Mungkin kita pernah menjumpai orang orang
baik, suka menolong orang, tidak mudah marah, tak suka mendendam; karena
kebaikannya itu dia sering ditipu, “dimanfaatkan” oleh orang-orang jahat,
sehingga kita melihat orang ini sampai matinyapun terkesan dalam keadaan
sengsara. Sebaliknya, mungkin kita tahu ada oang yang suka menipu, jika
memperoleh jabatan selalu menggunakan jabatannya untuk korupsi; walaupun
demikian dia terlihat “bahagia” hidupnya, bahkan tak pernah terjerat oleh
urusan hukum. Dia sangat lihai, sepertinya kebal hukum. Kalaulah ada orang yang
melaporkan kejahatannya justru yang melapor itu yang masuk bui. Adilkah keadaan
masyarakat kita yang banyak penduduknya sedemikian itu? Akan begitu teruskah masyarakat kita itu? Lalu di
manakah letak keadilan?
Dari sifat adilNya, Allah menentukan adanya
kehidupan akhirat sebagai kelanjutan kehidupan di dunia; bentuk kehidupan ini
diawali dengan adanya qiyamat, qiyamat kecil yang berupa kematian sedangkan
berikutnya ada qiyamat besar dengan pengadilan di padang makhsyar nanti. Dalam
pengadilan di hari qiyamat itu hakimnya adalah Allah sendiri; Allah itu
seadil-adilnya hakim (QS 95:8). Allah tidak dapat disuap untuk memenangkan yang
salah, ataupun disuap untuk mengalahkan yang benar. Di saat itu orang tak dapat mengandalkan
harta yang banyak ataupun anak yang berkedudukan untuk menyelamatkan dirinya dari ancaman hukuman
Allah.
Jika
di pengadilan dunia ada saksi yang dapat
dibayar untuk membenarkan seseorang ataupun untuk mencelakakan
seseorang, di pengadilan Allah nanti tak ada saksi yang dapat disuap.
Saksi kuncinya adalah
organ tubuhya sendiri; seseorang tak dapat berkilah atau mencari-cari
alasan;
mulutnya ditutup, tangan dan kakinyalah yang “melapor” apa yang telah
diperbuat
oleh seseorang (QS 36:65). Semua
keputusan Allah didasarkan pada kenyataan dalam catatan rekaman para
malaikat yang
tersimpan otentik di lauhul mahfudz, yang ada utuh bagi masing-masing
individu. Dari pengadilan itu yang benar akan
diberi ganjaran pahala surga, sedangkan yang salah akan mendapat
hukuman siksa neraka; semuanya sepadan dengan
nilai perbuatannya dalam kehidupannya di dunia (QS 6:132); tidak ada
yang
dirugikan (QS 40:17).
Allah itu Maha Penyayang. Sifat
penyayangnya lebih dominan ketimbang murkaNya; murkaNya ini dapat menimbulkan
bencana mendunia. Oleh karena Penyayangnya itu orang yang berbuat kebajikan
dibalas dengan pahala berlipat ganda
(paling sedikit sepuluh kalinya), sedangkan jika orang berbuat salah hanya
dihukumi satu saja ataupun bahkan dimaafkan jika mau betaubat (QS 4: 17-18);
Allah penerima taubat (QS 6:54).
Kasih sayang Allah itu berlimpah.
Rasulullah menggambarkan jika misalnya semua kasih sayangNya dibayangkan
sebagai sebanyak seratus bagian, maka dengan yang satu bagian saja yang
ditebarkan Allah di alam ini sudah menjadikan seekor induk hewan mau menyusui
anaknya, suami-isteri saling berkasih sayang, nenek menyayangi cucunya,
kakak-adik saling menyayangi. Yang selebihnya akan ditebarkan dalam kehidupan
surga.
Semoga
kita dapat sukses melewati pengadilan di hari qiyamat nanti dengan memperoleh
kebahagiaan dalam kehidupan surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar