Selasa, 10 Desember 2013

Ijab Kabul



Oleh: Abi Aufaa
 
Kasih,
Maafkan aku, aku bukannya tak suka padamu. Aku sadar betul dengan apa yang kulakukan. Mungkin kau berfikir aku tak punya rasa apa-apa terhadapmu. Itu salah. Justeru seperti inilah caraku mencintaimu. Kita sebenarnya mempunyai rasa yang sama. Rasa yang menginginkan kau dan aku bersatu. Hanya saja, mungkin sekarang belum saatnya kita begitu.
Ingatkah kau, waktu dulu ingin mengajakku jalan, aku berusaha menolakmu. Sebenarnya aku mau, mau sekali. Tapi kau tak tahu, kau belum pantas mengajakku. Memang, hatiku telah terpaut pada hatimu. Namun tak serta merta membuat kita terikat. Secara jujur ku katakan aku menyukaimu. Tak ada seorangpun yang telah mampu memikat hatiku sedemikian. Namun, apa kau tahu hati ini juga ada yang memiliki. Dia lah yang memberikan rasa sehingga aku bisa merasakan apa itu cinta. Dia pula yang menjaga hatiku agar tak ada seorangpun bisa seenaknya mempermaikannya. Dia tak ingin melihat hatiku jatuh pada seseorang yang tak memiliki hati. Dia ingin hatiku menemukan hati yang suci, hati yang juga dijaga-Nya yang kemudian akan menyatu dengan hatiku selamanya.
Saat itu kau mengucapkan yang menurutmu itu adalah dari hatimu. Aku tersipu malu mendengarnya. Sekaligus serasa ada angin semilir menyejukkan yang masuk dari telingaku dan menghembus ke dalam hatiku. Saat itu juga kurasakan adanya bunga-bunga bermekaran dalam hatiku. Rasanya ingin kuucapkan juga hal yang sama padamu, atau paling tidak aku mengatakan “Ya” untuk sekedar memberikan makna agar kau mengerti bahwa aku juga menyukaimu. Lalu kau akan menatap mataku, dalam-dalam. Dan tanpa kita sadari, kita akan menyatu dalam pelukan seperti yang sering kita lihat dalam sinetron-sinetron sekarang. Aku diam, dan mataku terpejam, meresapi kasih sayang yang kau berikan. Sementara, tak kulihat matamu yang liar dan nyalang. Memang, sesungguhnya kau jauh dari sifat itu. Tapi, Aku sadar betul, Semakin kuat iman seseorang, makin hebat godaan syetan.
“Ah, bodohnya aku seandainya itu terjadi”, karenanya aku bergegas menjauh saja darimu. Dan, meninggalkan tanda tanya besar dihatimu. Mungkin kau bingung. Kau ingin kepastian dariku. Hanya saja, waktu itu aku ingat ada yang selalu memperhatikanku. Pemilik hatiku. Aku berlari. Sekilas tak ku lihat kau mengejarku. Mungkin kau menyadari bahwa memang belum pantas kau melakukannya. Tak ada hak kau mengejarku, apalagi memegang tanganku supaya bisa menahan laju langkah kakiku. Sungguh, adalah pantangan bagimu melabuhkan sentuhan pada seseorang yang belum saatnya halal untukmu. Itu kesimpulanku. Wajar saja. Memanggilkupun tak kudengar saat itu. Aku yakin kau hanya ingin aku tahu isi hatimu, tanpa membayangkan apa jadinya kalau saja aku memberi jawaban menerima atau menolakmu. Bagimu itu sudah cukup. Begitu pula denganku, itu juga sudah cukup untuk menilaimu. Sungguh kau sudah menampakkan sisi positif dari hatimu. Aku sungguh terkesan.
Terbayang olehku, kau adalah sosok yang rupawan. Walau pendiam namun kau sungguh menawan. Sosok lelaki yang selama ini ku dambakan. Asal kau tahu, selama ini aku sering memperhatikanmu. Walau sudah kucegah, tapi bayangmu selalu saja hadir dan tak mampu ku tepis. Itulah, sudah cukup memupuk rasa kerinduan dalam hatiku. Kapankah kau menjadi milikku.
Dari balik jendela ini, aku sering melihatmu berlalu. Dengan baju koko, kau melangkah menuju mesjid di ujung sana. Aku kagum padamu, ternyata masih ada pemuda zaman sekarang yang terpaut hatinya pada mesjid. Saat itu, terkadang kulihat kau sesekali melirik ke rumahku. Mungkin kau hanya sekedar ingin melihatku barang sejenak dan lalu memalingkan wajahmu. Namun berapa seringpun kau mencari- cari sosokku, tak sekalipun kau melihatku. Aku hafal benar kapan kau akan lewat depan rumahku. Saat itu aku akan segera masuk kamarku. Kadang aku tergoda untuk mengintipmu dari balik jendela. Ya Rabbi, jika memang dia yang akan menjadi pendampingku, jagalah hatinya untuk senantiasa mengingat-Mu. Dengan begitu, hatinya akan mengajak hatiku untuk bersama- sama mengagungkan-Mu.
Sejenak ku sandarkan tubuhku di dinding, sementara meresapi bisikkan hatiku yang seolah menyanyikan syair kerinduan sesaat kau menghilang dari pandanganku. Aku menantikan suaramu, yang membentuk lafadz- lafadz suci sehingga juga memunculkan satu energy dan semangat agar aku segera berangkat ke mesjid. Memang lantunan adzanmu akan selalu terdengar merdu di telingaku. Lantunan yang akan terus kunanti-nanti menjelang waktu sholat tiba. Dan kuharap, kau tak akan pernah berhenti melantunkannya juga untukku saat kita bersama nanti. Semoga kau yang akan menjadi imamku nanti.
Sungguh, dulu, aku tak menyangka kau mampu mengucapkan kata indah itu padaku. Saat kau melihatku jalan sendiri, pulang dari mesjid. Kau mencoba mendekat padaku, walau sedikit ragu. Hati-hati sekali kau menyapaku. Saat salam terucap dari mulutmu, aku hanya mampu menunduk dan menjawab pelan. Sedikit ada jarak yang kujaga. Aku tak ingin kita terlalu dekat. Belum waktunya. Aku berusaha menolak saat kau menawarkan jalan dan pulang bersama. Kau mengerti, karenanya kau tak berjalan terlalu dekat denganku.
Kasih,
Aku tak pernah merasakan rasa  seperti ini sebelumnya. Tak pernah kutemukan laki-laki sepertimu yang mampu meluluhkan hatiku. Namun, perlu kau ingat aku tak ingin hubungan kita hanya seperti ini. Aku menginginkan kita bisa membina hubungan yang lebih, hubungan yang mengikat kita dengan kesucian dan ketulusan. Ikatan yang kuat dari hati kita yang tak mampu terpisahkan kecuali oleh kematian.
Sedikit aku mengisahkan keprihatinan hatiku, dan aku tak ingin itu terjadi padaku. Sekali-kali tidak. Pernahkan kau memperhatikan sepasang muda mudi berjalan berduaan. Terkadang berboncengan. Tangan mereka entah mengapa bisa dengan mudahnya saling berpegangan. Padahal sudah jelas bagi mereka itu terlarang. Namun mereka menganggap itu biasa, dan akhirnya benar-benar terbiasa. Duh.
Pernahkah kau juga melihat banyak yang merasa aneh jika pasangan mereka menolak ciuman. Terkadang mereka bahkan marah jika pasangannya tak mau pelukan, Audzubillahi min dzalik. Betapa murahannya mereka. Mau saja tubuh mereka diperlakukan seperti itu. Tidakkah mereka pernah memikirkan, tubuh mereka itu begitu istimewa dan mahal harganya. Tubuh yang semestinya hanya dipersembahkan kepada suaminya, harus dinikmati oleh orang yang belum saatnya halal mendapatkannya. Sekali lagi, tak pernahkah mereka berpikir, belum tentu pasangannya saat ini akan menjadi suaminya nanti.
Apakah kau menginginkanku seperti itu? Tidak bukan. Aku pun tak mau. Tak pernah sekalipun aku ingin mengecewakanmu. Aku tak ingin saat kau memilikiku, kau kecewa karena mengetahui telah ada orang yang mendahuluimu dan kau bukanlah orang pertama yang akan mengagumi segala keindahanku. Sekali lagi, Audzubillah. Tak sanggup aku membayangkan semua itu. Karenanya kan ku jaga kesucianku hanya untukmu kelak.
Duhai, Kasih yang telah memautkan hatiku,
Ketahuilah, aku juga tak ingin mendapatimu sementara kau sudah terlanjur melihat apa yang bukan hakmu. Alangkah kecewanya hatiku saat ku tahu hatimu pernah ternoda. Sungguh perih hatiku jika ku tahu kau pernah memberikan apa yang seharusnya hanya kau berikan padaku. Sungguh, aku hanya menginginkan kau selalu menjaga hatimu hingga saatnya kelak kita nanti kan bersatu.
Pernah suatu ketika, aku mendengar ada gadis belia yang nekat mengakhiri hidupnya gara-gara ditinggal pasangannya, sementara dia tengah berbadan dua, duh. Betapa miris mendengarnya. Aku tak mau seperti itu, aku benci hidupku akan menjadi begitu. Dan aku juga akan sangat membenci laki-laki yang seperti itu, laki-laki yang tak berhati. Hatinya telah mati sehingga tak mampu menghalau nafsu yang tak pernah mampu dibelenggu.
Kita harus tahu. Bagaimana juapun kita yakin mampu menjaga nafsu kita, syetan akan selalu punya banyak cara menjerumuskan. Saat kita berkeras untuk tidak, dia akan mengatakan, setidaknya kita harus menjalin silaturrahmi sesama muslim. Singkatnya, terlalu banyak akal liciknya untuk memperdaya kita. Semua akan tersamarkan begitu saja. Yakinkah kau, suatu hubungan yang tidak halal akan mampu menjaga kita? Yakinkah kau dengan hubungan itu tak akan tergoda untuk sekedar sms atau menelponku, walau hanya untuk menanyakan kabarku, sudahkah aku makan atau bahkan sudahkah aku sholat? Sungguh, ada-ada saja. Itulah pintu syetan menjerumuskan kita lewat sebentuk perhatianmu menyuruhku sholat.
Yakinkah pula nanti hatimu tak akan tergelitik sedikitpun untuk mengajakku ketemuan? Minimal ketemu saat sama- sama pergi ke mesjid, atau mungkin mengajak kepengajian, wow, indah bukan? Tapi tidak untuk saat ini. Sekali- kali mungkin nanti kau akan mengajakku ke tempat lain, yaa atau paling tidak mengajakku duduk di taman dekat mesjid sambil menunggu waktu sholat tiba. Lalu kita mengobrol banyak. Sambil tertawa-tawa. Tak terasa mungkin saja tanganmu kan menyentuh dan menggenggam jemariku. Kita begitu terbius sampai-sampai tidak menyadarinya. Hebat sekali scenario syetan itu. Astaghfirullah Yaa Rabb. Aku tak mau, aku inginnya seperti itu saat kau halal untukku. Saat itu kau mengajakku sholat berjamaah. Kau berjalan di sampingku sambil menggandeng tanganku. Yaa Allah, aku sangat merindukan saat seperti itu.
Duhai kekasihku,
Tahukah sekarang aku begitu merindukanmu. Aku ingin hidup bersamamu. Bukan tanpa alasan, apalah artinya aku tanpa adanya dirimu. Aku begitu rapuh sampai kau menguatkanku. Ketahuilah, aku tak mengharap banyak padamu. Aku tak berharap kau datang dengan banyak harta, aku tak berharap kau datang dengan bagus rupa, tapi cukuplah bagiku kau datang dengan cinta dan agamamu. Karna aku yakin, dengan cinta kau sanggup memberikan apapun yang ku minta. Dan dengan agamamu kau sanggup membawaku ke surga. Karenanya, tak perlu kau kuatir. Aku ingin kau cepat datang kesini menjemputku. Aku ingin kau berani menemui orang tuaku dan meminta izin untuk membawaku. Tentunya dengan ikatan yang halal. Jangan hanya berani mengucapkan cinta, tanpa bukti nyata. Aku ingin sekarang mendengarkan sesuatu yang harus kau ucapkan untuk menyatukan cinta kita.
Duhai kekasih hatiku,
Aku ingin mendengar kau mengucapkan ijab kabul di depan ayahku dan juga penghulu. Saat itu kau akan melihat binar cahaya mataku, betapa bahagianya aku akan menjadi istrimu. Yang selamanya akan mendampingimu. Kau juga harus tahu, bahwa selama ini aku juga ingin seperti mereka yang ada di TV, aku iri, ingin bisa merasakan kebahagiaan seperti mereka. Hanya saja mereka salah, terlalu dini untuk merasakannya. Harus ada ikatan yang halal untuk itu.
Kasihku,
Kini aku menantikan ijab kabul darimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar