Oleh: Abi Aufaa
“وَالآخِرَةِ الدُّنْيَا فِي وَسِتْرَكَ وَعَافِيَتَكَ نِعْمَتَكَ عَلَيَّ فَاَتِمَّ وَسِتْرٍ وَعَافِيَةٍ نِعْمَةٍ فِيْ مِنْكَ أَصْبَحْنَا اَللَّهُمَّ”
Bibirku
terus bertasbih melafalkan zikrullah pagi yang senantiasa mengiringi langkah
kakiku menuju sekolah setiap harinya. Zikir pagi petang yang telah menjadi
rutinitasku sejak aku bekerja di sekolah ini, menjadi tukang sapu, setahun yang
lalu. Beberapa hari aku bekerja di sana, aku diajari membaca zikir ini oleh
Bapak Kepala Sekolah, beliau juga memberiku sebuah buku kecil Al-Matsurat
shugra. Kata beliau, sudah semestinya kita selalu mengingat Allah terutama pada
saat memulai aktivitas di pagi hari dan saat mengakhirinya di waktu petang.
Itu sebagai tanda syukur kita pada-Nya, kata
beliau lagi. Sesungguhnya kehidupan ini semuanya merupakan nikmat, kalau kita
bersyukur niscaya rezeki kita pun akan ditambahkan-Nya. Aku mengangguk, beliau
sangat baik suka menasehatiku. Beliau juga sangat rajin beribadah. Aku sangat
ingin seperti beliau, walaupun beliau punya banyak harta tapi tak pernah
terlenakan. Beliau selalu bersyukur. Aku harus seperti beliau, tekadku. Tapi
kapan yaa?
Hari-
hariku menjadi semakin bermakna, sejak aku membiasakan memulai aktivitasku
dengan zikrullah. Aku semakin merasakan dan menyadari akan besar dan banyaknya
nikmat yang telah Allah berikan padaku. Aku yang hanya sebagai tukang sapu saja
merasa beruntung hidup seperti ini. Bagiku hidup pas-pasan tanpa adanya hutang
dan selama aku masih saja bisa bersedekah sudah menjadikanku kaya.
Alhamdulillah
Seiring
zikirku selesai akupun tiba di sekolah, aku yang telah terbiasa melafalkan
zikir pagi petangku dengan mudahnya bisa mengatur tempo sesuai irama langkah
kakiku agar sampai tepat saat zikirku selesai.
Tampak
olehku halaman sekolah cukup kotor, banyak daun- daun berhamburan, maklum
sekarang musim penghujan. Tadi malam hujan turun sangat lebat. Kulihat halaman
penuh dengan becek. Namun tidak lantas membuatku enggan harus berkotor- kotor.
Sudah kewajibanku. Dari sanalah aku bisa makan dan menghidupi anak istriku. Aku
menyingsingkan lengan. Yaa seperti inilah pekerjaanku, saat halaman becek,
dedaunan menjadi sulit untuk disapu, aku harus memungutnya langsung dengan
tanganku.
Satu,
dua, tiga…… terlalu banyak daun untuk dihitung, aku tak melanjutkan. Kadang aku
iseng ingin tahu berapa jumlah daun yang kupungut. Hanya saja yang ku tahu
paling tidak satu keranjang penuh setiap harinya, belum termasuk sampah
anorganik seperti plastic, botol dan gelas minuman dari anak-anak. Namun aku
tak mau mengeluh. Dengan begitu aku masih punya pekerjaan.
Pernah
suatu kali pihak sekolah berniat menebang pohon-pohon yang ada di halaman.
Katanya kasihan melihatku harus membersihkan pagi-pagi sekali. Banyak pula. Aku
manyun. Kalau ditebang, lha, lantas apa yang harus ku bersihkan? Tidak ada lagi
yang kukerjakan, masa sekolah harus tetap menggajiku sementara tidak ada
pekerjaan yang kulakukan. Aku sempat khawatir bisa-bisa aku diberhentikan. Beruntung,
Bapak Kepala Sekolah tidak setuju. Kata beliau, pohon itu membuat rindang
sekolah sehingga bisa dijadikan tempat bernaung juga membuat cuaca tidak akan
terlalu panas. Kalau mau ditebang, lebih baik dipangkas saja. Aku setuju dengan
beliau.
“Wah,
Pak Mimin rajin yaa, pagi-pagi sekali sudah datang” tiba-tiba Bapak Kepala
Sekolah menyapa ku. Beliau juga sangat rajin datang ke sekolah. Saat guru-guru
lain mungkin masih sarapan di rumah beliau sudah datang ke sekolah.
Subhanallah.
“Iya,
Pak. Udah kewajiban saya”
“Nah,
Ini ada sedikit rezeki buat Bapak”
“Jangan,
Pak. Saya kan sudah digaji”
“Gak
apa-apa, Pak. Ambil saja”
“Tidak
usah, Pak. Saya masih ada uang kok”
“Yaa,
sudah. Kalau Bapak tidak mau. Saya titip buat ibu sama anak Bapak di rumah
saja.”
Waduh,
ini nih kalimat yang tidak pernah bisa ku sanggah lagi. Sudah kebiasaan Bapak
setiap kali memberiku apa-apa, aku tak pernah kuasa untuk menolaknya. Ada-ada
saja cara beliau untuk membuatku mau menerima pemberian beliau. Kini uang
kertas seratus ribu itu telah berpindah ke kantongku. Aku hanya bisa
mengucapkan terima kasih yang dibalas beliau dengan senyuman. Yaa Allah,
tambahkanlah rezeki Beliau. Beliau begitu baik sekali. Aku juga ingin seperti
itu, Yaa Allah…
Aku
meneruskan aktifitasku. Satu persatu dedaunan itu kupungut dan kumasukkan ke
dalam keranjang. Saat aku berada di depan sebuah kelas, kulihat satu recehan
uang lima ratusan di tanah. Segera ku pungut dan kumasukkan ke dalam kantong
kiriku. Aku sudah terbiasa memungut uang recehan seperti ini. Aku sadar betul
itu bukan milikku. Tapi aku sangat menyayangkan uang seperti itu di buang
begitu saja seperti tak ada gunanya.
Aku
sering melihat murid- murid melempar saja uang recehan mereka sisa kembalian
jajan di kantin. Ada juga yang tercecer, namun saat diberi tahu mereka hanya
melirik sebentar lantas meniggalkannya. Bagi mereka apalah artinya uang recehan
seperti itu. Astaghfirullah desahku saat membayangkan betapa susahnya orang tua
mereka mencari nafkah.
“Kalau
Bapak mau, ambil saja”, begitulah yang sering mereka ucapkan ketika aku
memungut uang itu dan menanyakan kepada mereka. Uang itu lantas masuk ke
kantongku. Walaupun aku tahu itu bukan milikku. Sayang kalau di biarkan begitu
saja. Namun aku sudah bertekad tidak
ingin membelanjakannya untuk kepentingan pribadiku. Lagian uangnya juga tak
seberapa.
Selama
aku bekerja di sekolah ini, hampir setiap hari aku mendapat uang recehan. Uang
itu kusimpan dalam sebuah celengan khusus. Menurutku uang seperti ini mungkin
memang tidak terlalu bernilai. Akan tetapi kalau dikumpulkan sedikit demi
sedikit pasti nanti jumlahnya akan bertambah besar. Saat itulah akan terlihat
nilainya.
***
Pagi
itu aku membersihkan ruang kepala sekolah. Bapak Kepala Sekolah saat itu juga
sudah datang. Beliau duduk di kursi membaca koran pagi.
“Ada
berita apa hari ini, Pak” tanyaku berbasa basi.
“Ini,
Pak. Ada seorang Ustadz memperkenalkan sebuah usaha bersama. Modalnya dihimpun
dari masyarakat dengan cara patungan. Selanjutnya modal tersebut akan digunakan
untuk membangun sebuah hotel di Mekkah yang nantinya bisa menampung jamaah haji
disana.”
“Kalau
dipikir-pikir, usaha ini pasti maju yaa, Pak. Soalnya jamaah haji pasti selalu
berdatangan tiap tahunnya. Pasti banyak yang menginap di sana.”
“Begitulah,
dari sewa hotel itulah, nanti keuntunganya akan dibagi sesuai dengan prosentasi
modal yang telah kita berikan”
“Waaahh,
Mmmm, boleh nanti saya pinjam korannya, Pak?”
“Tentu,
ambil saja setelah ini”
***
Sepuluh
tahun telah berlalu, kehidupanku tetap berjalan seperti biasa. Tak ada
perubahan yang cukup berarti. Aku tetap dengan pekerjaanku sebagai tukang sapu
walaupun tidak di sekolahku yang dulu. Aku menyukai pekerjaan ini, dan aku
bangga sekali.
Pernah
sekali aku ditunjuk menjadi kepala sekolah disini, namun aku tidak mau. Mereka
terus membujukku tapi aku tetap berkeras. Aku merasa cukup dengan pekerjaan
ini. Mereka akhirnya mengalah dan membiarkanku melakukan aktifitas membersihkan
sekolah hanya saja mereka tetap memintaku menjadi kepala sekolah di samping
juga menjadi tukang sapu. Ya sudah, aku menyetujuinya. Nampak aneh memang. Namun
begitulah, mereka tetap sadar diri. Mereka tetap menghargaiku. Mereka
menghormatiku.
Mereka
tahu, suatu ketika aku menerima surat. Surat itu berasal dari sebuah yayasan
investasi bersama. Dalam surat itu aku di suruh membuat rekening Bank. Katanya
lagi, aku tidak pernah mengambil sepeserpun uang dari keuntungan yang didapat
yayasan selama ini. Memang aku tak begitu peduli waktu itu. Investasi itu
sebenarnya juga bukan uangku. Namun justeru ketidak peduianku ini yang
membuatku mejadi semakin bertambah. Karena modal awal yang pernah
kuinvestasikan dulu selalu diakumulasikan dengan keuntungan yang didapat setiap
tahunnya. Sehingga sekarang investasi yang kumiliki hampir mencapai setengah
miliar.
Subhanallah,
Alhamdulillah. Sejenak tanganku bergetar. Hampir saja surat itu lepas dari
tanganku. Aku bergegas membuat rekening dan mengkonfirmasi nomor rekeningku
kepada pihak yayasan. Dalam seminggu saja tiba-tiba rekeningku mendapat
transfer 350 juta. Sisanya akan tetap dijadikan modal investasiku di yayasan.
Dengan
uang itu aku memutuskan untuk membangun sebuah sekolah gratis bagi anak- anak
kurang mampu. Beruntung istri dan anak- anakku setuju saja setelah kuceritakan
sebenarnya uang yang ku investasikan itu adalah uang-uang recehan yang kupungut
di halaman dan kukumpulkan selama beberapa tahun. Ini bukan uangku pribadi. Dan
aku juga telah bertekad tidak akan menggunakan uang itu untuk kepentingan
pribadiku.
“Terima
kasih atas nikmat-Mu yang tidak terkira, Yaa Allah. Aku bangga dengan
pekerjaanku ini. Semoga apa yang telah kuputuskan ini adalah pilihan terbaik
bagiku. Aku meyakini, uang yang kumiliki sekarang ini bukan milikku, karenanya
aku rela uang ini disumbangkan untuk membangun sekolah.” Aamiin.
***
Setiap
hari aku berjalan kaki ke sekolah, seperti biasa, aku selalu berzikir sebelum
memulai aktifitasku. Dan juga, aku masih tukang sapu.
***
Suatu
ketika, seorang pemuda, cukup kurus, naik sepeda datang ke sekolah. Dia menuju
kantor dewan guru. Dia menghampiri seorang guru.
“Mohon
maaf, Pak. Apa Bapak Kepala Sekolahnya ada?”
“Kamu
ada perlu apa, Yaa?”
“Saya
ingin melamar pekerjaan, Pak, Boleh saya bertemu Bapak Kepala Sekolahnya?”
Guru
itu kemudian menunjuk ke arahku yang saat itu sedang menyapu halaman. Pemuda
itu permisi, dia agak bingung. Namun dia menurut. Pikirnya dia disuruh bertanya padaku.
“Permisi,
Pak. Apakah bapak melihat Bapak Kepala Sekolah?”
Aku
berbalik ke arahnya,
“Memangnya
ada apa?”
“Saya
ingin melamar pekerjaan, Pak”
“Kamu
lulusan apa?”
“Sebenarnya
saya cuma tamat SLTP, Pak. Saya sedang memerlukan pekerjaan, saya mau
mengerjakan apa saja meskipun disuruh jadi tukang sapu membantu Bapak.”
Aku
tersenyum,
“Nih,
sapu. Bantu Bapak menyapu halaman.”
“Lho,
Bapak Kepala Sekolahnya di mana, Pak?”
Aku
tersenyum.
“Sudah,
Nanti Bapak yang urus.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar