Selasa, 10 Desember 2013

Uang Receh

Oleh: Abi Aufaa



وَالآخِرَةِ الدُّنْيَا فِي وَسِتْرَكَ وَعَافِيَتَكَ نِعْمَتَكَ عَلَيَّ فَاَتِمَّ وَسِتْرٍ وَعَافِيَةٍ نِعْمَةٍ فِيْ مِنْكَ أَصْبَحْنَا اَللَّهُمَّ

Bibirku terus bertasbih melafalkan zikrullah pagi yang senantiasa mengiringi langkah kakiku menuju sekolah setiap harinya. Zikir pagi petang yang telah menjadi rutinitasku sejak aku bekerja di sekolah ini, menjadi tukang sapu, setahun yang lalu. Beberapa hari aku bekerja di sana, aku diajari membaca zikir ini oleh Bapak Kepala Sekolah, beliau juga memberiku sebuah buku kecil Al-Matsurat shugra. Kata beliau, sudah semestinya kita selalu mengingat Allah terutama pada saat memulai aktivitas di pagi hari dan saat mengakhirinya di waktu petang.
 Itu sebagai tanda syukur kita pada-Nya, kata beliau lagi. Sesungguhnya kehidupan ini semuanya merupakan nikmat, kalau kita bersyukur niscaya rezeki kita pun akan ditambahkan-Nya. Aku mengangguk, beliau sangat baik suka menasehatiku. Beliau juga sangat rajin beribadah. Aku sangat ingin seperti beliau, walaupun beliau punya banyak harta tapi tak pernah terlenakan. Beliau selalu bersyukur. Aku harus seperti beliau, tekadku. Tapi kapan yaa?
Hari- hariku menjadi semakin bermakna, sejak aku membiasakan memulai aktivitasku dengan zikrullah. Aku semakin merasakan dan menyadari akan besar dan banyaknya nikmat yang telah Allah berikan padaku. Aku yang hanya sebagai tukang sapu saja merasa beruntung hidup seperti ini. Bagiku hidup pas-pasan tanpa adanya hutang dan selama aku masih saja bisa bersedekah sudah menjadikanku kaya. Alhamdulillah
Seiring zikirku selesai akupun tiba di sekolah, aku yang telah terbiasa melafalkan zikir pagi petangku dengan mudahnya bisa mengatur tempo sesuai irama langkah kakiku agar sampai tepat saat zikirku selesai.
Tampak olehku halaman sekolah cukup kotor, banyak daun- daun berhamburan, maklum sekarang musim penghujan. Tadi malam hujan turun sangat lebat. Kulihat halaman penuh dengan becek. Namun tidak lantas membuatku enggan harus berkotor- kotor. Sudah kewajibanku. Dari sanalah aku bisa makan dan menghidupi anak istriku. Aku menyingsingkan lengan. Yaa seperti inilah pekerjaanku, saat halaman becek, dedaunan menjadi sulit untuk disapu, aku harus memungutnya langsung dengan tanganku.
Satu, dua, tiga…… terlalu banyak daun untuk dihitung, aku tak melanjutkan. Kadang aku iseng ingin tahu berapa jumlah daun yang kupungut. Hanya saja yang ku tahu paling tidak satu keranjang penuh setiap harinya, belum termasuk sampah anorganik seperti plastic, botol dan gelas minuman dari anak-anak. Namun aku tak mau mengeluh. Dengan begitu aku masih punya pekerjaan.
Pernah suatu kali pihak sekolah berniat menebang pohon-pohon yang ada di halaman. Katanya kasihan melihatku harus membersihkan pagi-pagi sekali. Banyak pula. Aku manyun. Kalau ditebang, lha, lantas apa yang harus ku bersihkan? Tidak ada lagi yang kukerjakan, masa sekolah harus tetap menggajiku sementara tidak ada pekerjaan yang kulakukan. Aku sempat khawatir bisa-bisa aku diberhentikan. Beruntung, Bapak Kepala Sekolah tidak setuju. Kata beliau, pohon itu membuat rindang sekolah sehingga bisa dijadikan tempat bernaung juga membuat cuaca tidak akan terlalu panas. Kalau mau ditebang, lebih baik dipangkas saja. Aku setuju dengan beliau.
“Wah, Pak Mimin rajin yaa, pagi-pagi sekali sudah datang” tiba-tiba Bapak Kepala Sekolah menyapa ku. Beliau juga sangat rajin datang ke sekolah. Saat guru-guru lain mungkin masih sarapan di rumah beliau sudah datang ke sekolah. Subhanallah.
“Iya, Pak. Udah kewajiban saya”
“Nah, Ini ada sedikit rezeki buat Bapak”
“Jangan, Pak. Saya kan sudah digaji”
“Gak apa-apa, Pak. Ambil saja”
“Tidak usah, Pak. Saya masih ada uang kok”
“Yaa, sudah. Kalau Bapak tidak mau. Saya titip buat ibu sama anak Bapak di rumah saja.”
Waduh, ini nih kalimat yang tidak pernah bisa ku sanggah lagi. Sudah kebiasaan Bapak setiap kali memberiku apa-apa, aku tak pernah kuasa untuk menolaknya. Ada-ada saja cara beliau untuk membuatku mau menerima pemberian beliau. Kini uang kertas seratus ribu itu telah berpindah ke kantongku. Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih yang dibalas beliau dengan senyuman. Yaa Allah, tambahkanlah rezeki Beliau. Beliau begitu baik sekali. Aku juga ingin seperti itu, Yaa Allah…
Aku meneruskan aktifitasku. Satu persatu dedaunan itu kupungut dan kumasukkan ke dalam keranjang. Saat aku berada di depan sebuah kelas, kulihat satu recehan uang lima ratusan di tanah. Segera ku pungut dan kumasukkan ke dalam kantong kiriku. Aku sudah terbiasa memungut uang recehan seperti ini. Aku sadar betul itu bukan milikku. Tapi aku sangat menyayangkan uang seperti itu di buang begitu saja seperti tak ada gunanya.
Aku sering melihat murid- murid melempar saja uang recehan mereka sisa kembalian jajan di kantin. Ada juga yang tercecer, namun saat diberi tahu mereka hanya melirik sebentar lantas meniggalkannya. Bagi mereka apalah artinya uang recehan seperti itu. Astaghfirullah desahku saat membayangkan betapa susahnya orang tua mereka mencari nafkah.
“Kalau Bapak mau, ambil saja”, begitulah yang sering mereka ucapkan ketika aku memungut uang itu dan menanyakan kepada mereka. Uang itu lantas masuk ke kantongku. Walaupun aku tahu itu bukan milikku. Sayang kalau di biarkan begitu saja.  Namun aku sudah bertekad tidak ingin membelanjakannya untuk kepentingan pribadiku. Lagian uangnya juga tak seberapa.
Selama aku bekerja di sekolah ini, hampir setiap hari aku mendapat uang recehan. Uang itu kusimpan dalam sebuah celengan khusus. Menurutku uang seperti ini mungkin memang tidak terlalu bernilai. Akan tetapi kalau dikumpulkan sedikit demi sedikit pasti nanti jumlahnya akan bertambah besar. Saat itulah akan terlihat nilainya.
***
Pagi itu aku membersihkan ruang kepala sekolah. Bapak Kepala Sekolah saat itu juga sudah datang. Beliau duduk di kursi membaca koran pagi.
“Ada berita apa hari ini, Pak” tanyaku berbasa basi.
“Ini, Pak. Ada seorang Ustadz memperkenalkan sebuah usaha bersama. Modalnya dihimpun dari masyarakat dengan cara patungan. Selanjutnya modal tersebut akan digunakan untuk membangun sebuah hotel di Mekkah yang nantinya bisa menampung jamaah haji disana.”
“Kalau dipikir-pikir, usaha ini pasti maju yaa, Pak. Soalnya jamaah haji pasti selalu berdatangan tiap tahunnya. Pasti banyak yang menginap di sana.”
“Begitulah, dari sewa hotel itulah, nanti keuntunganya akan dibagi sesuai dengan prosentasi modal yang telah kita berikan”
“Waaahh,  Mmmm, boleh  nanti saya pinjam korannya, Pak?”
“Tentu, ambil saja setelah ini”
***
Sepuluh tahun telah berlalu, kehidupanku tetap berjalan seperti biasa. Tak ada perubahan yang cukup berarti. Aku tetap dengan pekerjaanku sebagai tukang sapu walaupun tidak di sekolahku yang dulu. Aku menyukai pekerjaan ini, dan aku bangga sekali.
Pernah sekali aku ditunjuk menjadi kepala sekolah disini, namun aku tidak mau. Mereka terus membujukku tapi aku tetap berkeras. Aku merasa cukup dengan pekerjaan ini. Mereka akhirnya mengalah dan membiarkanku melakukan aktifitas membersihkan sekolah hanya saja mereka tetap memintaku menjadi kepala sekolah di samping juga menjadi tukang sapu. Ya sudah, aku menyetujuinya. Nampak aneh memang. Namun begitulah, mereka tetap sadar diri. Mereka tetap menghargaiku. Mereka menghormatiku.
Mereka tahu, suatu ketika aku menerima surat. Surat itu berasal dari sebuah yayasan investasi bersama. Dalam surat itu aku di suruh membuat rekening Bank. Katanya lagi, aku tidak pernah mengambil sepeserpun uang dari keuntungan yang didapat yayasan selama ini. Memang aku tak begitu peduli waktu itu. Investasi itu sebenarnya juga bukan uangku. Namun justeru ketidak peduianku ini yang membuatku mejadi semakin bertambah. Karena modal awal yang pernah kuinvestasikan dulu selalu diakumulasikan dengan keuntungan yang didapat setiap tahunnya. Sehingga sekarang investasi yang kumiliki hampir mencapai setengah miliar.
Subhanallah, Alhamdulillah. Sejenak tanganku bergetar. Hampir saja surat itu lepas dari tanganku. Aku bergegas membuat rekening dan mengkonfirmasi nomor rekeningku kepada pihak yayasan. Dalam seminggu saja tiba-tiba rekeningku mendapat transfer 350 juta. Sisanya akan tetap dijadikan modal investasiku di yayasan.
Dengan uang itu aku memutuskan untuk membangun sebuah sekolah gratis bagi anak- anak kurang mampu. Beruntung istri dan anak- anakku setuju saja setelah kuceritakan sebenarnya uang yang ku investasikan itu adalah uang-uang recehan yang kupungut di halaman dan kukumpulkan selama beberapa tahun. Ini bukan uangku pribadi. Dan aku juga telah bertekad tidak akan menggunakan uang itu untuk kepentingan pribadiku.
“Terima kasih atas nikmat-Mu yang tidak terkira, Yaa Allah. Aku bangga dengan pekerjaanku ini. Semoga apa yang telah kuputuskan ini adalah pilihan terbaik bagiku. Aku meyakini, uang yang kumiliki sekarang ini bukan milikku, karenanya aku rela uang ini disumbangkan untuk membangun sekolah.” Aamiin.
***
Setiap hari aku berjalan kaki ke sekolah, seperti biasa, aku selalu berzikir sebelum memulai aktifitasku. Dan juga, aku masih tukang sapu.
***
Suatu ketika, seorang pemuda, cukup kurus, naik sepeda datang ke sekolah. Dia menuju kantor dewan guru. Dia menghampiri seorang guru.
“Mohon maaf, Pak. Apa Bapak Kepala Sekolahnya ada?”
“Kamu ada perlu apa, Yaa?”
“Saya ingin melamar pekerjaan, Pak, Boleh saya bertemu Bapak Kepala Sekolahnya?”
Guru itu kemudian menunjuk ke arahku yang saat itu sedang menyapu halaman. Pemuda itu permisi, dia agak bingung. Namun dia menurut. Pikirnya dia disuruh  bertanya padaku.
“Permisi, Pak. Apakah bapak melihat Bapak Kepala Sekolah?”
Aku berbalik ke arahnya,
“Memangnya ada apa?”
“Saya ingin melamar pekerjaan, Pak”
“Kamu lulusan apa?”
“Sebenarnya saya cuma tamat SLTP, Pak. Saya sedang memerlukan pekerjaan, saya mau mengerjakan apa saja meskipun disuruh jadi tukang sapu membantu Bapak.”
Aku tersenyum,
“Nih, sapu. Bantu Bapak menyapu halaman.”
“Lho, Bapak Kepala Sekolahnya di mana, Pak?”
Aku tersenyum.
“Sudah, Nanti Bapak yang urus.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar