Ternyata
begini rasanya menjadi orang tua. Pagi- pagi sekali saat matahari baru
memancarkan secercah cahayanya, kami harus pergi mencari nafkah untuk anak-
anak kami. Tak biasanya seperti saat kami masih berdua, tanpa kehadiran anak
anak. Kami memang sudah terbiasa mencari nafkah pagi-pagi sekali. Tapi kali
ini, rasa tanggung jawab sebagai orang tua makin memotivasi dan menyemangati
kami.
Kebahagiaan
yang begitu mendalam, begitu terpancar
dari mata kami. Kami beryukur pada Ilahi. Begitulah. Kami senantiasa
memuji Tuhan pada pagi dan sore hari. karenanya kami selalu saja mendapat
anugerah dari-Nya. Tak pernah seharipun kami kelaparan. Ada-ada saja rejeki
yang kami dapatkan. Kami begitu percaya pada Tuhan. Dia begitu sayang pada
kami. Alhamdulillah, kami selalu memuji-Nya tanpa henti.
Sejenak
suamiku, mengajakku bertasbih di atas sebuah dahan. Ini memang sudah menjadi kebiasaan
kami sebelum mencari makan. Kami yakin Allah pasti akan memberikan nikmatnya
pada kami hari ini, kami juga yakin semakin kami bersyukur, maka Allah juga
akan menambahkan nikmatnya sehingga kami bisa memberi makan anak-anak kami.
Benar
saja, tak lama aku melihat seekor ulat di selembar daun di pucuk sana. aku
segera terbang menghampiri. Nampaknya lezat sekali. Juga cukup besar.
Sepertinya cukup untuk sarapan anak-anakku pagi ini. Aku begitu gembira. Tak
lama, suamiku juga mendapat seekor ulat yang sama besar dengan yang kudapatkan.
Kami tersenyum senang. Terbayang betapa gembiranya anak-anak kami melihat orang
tua mereka datang dengan membawa makanan.
Dengan penuh kasih, kami menyuapi mereka yang masih kecil- kecil. Mereka
masih nampak lemah, mereka masih belum bisa terbang dan mereka belum bisa
mencari makan sendiri. Aura kebahagiaan terlihat di mataku. Duh, Senangnya
menjadi orang tua.
Suamiku
mengajakku segera pulang, aku mengiyakan. Namun tiba tiba kulihat sebuah benda
begitu begitu keras melayang kencang ke arah suamiku. Dia ambruk begitu saja
dan jatuh. Aku tahu benda keras itu adalah sebuah batu kerikil. Dari mana
datangnya? Sekilas ku lihat, beberapa anak kecil berlarian ke arah suamiku
jatuh. Di tangan mereka kulihat ada ketapel. Perasaanku campur aduk. Aku
ketakutan, aku panic, aku benci dan aku juga marah pada mereka. Mereka sungguh
kejam. Apa salah kami? Ku lihat suamiku terkapar. Aku sangat sedih kehilangan
suami yang kucintai. Sementara anak anak itu? mereka tertawa- tawa bangga. Aku
benci sekali.
“Ada
satu lagi, coba lihat itu”, teriak salah seorang anak. Dia menunjuk ke arah ku.
Aku
jadi panic. Mereka sekarang memburuku. Aku buru- buru terbang menjauh. Namun
dengan segala perasaanku yang kacau, aku lari tak tahu arah. Aku tak
memperhatikan jalan- jalan yang kulalui sampai akhirnya aku kehilangan
kesadaran saat menabrak sebuah pohon.. Tubuhku melayang turun dan terhempas
keras. Duniaku kini hilang, sayup- sayup tergiang kicauan anak- anakku.
“Maafkan Mama dan Papa, Nak. Pagi ini kami tidak
bisa membawakan makanan dan meyuapi kalian” bisikku pelan sebelum akhirnya
pandanganku tiba-tiba menjadi gelap.
***
Di
atas sebatang pohon, terdengar kicauan dari sebuah sarang. Di sana ada tiga
ekor anak burung pipit yang masih kecil- kecil. Mereka kelaparan.
“Papa
sama Mama kok belum datang?”
“Aku
sudah lapar”
“Apa
Papa dan Mama pergi meninggalkan kita?”
“Papa
sama Mama nggak saya lagi yaa sama kita?”
“Papa
dan Mama, Kok jahat sekali?”
Meresapi
itu mereka seketika menangis, sementara itu seekor ular cukup besar merayap
pelan menuju sarang mereka.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar