By : Hanif Luthfi, S.Sy.
Bukan hal yang aneh kalau sebelum shalat, pak imam mengingatkan para jamaah sambil memeriksa barisan, ”Mohon shafnya dirapat dan
diluruskan”.
Tapi
pernahkan berdiri di samping Anda jamaah yang suka memepet-mepetkan
kakinya ke kaki Anda? Bahkan hampir menginjak anda atau kaki jamaah
lain?
Kalau
Anda pernah mengalaminya, dan agak merasa risih, terus terang Penulis
juga pernah mengalaminya. Dan ternyata tidak sedikit mereka yang
mengalami dipepet-pepet seperti itu.
Sampai
ada seorang jamaah di satu masjid curhat kepada penulis,”Pokoknya saya
tidak mau shalat di samping dia!”, katanya. ”Kenapa?” tanya Penulis.
”Kakinya itu lho, masak saya dipepet-pepet terus sampai mau diinjak.
Shalat saya malah jadi tidak khusyu’.”
Beberapa hari yang lalu, Penulis ditanya seseorang tentang hadits keharusan saling menempelnya mata
kaki, sebagai bentuk kesempurnaan shaf. Katanya haditsnya shahih
diriwyatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya. Dan ternyata memang
hadits inilah yang
disinyalir menjadi pijakan teman-teman yang beranggapan bahwa kaki
harus benar-benar nempel dengan kaki jamaah lain.
Masalah
ini mari kita bahas dengan kepala dingin, dengan merujuk ke kitab-kitab
para ulama yang muktamad. Mari kita telusuri dan dengan seksama apa
komentar para ulama dalam hal ini.
A. Nash Hadits
Tidak
keliru kalau dikatakan bahwa keharusan menempel itu berdasarkan
hadits-hadits yang shahih, bahkan diriwayatkan oleh Bukhari. Dan
jumlahnya bukan hanya satu, tetapi cukup banyak kita temukan.
Namun
kalau kita teliti di hulunya, rata-rata semuanya kembali kepada dua di
level shahabat; yaitu riwayat Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyirradhiyallahuanhuma.
Sampai disini, kita semua sepakat bahwa urusan menempel ini memang ada haditsnya dan statusnya adalah hadits yang shahih.
Tetapi
apakah kalau suatu hadits itu shahih, lantas bisa langsung menjadi
dipastikan hukumnya jadi wajib? Dan apakah berdosa kalau tidak
diamalkan?
Jawabnya
tentu tidak sekedar bilang iya. Kita perlu lihat dulu apa dan bagaimana
penjelasan dari para fuqaha dan ulama tentang urusan pengertian hadits
ini.
Sebab kajian yang ilmiyah adalah kajian yang berciri hati-hati dan tidak terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan.
Mari kita bahas dahulu analisa para ulama.
1. Hadits Riwayat Anas bin Malik
حَدَّثَنَا
عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ حُمَيْدٍ
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ
ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ
وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ»
Dari
Anas bin Malik dari Nabi Muhammad shallaAllah alaih wasallam:
”Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat kalian dari belakang
pundakku.” ada diantara kami orang yang menempelkan bahunya dengan bahu
temannya dan telapak kaki dengan telapak kakinya.(HR. Al-Bukhari)
Al-Imam Al-Bukhari mencantumkan teks hadits ini dalam kitab
As-Shahih, pada Bab Merapatkan Pundak Dengan Pundak dan Telapak Kaki dengan Telapak Kaki, hal.
1/146.
Catatan
Riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu menggunakan
redaksi [القدم], sehingga Imam Bukhari pun mengawali hadits dengan
judul merapatkan pundak dengan pundak dan telapak kaki dengan telapak
kaki.
2. Hadits Riwayat an-Nu’man bin Basyir
وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ: رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ
An-Nu’man bin Basyir
berkata: Saya melihat laki-laki diantara kami ada yang menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya(HR. Bukhari)
Hadits kedua ini juga diriwayatkan oleh
Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab As-Shshahih, pada bab yang sama dengan hadits di atas.
Catatan
Hadits kedua ini mu’allaq dalam shahih Bukhari, hadits ini lengkapnya adalah:
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ, حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ أَبِي الْقَاسِمِ الْجَدَلِيِّ,
قَالَ أَبِي: وحَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ, أَخْبَرَنَا زَكَرِيَّا,
عَنْ حُسَيْنِ بْنِ الْحَارِثِ أَبِي الْقَاسِمِ, أَنَّهُ سَمِعَ
النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ, قَالَ: أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ, فَقَالَ: "
أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ, ثَلَاثًا وَاللهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ
لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ " قَالَ: " فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ
يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ, وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَتِهِ
وَمَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِهِ
An-Nu’man
bin Basyir berkata: Rasulullah menghadap kepada manusia, lalu berkata:
Tegakkanlah shaf kalian!; tiga kali. Demi Allah, tegakkanlah shaf
kalian, atau Allah akan membuat perselisihan diantara hati kalian. Lalu
an-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki-laki menempelkan mata
kakinya dengan mata kaki temannya, dengkul dengan dengkul dan bahu
dengan bahu.
Selain diriwayatkan
oleh Al-Imam Al-Bukhari, hadits-hadits ini juga diriwayatkan oleh para
ulama hadits, diantaranya
- Al-Imam Abu Daud dalam kitab Sunan-nya, 1/ 178,
- Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad-nya, hal. 30/378,
- Al-Imam Ad-Daraquthni dalam kitab Sunan-nya hal. 2/28,
- Al-Imam Al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya hal. 1/123]
Catatan
Setelah Nabi memerintahkan menegakkan shaf, shahabat yang bernama An-Nu’man bin Basyir radhiyallahuanhu melihat seorang laki-laki yang menempelkan mata kaki, dengkul dan bahunya kepada temannya.
B. Kajian dan Pembahasan Hadits
Dalam pembahasan hadits kali ini, kita akan kemukakan dahulu komentar para
ulama terkait implementasi hukum dari hadits ini.
Memang
para ulama berbeda-beda dalam memberi komentar serta
menarik kesimpulan hukum. Ada yang cenderung agak galak mengharuskan
kita melihat tektualnya, dan dan ada juga yang melihat maqashidnya. Kita
mulai dari yang cukup ”galak” dalam memahami hadits ini.
1. Komentar Syeikh Nashiruddin Al-Albani
Syeikh Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H) dalam kitabnya, Silsilat al-Ahadits as-Shahihah, hal. 6/77 menuliskan :
وقد
أنكر بعض الكاتبين في العصر الحاضر هذا الإلزاق, وزعم أنه هيئة زائدة على
الوارد, فيها إيغال في تطبيق السنة! وزعم أن المراد بالإلزاق الحث على سد
الخلل لا حقيقة الإلزاق, وهذا تعطيل للأحكام العملية, يشبه تماما تعطيل
الصفات الإلهية, بل هذا أسوأ
منه
Sebagian
penulis zaman ini telah mengingkari adanya ilzaq (menempelkan mata
kaki, dengkul, bahu) ini, hal ini bisa dikatakan menjauhkan dari
menerapkan sunnah. Dia menyangka bahwa yang dimaksud dengan “ilzaq”
adalah anjuran untuk merapatkan barisan saja, bukan benar-benar
menempel. Hal tersebut merupakan ta’thil (pengingkaran) terhadap
hukum-hukum yang bersifat alamiyyah, persis sebagaimana ta’thil
(pengingkaran) dalam sifat Ilahiyyah. Bahkan lebih jelek dari itu.
Al-Albani secara tegas
memandang bahwa yang dimaksud ilzaq dalam hadits adalah benar-benar menempel. Artinya, sesama mata kaki, sesama dengkul dan sesama
bahu harus benar nempel dengan orang di sampingnya. Dan itulah yang dia katakan sebagai SUNNAH Nabi.
Tak hanya berhenti sampai disitu, Al-Albani dalam bukunya juga mengancam mereka yang tidak sependapat dengan pendapatnya, sebagai orang yang ingkar kepada sifat Allah.
Maksudnya kalau orang berpendapat bahwa ilzaq itu hanya sekedar anjuran untuk merapatkan barisan, dan bukan benar-benar saling menempelkan bahu dengan bahu, dengkul dengan dengkul , dan mata kaki dengan mata kaki, sebagai orang yang muatthil. Maksudnya orang itu dianggap telah ingkar terhadap sifat Allah, bahkan keadaanya lebih jelek dari itu.
Tak hanya berhenti sampai disitu, Al-Albani dalam bukunya juga mengancam mereka yang tidak sependapat dengan pendapatnya, sebagai orang yang ingkar kepada sifat Allah.
Maksudnya kalau orang berpendapat bahwa ilzaq itu hanya sekedar anjuran untuk merapatkan barisan, dan bukan benar-benar saling menempelkan bahu dengan bahu, dengkul dengan dengkul , dan mata kaki dengan mata kaki, sebagai orang yang muatthil. Maksudnya orang itu dianggap telah ingkar terhadap sifat Allah, bahkan keadaanya lebih jelek dari itu.
Untuk itu pendapat Al-Albani ini didukung oleh
murid-murid setianya. Dimana-mana
mereka menegaskan bahwa ilzaq ini
disebut sebagai sunnah mahjurah, yaitu sunnah yang telah banyak
ditinggalkan oleh orang-orang. Oleh karena itu perlu untuk
dihidup-hidupkan lag di masa sekarang.
Wah, pedas juga komentarnya. Kira-kira siapakah penulis abad ini yang dimaksud al-Albani ya?
2. Syeikh Bakr Abu Zaid : Imam Masjid An-Nabawi Anggota Hai'at Kibar Ulama Saudi Arabia
Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) adalah salah seorang ulama Saudi yang pernah menjadi Imam Masjid Nabawi, dan menjadi salah
satu anggota Haiah Kibar Ulama Saudi.
Beliau menulis kitab yang berjudul La Jadida fi Ahkam as-Shalat (Tidak Ada Yang Baru Dalam Hukum Shalat), hal. 13. Dalam tulisannya Syiekh Bakr Abu Zaid agak berbeda dengan pendapat Al-Albani :
وإِلزاق
الكتف بالكتف في كل قيام, تكلف ظاهر وإِلزاق الركبة بالركبة مستحيل
وإِلزاق الكعب بالكعب فيه من التعذروالتكلف والمعاناة والتحفز والاشتغال به
في كل ركعة ما هو بيِّن ظاهر.
Menempelkan
bahu dengan bahu di setiap berdiri adalah takalluf (memberat-beratkan)
yang nyata. Menempelkan dengkul dengan dengkul adalah sesuatu yang
mustahil, menempelkan mata kaki dengan mata kaki adalah hal yang susah
dilakukan.
Bakr
Abu Zaid melanjutkan:
فهذا
فَهْم الصحابي - رضي الله عنه - في التسوية: الاستقامة, وسد الخلل لا
الإِلزاق وإِلصاق المناكب والكعاب. فظهر أَن المراد: الحث على سد الخلل
واستقامة الصف وتعديله لا حقيقة الإِلزاق والإِلصاق
Inilah
yang difahami para shahabat dalam taswiyah shaf: Istiqamah, menutup
sela-sela. Bukan menempelkan bahu dan mata kaki. Maka dari itu, maksud
sebenarnya adalah anjuran untuk menutup sela-sela, istiqamah dalam shaf,
bukan benar-benar menempelkan.
Jadi,
menurut Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) hadits itu bukan berarti
dipahami harus benar-benar menempelkan mata mata kaki, dengkul dan bahu.
Namun hadits ini hanya anjuran untuk merapatkan dan meluruskan shaf.
Haditsnya
sama, tapi berbeda dalam
memahaminya. Pendapat Bakr Abu Zaid ini berseberangan dengan pendapat
Al-Albani. Hanya saja al-Albani cukup ”galak”, dengan mengatakan bahwa
yang berbeda dengan pemahaman dia, dianggap lebih jelek daripada
ta’thil/ inkar terhadap sifah Allah.
3. Komentar Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Mari
kita telusuri lagi pendapat yang lain, kita temui ulama besar Saudi
Arabia, Syeikh Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H). Beliau ini juga pernah
ditanya tentang menempelkan mata kaki. Dan beliau pun menjawab saat itu
dengan jawaban yang agak berseberangan dengan pendapat Al-Albani.
أن
كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق المحاذاة وتسوية الصف, فهو
ليس مقصوداً لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم, ولهذا إذا تمت
الصفوف وقام الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه لتحقق
المساواة, وليس معنى ذلك أن يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع
الصلاة.
Setiap
masing-masing jamaah hendaknya menempelkan mata kaki dengan jamaah
sampingnya, agar shaf benar-benar lurus. Tapi menempelkan mata kaki itu
bukan tujuan intinya, tapi ada tujuan lain. Maka dari itu, jika telah
sempurna shaf dan para jamaah telah berdiri, hendaklah jamaah itu
menempelkan mata kaki dengan jamaah lain agar shafnya lurus. Maksudnya
bukan terus menerus menempel sampai selesai shalat.
Lihat : Muhammad bin Shalih al-Utsaimin; w. 1421 H, Fatawa Arkan
al-Iman, hal. 1/ 311
Ternyata
Syiekh Al-Utsaimin sendiri memandang bahwa menempelkan mata kaki itu
bukan tujuan inti. Menempelkan kaki itu hanyalah suatu sarana bagaimaan
agar shaf shalat bisa benar-benar lurus.
Jadi
menempelkan mata kaki dilakukan hanya di awal sebelum shalat saja. Dan
begitu shalat sudah mulai berjalan, sudah tidak perlu lagi. Maka tidak
perlu sepanjang shalat seseorang terus berupaya menempel-nempelkna
kakinya ke kaki orang lain, yang membuat jadi tidak khusyu' shalatnya.
4. Komentar Ibnu Rajab al-Hanbali
Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) termasuk ulama besar yang menulis kitab penjelasan dari Kitab Shahih Bukhari. Ibnu Rajab
menuliskan:
حديث أنس هذا: يدل على أن تسوية الصفوف: محاذاة المناكب
والأقدام.
Hadits Anas ini menunjukkan bahwa yang dimaksud meluruskan shaf adalah lurusnya bahu dan telapak kaki.
lihat : Ibnu Rajab al-Hanbali; w. 795 H, Fathu al-Bari, hal.6/ 282.
Nampaknya
Ibnu Rajab lebih memandang bahwa maksud hadits Anas adalah meluruskan
barisan, yaitu dengan lurusnya bahu dan telapak kaki.
Komentar Ibnu Hajar (w. 852 H)
Ibnu Hajar al-Asqalani menuliskan:
الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ
Maksud hadits ”ilzaq” adalah berlebih-lebihan dalam meluruskan shaf dan menutup celah. [Ibnu Hajar, Fathu
al-Bari, hal. 2/211]
Memang disini beliau tidak secara spesifik menjelaskan harus menempelkan mata kaki, dengkul dan
bahu. Karena maksud haditsnya adalah untuk berlebih-belihan dalam meluruskan shaf dan menutup celahnya.
C. Point-Point Penting
Diatas
sudah dipaparkan beberapa pemahaman ulama terkait haruskah mata kaki
selalu ditempel-tempelkan dengan sesama jamaah dalam satu shaf.
Sekarang
mari kita lanjutkan dengan nalar dan penelitian kita sendiri.
Pertanyaannya adalah : apakah menempelkan mata kaki itu sunnah Nabi SAW
atau bukan? Dalam arti apakah hal itu merupakan contoh langsung dari
Nabi SAW atau bentuk perintah yang secara nash beliau SAW menyebut :
HARUS MENEMPEL, kalau tidak nanti masuk neraka?
1. Menempelkan Mata Kaki Dalam Shaf Bukan Tindakan Atau Anjuran Nabi SAW
Bukankah haditsnya jelas Shahih dalam Shahih Bukhari dan Abu Daud?
Iya
sekilas memang terkesan bahwa menempelkan itu perintah beliau SAW. Tapi
keshahihan hadits saja belum cukup tanpa pemahaman yang benar terhadap
hadits shahih.
Jika kita baca
seksama teks hadits dua riwayat diatas, kita dapati bahwa ternyata yang
Nabi SAW anjurkan adalah menegakkan shaf. Perhatikan redaksinya :
أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ
Tegakkah barisan kalian
Itu
yang beliau SAW katakan. Sama sekali beliau SAW tidak berkata,
”Tempelkanlah mata kaki
kalian!”. Dan beliau juga tidak main ancam siapa yang tidak
melakukannya dianggap telah kafir atau ingkar dengan
sifat-sifat Allah. Yang bilang seperti itu hanya Al-Albani seorang.
Para ulama sepanjang zaman tidak pernah berkata seperti itu, kecuali
murid-murid pendukungnya saja.
Dan Nabi SAW sendiri dalam shalatnya juga tidak pernah melakukan hal itu.
2. Menempelkan Mata Kaki Adalah Pemahaman Salah Satu Dari Shahabat
Coba kita baca lagi haditsnya dengan seksama. Dalam riwayatnya disebutkan:
- [وَكَانَ أَحَدُنَا] dan salah satu dari kami
- [رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا] saya melihat seorang laki-laki dari kami
- [فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ] saya melihat seorang laki-laki
Meskipun
dengan redaksi yang berbeda, tetapi kesemuanya merujuk pada makna bahwa
”salah satu” sahabat Nabi ada yang melakukan hal itu. Maka hal itu
adalah perbuatan dari salah satu sahabat Nabi, hasil dari pemahamannya
setelah mendengar perintah Nabi agar menegakkan shaf.
Terkait ucapan atau perbuatan shahabat, Al-Amidi (w. 631 H) salah seorang pakar Ushul Fiqih menyebutkan:
ويدل
على مذهب الأكثرين أن الظاهر من الصحابي أنه إنما أورد
ذلك في معرض الاحتجاج وإنما يكون ذلك حجة إن لو كان ما نقله مستندا إلى
فعل الجميع لأن فعل البعض لا يكون حجة على البعض الآخر ولا على غيرهم
Menurut
madzhab kebanyakan ulama’, perbuatan shahabi menjadi
hujjah jika didasarkan pada perbuatan semua shahabat. Karena perbuatan
sebagian tidak menjadi hujjah bagi sebagian yang lain, ataupun bagi
orang lain.
Lihat :Al-Amidi; w. 631 H, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, hal. 2/99
Jadi,
menempelkan mata kaki itu bisa menjadi hujjah jika dilakukan semua
shahabat. Dari redaksi hadits, kita dapati bahwa menempelkan mata kaki
dilakukan oleh seorang laki-laki pada zaman Nabi. Kita tidak tahu
siapakah lelaki itu. Lantas bagaimana dengan Anas yang telah
meriwayatkan hadits?
3. Anas tidak melakukan hal itu
Jika
kita baca teks hadits dari Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyir di
atas, sebagai dua periwayat hadits, ternyata mereka berdua hanya melihat
saja. Mereka malah tidak
melakukan apa yang mereka lihat.
Kenapa?
Karena yang melakukannya bukan Rasulullah SAW sendiri. Dan para shahabat yang lain juga
tidak melakukannya. Yang melakukannya hanya satu orang saja. Itupun namanya tidak pernah disebutkan alias anonim.
Hal itu diperkuat dengan keterangan Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) melanjutkan riwayat Anas bin Malik:
وَزَادَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ وَلَوْ فَعَلْتُ ذَلِكَ بِأَحَدِهِمُ الْيَوْمَ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بغل شموس
Ma’mar
menambahkan dalam riwayatnya dari Anas; jika saja hal itu saya lakukan
sekarang dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari
sebagaimana keledai yang lepas. [Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211]
Jika menempelkan mata kaki itu sungguh-sungguh anjuran Nabi, maka mereka sebagai salaf
yang shalih tidak akan lari dari hal itu dan meninggalkannya.
Perkataan Anas bin Malik,
”jika saja hal itu saya lakukan sekarang” memberikan pengertian bahwa Anas sendiri tidak melakukannya saat ini.
4. Bukankah Itu Sunnah Taqririyyah?
Barangkali
para pembela pendapat tempe-menempel matakaki itu berhujjah, jika ada
suatu perbuatan yang dilakukan di hadapan Nabi SAW, sedang beliau SAW
diam saja dan tidak melarangnya, maka perbuatan itu disebut sunnah
taqririyyah. Jadi termasuk sunnah juga.
Jawabnya,
tentu benar sekali bahwa hal itu merupakan sunnah taqririyah. Tapi
perlu diingat, bahwa diamnya Nabi ketika ada suatu perbuatan dilakukan
dihadapannya itu tidak berfaedah kecuali hanya menunjukkan bolehnya hal
itu.
Contoh sunnah taqririyyah adalah makan daging dhab dan
’azl yaitumengeluarkan sperma diluar kemaluan istri. Meskipun keduanya
sunnah taqririyyah, tapi secara hukum berhenti sampai kita
sekedar dibolehkan melakukannya.
Dan
sunnah taqririyah itu tidak pernah sampai kepada hukum sunnah yang
dianjurkan, dan tentu tidak bisa menjadi kewajiban. Apalagi sampai main
ancam bahwa orang yang tidak melakukannya, dianggap telah ingkar kepada
sifat-sifat Allah. Ini adalah sebuah fatwa yang agak emosional dan
memaksakan diri. Dan yang pasti fatwa seperti ini sifatnya menyendiri
tanpa ada yang pernah mendukungnya.
Tidak
bisa kita bayangkan, cuma gara-gara ada shahabat makan daging dhab dan
melakukan azal, dan kebetulan memang Nabi SAW tidak melarangnya, lantas
kita berfatwa seenaknya untuk mewajibkan umat Islam sedunia sepanjang
zaman sering-sering makan daging biawak. Yang tidak doyan makan daging
biawak divonis telah ingkar kepada sifat-sifat Allah.
5. Susah Dalam
Prakteknya
Penulis kira, jika pun dianggap menempelkan mata kaki itu sebagai anjuran, tak ada diantara kita yang bisa mempraktekannya.
Jika tidak percaya, silahkan saja dicoba sendiri menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu dalam shaf.
D. Kesimpulan
Berangkat dari pertanyaan awal, apakah mata kaki ”harus” menempel dalam shaf shalat?
Ada
dua pendapat; pertama yang mengatakan harus menempel. Ini adalah
pendapat Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H). Bahkan beliau mengatakan
bahwa yang mengatakan tidak menempel secara hakiki itu lebih jelek dari
faham ta’thil sifat Allah.
Pendapat
kedua, yang mengatakan bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan
utama dan tidak harus. Tujuan intinya adalah meluruskan shaf. Jikapun
menempelkan mata kaki,
hal itu dilakukan sebelum shalat, tidak terus menerus dalam shalat. Ini
adalah pendapat
Utsaimin. Dikuatkan dengan pendapat Bakr Abu Zaid.
Sampai saat ini, penulis belum menemukan pendapat ulama madzhab empat yang mengharuskan menempelkan mata kaki dalam shaf shalat.
Merapatkan
dan meluruskan shaf tentu anjuran Nabi. Tapi jika dengan menempelkan
mata kaki, malah shalat tidak khusyu’ dan mengganggu tetangga shaf juga
tidak baik.
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar