Ada-ada saja rejeki yang kami dapatkan. Kami begitu percaya pada Tuhan. Dia begitu sayang pada kami. Alhamdulillah, kami selalu memuji-Nya tanpa henti.
Sejenak suamiku, mengajakku bertasbih di atas sebuah dahan. Ini memang sudah menjadi kebiasaan kami sebelum mencari makan. Kami yakin Allah pasti akan memberikan nikmatnya pada kami hari ini, kami juga yakin semakin kami bersyukur, maka Allah juga akan menambahkan nikmatnya sehingga kami bisa memberi makan anak-anak kami.
Benar saja, tak lama aku melihat seekor ulat di selembar daun di pucuk sana. aku segera terbang menghampiri. Nampaknya lezat sekali. Juga cukup besar. Sepertinya cukup untuk sarapan anak-anakku pagi ini. Aku begitu gembira. Tak lama, suamiku juga mendapat seekor ulat yang sama besar dengan yang kudapatkan. Kami tersenyum senang. Terbayang betapa gembiranya anak-anak kami melihat orang tua mereka datang dengan membawa makanan.  Dengan penuh kasih, kami menyuapi mereka yang masih kecil- kecil. Mereka masih nampak lemah, mereka masih belum bisa terbang dan mereka belum bisa mencari makan sendiri. Aura kebahagiaan terlihat di mataku. Duh, Senangnya menjadi orang tua.
Suamiku mengajakku segera pulang, aku mengiyakan. Namun tiba tiba kulihat sebuah benda begitu begitu keras melayang kencang ke arah suamiku. Dia ambruk begitu saja dan jatuh. Aku tahu benda keras itu adalah sebuah batu kerikil. Dari mana datangnya? Sekilas ku lihat, beberapa anak kecil berlarian ke arah suamiku jatuh. Di tangan mereka kulihat ada ketapel. Perasaanku campur aduk. Aku ketakutan, aku panic, aku benci dan aku juga marah pada mereka. Mereka sungguh kejam. Apa salah kami? Ku lihat suamiku terkapar. Aku sangat sedih kehilangan suami yang kucintai. Sementara anak anak itu? mereka tertawa- tawa bangga. Aku benci sekali.
“Ada satu lagi, coba lihat itu”, teriak salah seorang anak. Dia menunjuk ke arah ku.
Aku jadi panic. Mereka sekarang memburuku. Aku buru- buru terbang menjauh. Namun dengan segala perasaanku yang kacau, aku lari tak tahu arah. Aku tak memperhatikan jalan- jalan yang kulalui sampai akhirnya aku kehilangan kesadaran saat menabrak sebuah pohon.. Tubuhku melayang turun dan terhempas keras. Duniaku kini hilang, sayup- sayup tergiang kicauan anak- anakku.
“Maafkan Mama dan Papa, Nak. Pagi ini kami tidak bisa membawakan makanan dan meyuapi kalian” bisikku pelan sebelum akhirnya pandanganku tiba-tiba menjadi gelap.
***
Di atas sebatang pohon, terdengar kicauan dari sebuah sarang. Di sana ada tiga ekor anak burung pipit yang masih kecil- kecil. Mereka kelaparan.
“Papa sama Mama kok belum datang?”
“Aku sudah lapar”
“Apa Papa dan Mama pergi meninggalkan kita?”
“Papa sama Mama nggak saya lagi yaa sama kita?”
“Papa dan Mama, Kok jahat sekali?”
Meresapi itu mereka seketika menangis, sementara itu seekor ular cukup besar merayap pelan menuju sarang mereka.
***

Senin, 21 Oktober 2013

Keadilan.

Mungkin kita pernah menjumpai orang orang baik, suka menolong orang, tidak mudah marah, tak suka mendendam; karena kebaikannya itu dia sering ditipu, “dimanfaatkan” oleh orang-orang jahat, sehingga kita melihat orang ini sampai matinyapun terkesan dalam keadaan sengsara. Sebaliknya, mungkin kita tahu ada oang yang suka menipu, jika memperoleh jabatan selalu menggunakan jabatannya untuk korupsi; walaupun demikian dia terlihat “bahagia” hidupnya, bahkan tak pernah terjerat oleh urusan hukum. Dia sangat lihai, sepertinya kebal hukum. Kalaulah ada orang yang melaporkan kejahatannya justru yang melapor itu yang masuk bui. Adilkah keadaan masyarakat kita yang banyak penduduknya sedemikian itu? Akan  begitu teruskah masyarakat kita itu? Lalu di manakah letak keadilan?
Dari sifat adilNya, Allah menentukan adanya kehidupan akhirat sebagai kelanjutan kehidupan di dunia; bentuk kehidupan ini diawali dengan adanya qiyamat, qiyamat kecil yang berupa kematian sedangkan berikutnya ada qiyamat besar dengan pengadilan di padang makhsyar nanti. Dalam pengadilan di hari qiyamat itu hakimnya adalah Allah sendiri; Allah itu seadil-adilnya hakim (QS 95:8). Allah tidak dapat disuap untuk memenangkan yang salah, ataupun disuap untuk mengalahkan yang benar.  Di saat itu orang tak dapat mengandalkan harta yang banyak ataupun anak yang berkedudukan untuk  menyelamatkan dirinya dari ancaman hukuman Allah.
Jika di pengadilan dunia ada saksi yang dapat dibayar untuk membenarkan seseorang ataupun untuk mencelakakan seseorang,  di pengadilan Allah nanti tak ada saksi  yang dapat disuap. Saksi kuncinya adalah organ tubuhya sendiri; seseorang tak dapat berkilah atau mencari-cari alasan; mulutnya ditutup, tangan dan kakinyalah yang “melapor” apa yang telah diperbuat oleh seseorang (QS 36:65).  Semua keputusan Allah didasarkan pada kenyataan dalam catatan rekaman para malaikat yang tersimpan otentik di lauhul mahfudz, yang ada utuh bagi masing-masing  individu. Dari pengadilan itu yang benar akan diberi ganjaran pahala surga, sedangkan yang salah akan mendapat  hukuman siksa neraka; semuanya sepadan dengan nilai perbuatannya dalam kehidupannya di dunia (QS 6:132); tidak ada yang dirugikan  (QS 40:17).
Allah itu Maha Penyayang. Sifat penyayangnya lebih dominan ketimbang murkaNya; murkaNya ini dapat menimbulkan bencana mendunia. Oleh karena Penyayangnya itu orang yang berbuat kebajikan dibalas  dengan pahala berlipat ganda (paling sedikit sepuluh kalinya), sedangkan jika orang berbuat salah hanya dihukumi satu saja ataupun bahkan dimaafkan jika mau betaubat (QS 4: 17-18); Allah penerima taubat (QS 6:54).
Kasih sayang Allah itu berlimpah. Rasulullah menggambarkan jika misalnya semua kasih sayangNya dibayangkan sebagai sebanyak seratus bagian, maka dengan yang satu bagian saja yang ditebarkan Allah di alam ini sudah menjadikan seekor induk hewan mau menyusui anaknya, suami-isteri saling berkasih sayang, nenek menyayangi cucunya, kakak-adik saling menyayangi. Yang selebihnya akan ditebarkan dalam kehidupan surga.
Semoga kita dapat sukses melewati pengadilan di hari qiyamat nanti dengan memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan surga.

Mata Kaki Harus Menempel?


By : Hanif Luthfi, S.Sy.


altBukan hal yang aneh kalau sebelum shalat, pak imam mengingatkan para jamaah sambil memeriksa barisan, ”Mohon shafnya dirapat dan diluruskan”.


Tapi pernahkan berdiri di samping Anda jamaah yang suka memepet-mepetkan kakinya ke kaki Anda? Bahkan hampir menginjak anda atau kaki jamaah lain? 


Kalau Anda pernah mengalaminya, dan agak merasa risih, terus terang Penulis juga pernah mengalaminya. Dan ternyata tidak sedikit mereka yang mengalami dipepet-pepet seperti itu. 
Sampai ada seorang jamaah di satu masjid curhat kepada penulis,”Pokoknya saya tidak mau shalat di samping dia!”, katanya. ”Kenapa?” tanya Penulis. ”Kakinya itu lho, masak saya dipepet-pepet terus sampai mau diinjak. Shalat saya malah jadi tidak khusyu’.” 


Beberapa hari yang lalu, Penulis ditanya seseorang tentang hadits keharusan saling menempelnya mata kaki, sebagai bentuk kesempurnaan shaf. Katanya haditsnya shahih diriwyatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya. Dan ternyata memang hadits inilah yang disinyalir menjadi pijakan teman-teman yang beranggapan bahwa kaki harus benar-benar nempel dengan kaki jamaah lain.


Masalah ini mari kita bahas dengan kepala dingin, dengan merujuk ke kitab-kitab para ulama yang muktamad. Mari kita telusuri dan dengan seksama apa komentar para ulama dalam hal ini. 


A. Nash Hadits

Tidak keliru kalau dikatakan bahwa keharusan menempel itu berdasarkan hadits-hadits yang shahih, bahkan diriwayatkan oleh Bukhari. Dan jumlahnya bukan hanya satu, tetapi cukup banyak kita temukan. 


Namun kalau kita teliti di hulunya, rata-rata semuanya kembali kepada dua di level  shahabat; yaitu riwayat Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyirradhiyallahuanhuma.


Sampai disini, kita semua sepakat bahwa urusan menempel ini memang ada haditsnya dan statusnya adalah hadits yang shahih. 


Tetapi apakah kalau suatu hadits itu shahih, lantas bisa langsung menjadi dipastikan hukumnya jadi wajib? Dan apakah berdosa kalau tidak diamalkan? 


Jawabnya tentu tidak sekedar bilang iya. Kita perlu lihat dulu apa dan bagaimana penjelasan dari para fuqaha dan ulama tentang urusan pengertian hadits ini. 
Sebab kajian yang ilmiyah adalah kajian yang berciri hati-hati dan tidak terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan. 

Mari kita bahas dahulu analisa para ulama.


1. Hadits Riwayat Anas bin Malik

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ»


Dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad shallaAllah alaih wasallam: ”Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku.” ada diantara kami orang yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kaki dengan telapak kakinya.(HR. Al-Bukhari)


Al-Imam Al-Bukhari mencantumkan teks hadits ini dalam kitab As-Shahih, pada  Bab Merapatkan Pundak Dengan Pundak dan Telapak Kaki dengan Telapak Kaki, hal. 1/146. 

Catatan

Riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu menggunakan redaksi [القدم], sehingga Imam Bukhari pun mengawali hadits dengan judul merapatkan pundak dengan pundak dan telapak kaki dengan telapak kaki.


2. Hadits Riwayat an-Nu’man bin Basyir

وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ: رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ


An-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki-laki diantara kami ada yang menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya(HR. Bukhari)


Hadits kedua ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab As-Shshahih, pada bab yang sama dengan hadits di atas.

Catatan

Hadits kedua ini mu’allaq dalam shahih Bukhari, hadits ini lengkapnya adalah:

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ, حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ أَبِي الْقَاسِمِ الْجَدَلِيِّ, قَالَ أَبِي: وحَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ, أَخْبَرَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ حُسَيْنِ بْنِ الْحَارِثِ أَبِي الْقَاسِمِ, أَنَّهُ سَمِعَ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ, قَالَ: أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ, فَقَالَ: " أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ, ثَلَاثًا وَاللهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ " قَالَ: " فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ, وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَتِهِ وَمَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِهِ

An-Nu’man bin Basyir berkata: Rasulullah menghadap kepada manusia, lalu berkata: Tegakkanlah shaf kalian!; tiga kali. Demi Allah, tegakkanlah shaf kalian, atau Allah akan membuat perselisihan diantara hati kalian. Lalu an-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki-laki menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, dengkul dengan dengkul dan bahu dengan bahu.

Selain diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, hadits-hadits ini juga diriwayatkan oleh para ulama hadits, diantaranya 
  • Al-Imam Abu Daud dalam kitab Sunan-nya, 1/ 178,
  • Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad-nya, hal. 30/378, 
  • Al-Imam Ad-Daraquthni dalam kitab Sunan-nya hal. 2/28, 
  • Al-Imam Al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya hal. 1/123]

Catatan

Setelah Nabi memerintahkan menegakkan shaf, shahabat yang bernama An-Nu’man bin Basyir radhiyallahuanhu melihat seorang laki-laki yang menempelkan mata kaki, dengkul dan bahunya kepada temannya.



B. Kajian dan Pembahasan Hadits

Dalam pembahasan hadits kali ini, kita akan kemukakan dahulu komentar para ulama terkait implementasi hukum dari hadits ini. 


Memang para ulama berbeda-beda dalam memberi komentar serta menarik kesimpulan hukum. Ada yang cenderung agak galak mengharuskan kita melihat tektualnya, dan dan ada juga yang melihat maqashidnya. Kita mulai dari yang cukup ”galak” dalam memahami hadits ini.


1. Komentar Syeikh Nashiruddin Al-Albani 

Syeikh Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H) dalam kitabnya, Silsilat al-Ahadits as-Shahihah, hal. 6/77 menuliskan :

وقد أنكر بعض الكاتبين في العصر الحاضر هذا الإلزاق, وزعم أنه هيئة زائدة على الوارد, فيها إيغال في تطبيق السنة! وزعم أن المراد بالإلزاق الحث على سد الخلل لا حقيقة الإلزاق, وهذا تعطيل للأحكام العملية, يشبه تماما تعطيل الصفات الإلهية, بل هذا أسوأ منه

Sebagian penulis zaman ini telah mengingkari adanya ilzaq (menempelkan mata kaki, dengkul, bahu) ini, hal ini bisa dikatakan menjauhkan dari menerapkan sunnah. Dia menyangka bahwa yang dimaksud dengan “ilzaq” adalah anjuran untuk merapatkan barisan saja, bukan benar-benar menempel. Hal tersebut merupakan ta’thil (pengingkaran) terhadap hukum-hukum yang bersifat alamiyyah, persis sebagaimana ta’thil (pengingkaran) dalam sifat Ilahiyyah. Bahkan lebih jelek dari itu.

Al-Albani secara tegas memandang bahwa yang dimaksud ilzaq dalam hadits adalah benar-benar menempel. Artinya, sesama mata kaki, sesama dengkul dan sesama bahu harus benar nempel dengan orang di sampingnya. Dan itulah yang dia katakan sebagai SUNNAH Nabi. 

Tak hanya berhenti sampai disitu, Al-Albani dalam bukunya juga mengancam mereka yang tidak sependapat dengan pendapatnya, sebagai orang yang ingkar kepada sifat Allah.

Maksudnya kalau orang berpendapat bahwa ilzaq itu hanya sekedar anjuran untuk merapatkan barisan, dan bukan benar-benar saling menempelkan bahu dengan bahu, dengkul dengan dengkul , dan mata kaki dengan mata kaki, sebagai orang yang muatthil. Maksudnya orang itu dianggap telah ingkar terhadap sifat Allah, bahkan keadaanya lebih jelek dari itu.


Untuk itu pendapat Al-Albani ini didukung oleh murid-murid setianya. Dimana-mana mereka menegaskan bahwa ilzaq ini disebut sebagai sunnah mahjurah, yaitu sunnah yang telah banyak ditinggalkan oleh orang-orang. Oleh karena itu perlu untuk dihidup-hidupkan lag di masa sekarang.

Wah, pedas juga komentarnya. Kira-kira siapakah penulis abad ini yang dimaksud al-Albani ya? 


2. Syeikh Bakr Abu Zaid  :  Imam Masjid An-Nabawi Anggota Hai'at Kibar Ulama Saudi Arabia

Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) adalah salah seorang ulama Saudi yang pernah menjadi Imam Masjid Nabawi, dan menjadi salah satu anggota Haiah Kibar Ulama Saudi. Beliau menulis kitab yang berjudul La Jadida fi Ahkam as-Shalat (Tidak Ada Yang Baru Dalam Hukum Shalat), hal. 13.  Dalam tulisannya Syiekh Bakr Abu Zaid agak berbeda dengan pendapat Al-Albani :

وإِلزاق الكتف بالكتف في كل قيام, تكلف ظاهر وإِلزاق الركبة بالركبة مستحيل وإِلزاق الكعب بالكعب فيه من التعذروالتكلف والمعاناة والتحفز والاشتغال به في كل ركعة ما هو بيِّن ظاهر.

Menempelkan bahu dengan bahu di setiap berdiri adalah takalluf (memberat-beratkan) yang nyata. Menempelkan dengkul dengan dengkul adalah sesuatu yang mustahil, menempelkan mata kaki dengan mata kaki adalah hal yang susah dilakukan.

Bakr Abu Zaid melanjutkan:

فهذا فَهْم الصحابي - رضي الله عنه - في التسوية: الاستقامة, وسد الخلل لا الإِلزاق وإِلصاق المناكب والكعاب. فظهر أَن المراد: الحث على سد الخلل واستقامة الصف وتعديله لا حقيقة الإِلزاق والإِلصاق

Inilah yang difahami para shahabat dalam taswiyah shaf: Istiqamah, menutup sela-sela. Bukan menempelkan bahu dan mata kaki. Maka dari itu, maksud sebenarnya adalah anjuran untuk menutup sela-sela, istiqamah dalam shaf, bukan benar-benar menempelkan.

Jadi, menurut Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) hadits itu bukan berarti dipahami harus benar-benar menempelkan mata mata kaki, dengkul dan bahu. Namun hadits ini hanya anjuran untuk merapatkan dan meluruskan shaf.
Haditsnya sama, tapi berbeda dalam memahaminya. Pendapat Bakr Abu Zaid ini berseberangan dengan pendapat Al-Albani. Hanya saja al-Albani cukup ”galak”, dengan mengatakan bahwa yang berbeda dengan pemahaman dia, dianggap lebih jelek daripada ta’thil/ inkar terhadap sifah Allah. 


3. Komentar Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

Mari kita telusuri lagi pendapat yang lain, kita temui ulama besar Saudi Arabia, Syeikh Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H). Beliau ini juga  pernah ditanya tentang menempelkan mata kaki. Dan beliau pun menjawab saat itu dengan jawaban yang agak berseberangan dengan pendapat Al-Albani.

أن كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق المحاذاة وتسوية الصف, فهو ليس مقصوداً لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم, ولهذا إذا تمت الصفوف وقام الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه لتحقق المساواة, وليس معنى ذلك أن يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع الصلاة.

Setiap masing-masing jamaah hendaknya menempelkan mata kaki dengan jamaah sampingnya, agar shaf benar-benar lurus. Tapi menempelkan mata kaki itu bukan tujuan intinya, tapi ada tujuan lain. Maka dari itu, jika telah sempurna shaf dan para jamaah telah berdiri, hendaklah jamaah itu menempelkan mata kaki dengan jamaah lain agar shafnya lurus. Maksudnya bukan terus menerus menempel sampai selesai shalat.

Lihat : Muhammad bin Shalih al-Utsaimin; w. 1421 H, Fatawa Arkan al-Iman, hal. 1/ 311

Ternyata Syiekh Al-Utsaimin sendiri memandang bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan inti. Menempelkan kaki itu hanyalah suatu sarana bagaimaan agar shaf shalat bisa benar-benar lurus. 

Jadi menempelkan mata kaki dilakukan hanya di awal sebelum shalat saja. Dan begitu shalat sudah mulai berjalan, sudah tidak perlu lagi. Maka tidak perlu sepanjang shalat seseorang terus berupaya menempel-nempelkna kakinya ke kaki orang lain, yang membuat jadi tidak khusyu' shalatnya.


4. Komentar Ibnu Rajab al-Hanbali

Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) termasuk ulama besar yang menulis kitab penjelasan dari Kitab Shahih Bukhari. Ibnu Rajab menuliskan:

حديث أنس هذا: يدل على أن تسوية الصفوف: محاذاة المناكب والأقدام.

Hadits Anas ini menunjukkan bahwa yang dimaksud meluruskan shaf adalah lurusnya bahu dan telapak kaki.
lihat : Ibnu Rajab al-Hanbali; w. 795 H, Fathu al-Bari, hal.6/ 282.

Nampaknya Ibnu Rajab lebih memandang bahwa maksud hadits Anas adalah meluruskan barisan, yaitu dengan lurusnya bahu dan telapak kaki. 

Komentar Ibnu Hajar (w. 852 H)
Ibnu Hajar al-Asqalani menuliskan:

الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ

Maksud hadits ”ilzaq” adalah berlebih-lebihan dalam meluruskan shaf dan menutup celah. [Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211]

Memang disini beliau tidak secara spesifik menjelaskan harus menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu. Karena maksud haditsnya adalah untuk berlebih-belihan dalam meluruskan shaf dan menutup celahnya.



C. Point-Point Penting

Diatas sudah dipaparkan beberapa pemahaman ulama terkait haruskah mata kaki selalu ditempel-tempelkan dengan sesama jamaah dalam satu shaf. 

Sekarang mari kita lanjutkan dengan nalar dan penelitian kita sendiri. Pertanyaannya adalah : apakah menempelkan mata kaki itu sunnah Nabi SAW atau bukan? Dalam arti apakah hal itu merupakan contoh langsung dari Nabi SAW atau bentuk perintah yang secara nash beliau SAW menyebut : HARUS MENEMPEL, kalau tidak nanti masuk neraka?

1. Menempelkan Mata Kaki Dalam Shaf Bukan Tindakan Atau Anjuran Nabi SAW

Bukankah haditsnya jelas Shahih dalam Shahih Bukhari dan Abu Daud? 
Iya sekilas memang terkesan bahwa menempelkan itu perintah beliau SAW. Tapi keshahihan hadits saja belum cukup tanpa pemahaman yang benar terhadap hadits shahih.

Jika kita baca seksama teks hadits dua riwayat diatas, kita dapati bahwa ternyata yang Nabi SAW anjurkan adalah menegakkan shaf. Perhatikan redaksinya : 

أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ

Tegakkah barisan kalian

Itu yang beliau SAW katakan. Sama sekali beliau SAW tidak berkata, ”Tempelkanlah mata kaki kalian!”. Dan beliau juga tidak main ancam siapa yang tidak melakukannya dianggap telah kafir atau ingkar dengan sifat-sifat Allah. Yang bilang seperti itu hanya Al-Albani seorang. Para ulama sepanjang zaman tidak pernah berkata seperti itu, kecuali murid-murid pendukungnya saja.

Dan Nabi SAW sendiri dalam shalatnya juga tidak pernah melakukan hal itu.


2. Menempelkan Mata Kaki Adalah Pemahaman Salah Satu Dari Shahabat

Coba kita baca lagi haditsnya dengan seksama. Dalam riwayatnya disebutkan:
  • [وَكَانَ أَحَدُنَا] dan salah satu dari kami
  • [رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا] saya melihat seorang laki-laki dari kami
  • [فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ] saya melihat seorang laki-laki

Meskipun dengan redaksi yang berbeda, tetapi kesemuanya merujuk pada makna bahwa ”salah satu” sahabat Nabi ada yang melakukan hal itu. Maka hal itu adalah perbuatan dari salah satu sahabat Nabi, hasil dari pemahamannya setelah mendengar perintah Nabi agar menegakkan shaf.

Terkait ucapan atau perbuatan shahabat, Al-Amidi (w. 631 H) salah seorang pakar Ushul Fiqih menyebutkan:

ويدل على مذهب الأكثرين أن الظاهر من الصحابي أنه إنما أورد ذلك في معرض الاحتجاج وإنما يكون ذلك حجة إن لو كان ما نقله مستندا إلى فعل الجميع لأن فعل البعض لا يكون حجة على البعض الآخر ولا على غيرهم

Menurut madzhab kebanyakan ulama’, perbuatan shahabi menjadi hujjah jika didasarkan pada perbuatan semua shahabat. Karena perbuatan sebagian tidak menjadi hujjah bagi sebagian yang lain, ataupun bagi orang lain.

Lihat  :Al-Amidi; w. 631 H, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, hal. 2/99

Jadi, menempelkan mata kaki itu bisa menjadi hujjah jika dilakukan semua shahabat. Dari redaksi hadits, kita dapati bahwa menempelkan mata kaki dilakukan oleh seorang laki-laki pada zaman Nabi. Kita tidak tahu siapakah lelaki itu. Lantas bagaimana dengan Anas yang telah meriwayatkan hadits?


3. Anas tidak melakukan hal itu

Jika kita baca teks hadits dari Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyir di atas, sebagai dua periwayat hadits, ternyata mereka berdua hanya melihat saja. Mereka malah tidak melakukan apa yang mereka lihat. 
Kenapa?

Karena yang melakukannya bukan Rasulullah SAW sendiri. Dan para shahabat yang lain juga tidak melakukannya. Yang melakukannya hanya satu orang saja. Itupun namanya tidak pernah disebutkan alias anonim.

Hal itu diperkuat dengan keterangan Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) melanjutkan riwayat Anas bin Malik:

وَزَادَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ وَلَوْ فَعَلْتُ ذَلِكَ بِأَحَدِهِمُ الْيَوْمَ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بغل شموس

Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya dari Anas; jika saja hal itu saya lakukan sekarang dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari sebagaimana keledai yang lepas. [Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211]

Jika menempelkan mata kaki itu sungguh-sungguh anjuran Nabi, maka mereka sebagai salaf yang shalih tidak akan lari dari hal itu dan meninggalkannya.

Perkataan Anas bin Malik, ”jika saja hal itu saya lakukan sekarang” memberikan pengertian bahwa Anas sendiri tidak melakukannya saat ini.


4. Bukankah Itu Sunnah Taqririyyah?

Barangkali para pembela pendapat tempe-menempel matakaki itu berhujjah, jika ada suatu perbuatan yang dilakukan di hadapan Nabi SAW, sedang beliau SAW diam saja dan tidak melarangnya, maka perbuatan itu disebut sunnah taqririyyah. Jadi termasuk sunnah juga.

Jawabnya, tentu benar sekali bahwa hal itu merupakan sunnah taqririyah. Tapi perlu diingat, bahwa diamnya Nabi ketika ada suatu perbuatan dilakukan dihadapannya itu tidak berfaedah kecuali hanya menunjukkan bolehnya hal itu.
Contoh sunnah taqririyyah adalah makan daging dhab dan ’azl yaitumengeluarkan sperma diluar kemaluan istri. Meskipun keduanya sunnah taqririyyah, tapi secara hukum berhenti sampai kita sekedar dibolehkan melakukannya. 

Dan sunnah taqririyah itu tidak pernah sampai kepada hukum sunnah yang dianjurkan, dan tentu tidak bisa menjadi kewajiban. Apalagi sampai main ancam bahwa orang yang tidak melakukannya, dianggap telah ingkar kepada sifat-sifat Allah. Ini adalah sebuah fatwa yang agak emosional dan memaksakan diri. Dan yang pasti fatwa seperti ini sifatnya menyendiri tanpa ada yang pernah mendukungnya.

Tidak bisa kita bayangkan, cuma gara-gara ada shahabat makan daging dhab dan melakukan azal, dan kebetulan memang Nabi SAW tidak melarangnya, lantas kita berfatwa seenaknya untuk mewajibkan umat Islam sedunia sepanjang zaman sering-sering makan daging biawak. Yang tidak doyan makan daging biawak divonis telah ingkar kepada sifat-sifat Allah.


5. Susah Dalam Prakteknya

Penulis kira, jika pun dianggap menempelkan mata kaki itu sebagai anjuran, tak ada diantara kita yang bisa mempraktekannya.

Jika tidak percaya, silahkan saja dicoba sendiri menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu dalam shaf.


D. Kesimpulan

Berangkat dari pertanyaan awal, apakah mata kaki ”harus” menempel dalam shaf shalat? 
Ada dua pendapat; pertama yang mengatakan harus menempel. Ini adalah pendapat Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H). Bahkan beliau mengatakan bahwa yang mengatakan tidak menempel secara hakiki itu lebih jelek dari faham ta’thil sifat Allah.

Pendapat kedua, yang mengatakan bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan utama dan tidak harus. Tujuan intinya adalah meluruskan shaf. Jikapun menempelkan mata kaki, hal itu dilakukan sebelum shalat, tidak terus menerus dalam shalat. Ini adalah pendapat Utsaimin. Dikuatkan dengan pendapat Bakr Abu Zaid.

Sampai saat ini, penulis belum menemukan pendapat ulama madzhab empat yang mengharuskan menempelkan mata kaki dalam shaf shalat.

Merapatkan dan meluruskan shaf tentu anjuran Nabi. Tapi jika dengan menempelkan mata kaki, malah shalat tidak khusyu’ dan mengganggu tetangga shaf juga tidak baik.


Wallahu a’lam

Makna Filosofi dan Ekspresi Haji Mabrur

Oleh: Agus Liansyah, S.P.


وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ


Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
[QS. Ali Imraan (3): 97]


Kewajiban melaksanakan ibadah haji bagi mereka yang mampu dan agar segera dilaksanakan serta tidak menunda-nunda ini, berdasarkan firman Allah SWT, QS Ali Imran 97.

Dalam sebuah Hadits, Rasulullah bersabda: "Dari Ibnu Abbas ia berkata, Rasulullah saw bersabda:Barang siapa yang berkehendak melaksanakan haji, maka bersegeralah, karena dapat saja ia tertimpa penyakit, hilangnya kesanggupan atau munculnya hajat keperluan yang lain." (HR Ahmed dan Ibnu Majah).
Melalui syariat Ibadah haji ini, Allah SWT banyak memberikan i'tibar-i'tibar atau pelajaran yang sangat berharga bagi umat manusia. Dari sejumlah rukun dan rangkaian kegiatan ibadah haji, apabila dicermati secara cerdas dan mendalam, sesungguhnya mengandung makna filosofis yang sangat luas dan penting bagi kehidupan umat manusia, di dalamnya terdapat mutiara hikmah yang amat berharga bagi umat manusia. Hal ini seperti yang diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya:


وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ


Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,
supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.
Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).
[QS. al-Hajj (22): 27-29]


Makna filosofis yang bagaimanakah yang dapat diperoleh dari rangkaian ibadah haji itu Seberapa banyak kita dapat menggali makna filosofis dari rangkaian ibadah haji ini?


Pertama, seseorang yang melaksanakan rangkaian ibadah haji pada batas-batas tertentu (miqot), ia wajib menggunakan pakaian ihram yang terdiri dari dae lembar kain putih yang dililitkan pada tubuh mereka.


Filosofi pakaian ihram ini menunjukkan, bahwa seorang manusia itu di hadapan Allah SWT, adalah lemah dan tiada memiliki sesuatu apa pun terkecuali atas pemberian Allah Azza wa Jalla. Pakaian 2 lembar kain putih yang dikenakannya, melambangkan betapa miskinnya manusia di hadapan Allah Rabbul Izzati.


Kedua, Thawaf,yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara berputar mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 kali. Ka'bah dalam Islam pada dasarnya melambangkan ajaran tauhid, karena
pada Ka'batullah seluruh umat Islam diperintahkan untuk menghadapkan wajahnya disaat ia shalat.


Ketiga, sa'i yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara lari-lari kecil antara bukit Shofa dan bukit Marva. Dari sisi historis,, ibadah Sa'i ini mengisahkan perjuangan seorang lbu "Siti Hajar" istri Nabiullah Ibrahim as, untuk mencari air minum untuk diberikan pada Ismail as. Sa'i ini melambangkan tentang kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Seorang ibu yang tidak merasa letih dan lelah, serta putus asa demi mencari setetes air untuk anaknya, sampai Siti Hajar rela berlari bolak-balik sampai 7 kali antara Shofa dan Marwa.


Keempat, Wukuf di Arafah yang pelaksanaannya seluruh umat manusia dari segala penjuru dunia berkumpul di tempat yang lapang di Padang Arafah. Wukuf di Arafah oleh banyak Musafir dinilai sebagai miniatur berkumpulnya manusia di Padang makhsyar nanti. Di tempat inilah digambarkan, bahwa kelak manusia di seluruh penjuru dunia akan berdesak-desakan dan menjalani antrean panjang pada saat menanti hisab amal dan Pengadilan Allah Rabbul Izzati.

"Manusia itu pada dasarnya berkedudukan sama bagaikan gerigi sebuah sisir. Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang bukan Arab, yang membedakan mereka adalah derajat ketakwaannya kepada Allah."


Kelima, Melontar Jumroh, yang dalam praktiknya dilakukan dengan cara melontarkan batu kerikil pada sebuah tempat semacam tugu, yang merupakan gambaran wujud syaitan laknatullah. Prosesi melontar jumroh ini, melambangkan agar umat manusia mampu mengusir dan melempar jauh nafsu-nafsu jahat yang menguasai dirinya.

Dari Jabir RA dia berkata Rasulullah saw bersabda : "Hanya surga balasan (kualitas) haji mabrur.
Para sahabat bertanya: "wahai Nabi, haji mabrur itu apa?"
Nabi menjawab: "(haji mabrur) ialah memberikan makanan dan menyebarkan salam"

Dengan terang hadits di atas menjelaskan dua hal. Pertama, balasan orang yang meraih kualitas haji mabrur itu adalah surga. Kedua, ekspresi kemabruran itu dilakukan dengan dua hal yaitu menebarkan salam dan memberikan makanan.


Menegaskan makna haji mabrur. Kata haji secara leksikal berasal dari hajja-yahujju-hajjan-haajjan yang berarti berkunjung. Dalam term agama, haji bermakna berkunjung ke Makkah untuk menunaikan rangkaian ibadah (haji) dan umrah berupa thawaf, sai, wuquf, mabit di Mina, melempar jumrah yang ditunaikan dalam bulan tertentu. Sedangkan mabrur adalah isim maf'ul dari kata barara (barra) yabirru, birran, baarrun, mabrurun. Kata ini sejatinya bermakna melakukan kebajikan. Salah satu ungkapan yang sering terdengar birr al-walidayn. Itu bermakna melakukan kebaikan kepada kedua orangtua. Kata mabrur dengan demikian bermakna orang yang senantiasa dipenuhi kebaikan. Sedemikian melimpahnya kebaikan yang dilakukannya sampai dia tidak terbersit untuk melakukan kekhilafan. Karena itulah, di lain tempat, kata mabrur dimaknai sebagai khaalishun maqbuul laa khalala fiihi wa lam yukhaalithu syayun - bersih (ikhlas hanya untuk Allah) dan diterima (oleh Allah) tidak ada cacat dan tidak bercampur dengan sesuatu yang jelek. Secara singkatnya al-Ashfahani mabrur maknanya diterima sehingga haji mabrur berarti haji yang diterima (maqbul). Memastikan diterimanya haji seseorang tentu saja Allah Huwa A'lam, Dialah Yang Maha Tahu, namun berdasarkan hadits yang tersyarah pembelajar dituntunkan bahwa kemabruran haji seseorang antara lain ditandai dengan kegemaran alumni haji untuk melakukan kebajikan, antara lain, menebarkan salam dan menyediakan makanan.


Dari penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa tidak ada kemabruran tanpa kebaikan atau tidak ada al-mabrur tanpa disertai al-birr. Kebaikan pertama yang dilakukan peraih kualitas haji mabrur adalah menebarkan salam. Sederhananya itu dilakukan dengan mengucapkan assalaamu'alaikum, keselamatan buat orang-orang di sebelah kanan dan kiri pengucapnya. Lebih dari itu, ucapan tersebut disertai dengan hati yang penuh kedamaian. Sementara perbuatan pengucap salam itu pun mengekspresikan keteduhan, kedamaian, kejernihan. Tidak ada tetangga yang tersakiti oleh perkataannya. Tidak ada teman yang ternistakan oleh perilakunya. Tidak ada makhluk Allah yang teraniaya karena perbuatannya orang yang mengenalnya selalu mendapatkan kedamaian dari perilakunya.


Wallahu A'lam bish-shawab.

My Little Aufaa…




Aneh juga, dulu, sewaktu aku masih sendiri belum berumah tangga belum punya istri dan belum punya anak, aku sudah berharap dan kepengen punya anak. Saking inginnya terkadang aku mikir kira-kira apa nama yang cocok untuk anakku nanti. Kedengarannya sih aneh sekali yaa…. Mengkhayal tingkat tinggi mungkin, nikah aja belum. Tapi begitulah yang kualami.
Setelah seringnya berfikir, aku menemukan nama yang kurasa cukup bagus untuk anakku. Aufaa Novianty El Shaffy. Nama perempuan? Memang. Gak tahu juga yaa, aku kepengen anakku nanti perempuan. Entahlah. Gak ada alasan khusus sebenarnya. Hanya saja, emang udah fitrah dan kodratnya manusia, mungkin. Sebagai perempuan kita cenderung menyukai laki-laki. Dan sebagai laki-laki juga menyukai perempuan. Itu mungkin yaa kenapa aku berharap punya anak perempuan. Duhh, khayalannya super yaa… hehee,
Eitzz, tapi bukan khayalan juga loh, itu mimpi aku juga sebenarnya. Emang beda yaa khayalan sama mimpi? Jelas. Khayalan itu cuma angan- angan yang mustahil untuk diwujudkan, klo mimpi itu berupa keinginan yang tidak mustahil untuk dicapai, akan tetapi mimpi itu bisa saja berubah menjadi khayalan atau angan-angan kosong kalau hanya sekedar keinginan tanpa dibarengi tekad yang kuat dan usaha untuk mencapainya. Bener kaan? Tuh kan tau….
Kita kembali yaa…
Waktu itu, aku sebenarnya juga kurang tau kenapa aku milih nama “Aufaa Novianty El Shaffy” untuk anakku. Menurutku bagus aja, keren dan juga Islami. Menurutku, juga dari nama seorang anak akan tergambar bagaimana intelektual orang tuanya. Makanya aku bela- belain cari- cari nama yang bagus buat anakku nanti. Biar dianggap intelek juga, hhee. Walaupun aku waktu itu sebenarnya kurang begitu mengerti makna dari nama itu. Namun bagiku kesannya bagus dan Islami banget.
Oya, tapi perlu kuperjelas juga. Dibalik nama anakku itu ada filosofinya juga loh. Filosofi menurut persfektifku dulu tentunya. “Aufaa”, sebenarnya waktu itu aku gak tau sama sekali apa sih makna dari nama ini, diambil dari rumpun kata apa? Bagiku kedengarnnya Islami saja.
Trus, kalau “Novianty” itu aku ambil dari kata November. Artinya bulan kapan anakku dilahirkan. Wuihh, ada- ada aja nih. Tapi gak papa jugakan. Awalnya aku berencana nikah tanggal 7 Januari sesuai tanggal lahirku, nah kalau istriku cepat mengandung, selama 9 bulan lebih, artinya anakku lahirnya antara Oktober -November kan? (hahaa, ketawa nih aku nulisnya. Dulu aku emang culun atau cerdas dan optimistis sih yaa? Lucu deh bisa mikir kaya gitu).
Nah, yang terakhir “El Shaffy”, dulu aku pernah baca sebuah tabloid. Disana aku baca sebuah profil seorang gadis Amerika imigran dari Turki or Pakistan (lupa aku). Dia tumbuh di Amerika yang notabenenya nonmuslim. Namun salutnya, dia terus tumbuh menjadi remaja yang senantiasa berpegang teguh terhadap ajaran Islam. Dia terus tumbuh menjadi seorang muslimah yang taat. Kemudian karena kepeduliannya terhadap Islam secara umum dan khususnya Muslim disana yang minoritas, dia berinisiatif mendirikan perusahaan yang bergerak dibidang percetakan majalah Islam (lupa nama majalahnya). Tujuannya mendirikan perusahaan itu diantaranya agar memudahkan hubungan interaksi dan korespondensi antar umat Islam dimanapun berada (khususnya remaja). Dia telah membangun hubungan dengan banyak koresponden di berbagai Negara yang akan memberikan banyak informasi terutama mengenai perkembagan Islam. Selain itu tujuan utamanya adalah untuk mensyiarkan Agama Islam ke berbagai pelosok. Duhh, salut deh aku waktu itu melihat ada remaja yang memiliki inisiatif dan kepedulian yang begitu besar terhadap Islam, mana orangnya cantik lagi (hahaa, dasar laki-laki.. tapi…. Biar bagaimanapun istriku tetap yang tercantik mengalahkan kecantikan bidadari sekalipun, istriku lah yang akan menajdi bidadariku di dunia dan di surga nanti, Aamiin Yaa Rabb). Oh ya,nama remaja muslimah itu adalah Jasmine El Shaffy.
Sekarang udah tau kan, kenapa aku milih nama Aufaa Novianty El Shaffy untuk anakku? Namun, itu perspektifku dulu. Sekarang aku menjadi penasaran mengetahui makna yang sebenarnya. Akupun mencari maknanya lewat translator bahasa Arab. Aku mendapati “Aufaa” itu bermakna orang yang menepati janji. Dan El Shaffy itu bermakna shaf (Sajadah/ Barisan dalam Sholat). Akupun kemudian “merumuskan” (wah, wah, wahh…) filosofi dari nama anakku nanti, yaitu seorang anak yang akan selalu dipercaya orang lain karena senantiasa menepati janji dan kepercayaan orang. Namun janji disini bukan hanya kepada manusia saja. Aku meyakini sebelum seorang anak dilahirkan ke dunia, saat masih dalam kandungan, dia sudah mengadakan perjanjian dengan Allah Rabb semesta alam bahwa dia nantinya akan senantiasa menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Berjalan diatas fitrahnya sesuai kodrat dan iradat-Nya. Aku berharap dia akan menepati janji itu.
Tak kalah pentingnya, makna “El Shaffy” aku filosofikan sebagai seorang yang hatinya senantiasa terpaut mengerjakan sholat. Karena bagiku adalah benar apa yang dikatakan Rasulullah bahwasanya sholat itu adalah tiang agama, aku ingin anakku tumbuh menjadi orang yang akan menegakkan dan mensyiarkan Islam di muka bumi ini. Aku juga ingat bahwa sholat itu merupakan kewajiban utama setiap orang yang telah mengikrarkan syahadah kepada Allah dan Rasulullah. Sebegitu pentingnya, sholatlah yang menjadi tolak ukur dan indicator yang akan ditanyakan pertama kali di akhirat nanti yang akan menentukan kualitas amal lainnya. Begitu pula, dengan yang dinyatakan Allah Yang Maha Benar bahwa sholat itu akan mencegah perbuatan keji dan munkar. Harapanku semoga dia kelak menjadi orang yang senantiasa memelihara sholatnya untuk berinteraksi dan mengisahkan berbagai permasalahannya kepada Allah SWT. Aamiin.
Yaa Allah, jadikanlah harapan ini bukan sekedar harapan saja. Hamba berharap Engkau berkenan mengabulkan semuanya. Hamba menyadari sepenuhnya, apapun yang Engkau pilihkan adalah yang terbaik bagi hamba dan keluarga. Karenanya apapun nanti yang Engkau berikan akan hamba terima, perempuan ataupun laki-laki. Tak apa. Itulah yang terbaik menurut Engkau. Kebanyakan diantara kami tidak mengetahui apa yang paling baik untuk kami dan apa yang paling kami butuhkan. Akan tetapi, dengan kerendahan hati hamba mohon perkenankanlah permohonan hamba. Karuniailah kami keturunan yang mukmin dan mukminah, yang sholeh dan sholehah, yang cerdas, yang baik rupa dan baik akhlaknya serta tergolong orang- orang yang mendirikan sholat, Aamiin Yaa Robbal `Alamiin…
#Persiapan Menjadi Seorang Abi…. ^_^