Sabtu, 26 Oktober 2013

PIPIT




Ternyata begini rasanya menjadi orang tua. Pagi- pagi sekali saat matahari baru memancarkan secercah cahayanya, kami harus pergi mencari nafkah untuk anak- anak kami. Tak biasanya seperti saat kami masih berdua, tanpa kehadiran anak anak. Kami memang sudah terbiasa mencari nafkah pagi-pagi sekali. Tapi kali ini, rasa tanggung jawab sebagai orang tua makin memotivasi dan menyemangati kami.
Kebahagiaan yang begitu mendalam, begitu terpancar  dari mata kami. Kami beryukur pada Ilahi. Begitulah. Kami senantiasa memuji Tuhan pada pagi dan sore hari. karenanya kami selalu saja mendapat anugerah dari-Nya. Tak pernah seharipun kami kelaparan. Ada-ada saja rejeki yang kami dapatkan. Kami begitu percaya pada Tuhan. Dia begitu sayang pada kami. Alhamdulillah, kami selalu memuji-Nya tanpa henti.
Sejenak suamiku, mengajakku bertasbih di atas sebuah dahan. Ini memang sudah menjadi kebiasaan kami sebelum mencari makan. Kami yakin Allah pasti akan memberikan nikmatnya pada kami hari ini, kami juga yakin semakin kami bersyukur, maka Allah juga akan menambahkan nikmatnya sehingga kami bisa memberi makan anak-anak kami.
Benar saja, tak lama aku melihat seekor ulat di selembar daun di pucuk sana. aku segera terbang menghampiri. Nampaknya lezat sekali. Juga cukup besar. Sepertinya cukup untuk sarapan anak-anakku pagi ini. Aku begitu gembira. Tak lama, suamiku juga mendapat seekor ulat yang sama besar dengan yang kudapatkan. Kami tersenyum senang. Terbayang betapa gembiranya anak-anak kami melihat orang tua mereka datang dengan membawa makanan.  Dengan penuh kasih, kami menyuapi mereka yang masih kecil- kecil. Mereka masih nampak lemah, mereka masih belum bisa terbang dan mereka belum bisa mencari makan sendiri. Aura kebahagiaan terlihat di mataku. Duh, Senangnya menjadi orang tua.
Suamiku mengajakku segera pulang, aku mengiyakan. Namun tiba tiba kulihat sebuah benda begitu begitu keras melayang kencang ke arah suamiku. Dia ambruk begitu saja dan jatuh. Aku tahu benda keras itu adalah sebuah batu kerikil. Dari mana datangnya? Sekilas ku lihat, beberapa anak kecil berlarian ke arah suamiku jatuh. Di tangan mereka kulihat ada ketapel. Perasaanku campur aduk. Aku ketakutan, aku panic, aku benci dan aku juga marah pada mereka. Mereka sungguh kejam. Apa salah kami? Ku lihat suamiku terkapar. Aku sangat sedih kehilangan suami yang kucintai. Sementara anak anak itu? mereka tertawa- tawa bangga. Aku benci sekali.
“Ada satu lagi, coba lihat itu”, teriak salah seorang anak. Dia menunjuk ke arah ku.
Aku jadi panic. Mereka sekarang memburuku. Aku buru- buru terbang menjauh. Namun dengan segala perasaanku yang kacau, aku lari tak tahu arah. Aku tak memperhatikan jalan- jalan yang kulalui sampai akhirnya aku kehilangan kesadaran saat menabrak sebuah pohon.. Tubuhku melayang turun dan terhempas keras. Duniaku kini hilang, sayup- sayup tergiang kicauan anak- anakku.
“Maafkan Mama dan Papa, Nak. Pagi ini kami tidak bisa membawakan makanan dan meyuapi kalian” bisikku pelan sebelum akhirnya pandanganku tiba-tiba menjadi gelap.
***
Di atas sebatang pohon, terdengar kicauan dari sebuah sarang. Di sana ada tiga ekor anak burung pipit yang masih kecil- kecil. Mereka kelaparan.
“Papa sama Mama kok belum datang?”
“Aku sudah lapar”
“Apa Papa dan Mama pergi meninggalkan kita?”
“Papa sama Mama nggak saya lagi yaa sama kita?”
“Papa dan Mama, Kok jahat sekali?”
Meresapi itu mereka seketika menangis, sementara itu seekor ular cukup besar merayap pelan menuju sarang mereka.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar