Oleh: Abi Aufaa
Kasih,
Maafkan aku, aku bukannya tak suka padamu. Aku sadar betul dengan
apa yang kulakukan. Mungkin kau berfikir aku tak punya rasa apa-apa terhadapmu.
Itu salah. Justeru seperti inilah caraku mencintaimu. Kita sebenarnya mempunyai
rasa yang sama. Rasa yang menginginkan kau dan aku bersatu. Hanya saja, mungkin
sekarang belum saatnya kita begitu.
Ingatkah kau, waktu dulu ingin mengajakku jalan, aku berusaha menolakmu.
Sebenarnya aku mau, mau sekali. Tapi kau tak tahu, kau belum pantas mengajakku.
Memang, hatiku telah terpaut pada hatimu. Namun tak serta merta membuat kita
terikat. Secara jujur ku katakan aku menyukaimu. Tak ada seorangpun yang telah
mampu memikat hatiku sedemikian. Namun, apa kau tahu hati ini juga ada yang
memiliki. Dia lah yang memberikan rasa sehingga aku bisa merasakan apa itu
cinta. Dia pula yang menjaga hatiku agar tak ada seorangpun bisa seenaknya
mempermaikannya. Dia tak ingin melihat hatiku jatuh pada seseorang yang tak
memiliki hati. Dia ingin hatiku menemukan hati yang suci, hati yang juga
dijaga-Nya yang kemudian akan menyatu dengan hatiku selamanya.
Saat itu kau mengucapkan yang menurutmu itu adalah dari hatimu. Aku
tersipu malu mendengarnya. Sekaligus serasa ada angin semilir menyejukkan yang
masuk dari telingaku dan menghembus ke dalam hatiku. Saat itu juga kurasakan
adanya bunga-bunga bermekaran dalam hatiku. Rasanya ingin kuucapkan juga hal
yang sama padamu, atau paling tidak aku mengatakan “Ya” untuk sekedar
memberikan makna agar kau mengerti bahwa aku juga menyukaimu. Lalu kau akan
menatap mataku, dalam-dalam. Dan tanpa kita sadari, kita akan menyatu dalam
pelukan seperti yang sering kita lihat dalam sinetron-sinetron sekarang. Aku
diam, dan mataku terpejam, meresapi kasih sayang yang kau berikan. Sementara, tak
kulihat matamu yang liar dan nyalang. Memang, sesungguhnya kau jauh dari sifat
itu. Tapi, Aku sadar betul, Semakin kuat iman seseorang, makin hebat godaan
syetan.
“Ah, bodohnya aku seandainya itu terjadi”, karenanya aku bergegas
menjauh saja darimu. Dan, meninggalkan tanda tanya besar dihatimu. Mungkin kau
bingung. Kau ingin kepastian dariku. Hanya saja, waktu itu aku ingat ada yang
selalu memperhatikanku. Pemilik hatiku. Aku berlari. Sekilas tak ku lihat kau
mengejarku. Mungkin kau menyadari bahwa memang belum pantas kau melakukannya.
Tak ada hak kau mengejarku, apalagi memegang tanganku supaya bisa menahan laju
langkah kakiku. Sungguh, adalah pantangan bagimu melabuhkan sentuhan pada
seseorang yang belum saatnya halal untukmu. Itu kesimpulanku. Wajar saja. Memanggilkupun
tak kudengar saat itu. Aku yakin kau hanya ingin aku tahu isi hatimu, tanpa
membayangkan apa jadinya kalau saja aku memberi jawaban menerima atau
menolakmu. Bagimu itu sudah cukup. Begitu pula denganku, itu juga sudah cukup
untuk menilaimu. Sungguh kau sudah menampakkan sisi positif dari hatimu. Aku
sungguh terkesan.
Terbayang olehku, kau adalah sosok yang rupawan. Walau pendiam
namun kau sungguh menawan. Sosok lelaki yang selama ini ku dambakan. Asal kau
tahu, selama ini aku sering memperhatikanmu. Walau sudah kucegah, tapi bayangmu
selalu saja hadir dan tak mampu ku tepis. Itulah, sudah cukup memupuk rasa
kerinduan dalam hatiku. Kapankah kau menjadi milikku.
Dari balik jendela ini, aku sering melihatmu berlalu. Dengan baju
koko, kau melangkah menuju mesjid di ujung sana. Aku kagum padamu, ternyata
masih ada pemuda zaman sekarang yang terpaut hatinya pada mesjid. Saat itu,
terkadang kulihat kau sesekali melirik ke rumahku. Mungkin kau hanya sekedar
ingin melihatku barang sejenak dan lalu memalingkan wajahmu. Namun berapa
seringpun kau mencari- cari sosokku, tak sekalipun kau melihatku. Aku hafal
benar kapan kau akan lewat depan rumahku. Saat itu aku akan segera masuk
kamarku. Kadang aku tergoda untuk mengintipmu dari balik jendela. Ya Rabbi, jika
memang dia yang akan menjadi pendampingku, jagalah hatinya untuk senantiasa
mengingat-Mu. Dengan begitu, hatinya akan mengajak hatiku untuk bersama- sama
mengagungkan-Mu.
Sejenak ku sandarkan tubuhku di dinding, sementara meresapi
bisikkan hatiku yang seolah menyanyikan syair kerinduan sesaat kau menghilang
dari pandanganku. Aku menantikan suaramu, yang membentuk lafadz- lafadz suci
sehingga juga memunculkan satu energy dan semangat agar aku segera berangkat ke
mesjid. Memang lantunan adzanmu akan selalu terdengar merdu di telingaku.
Lantunan yang akan terus kunanti-nanti menjelang waktu sholat tiba. Dan
kuharap, kau tak akan pernah berhenti melantunkannya juga untukku saat kita
bersama nanti. Semoga kau yang akan menjadi imamku nanti.
Sungguh, dulu, aku tak menyangka kau mampu mengucapkan kata indah
itu padaku. Saat kau melihatku jalan sendiri, pulang dari mesjid. Kau mencoba
mendekat padaku, walau sedikit ragu. Hati-hati sekali kau menyapaku. Saat salam
terucap dari mulutmu, aku hanya mampu menunduk dan menjawab pelan. Sedikit ada
jarak yang kujaga. Aku tak ingin kita terlalu dekat. Belum waktunya. Aku
berusaha menolak saat kau menawarkan jalan dan pulang bersama. Kau mengerti,
karenanya kau tak berjalan terlalu dekat denganku.
Kasih,
Aku tak pernah merasakan rasa
seperti ini sebelumnya. Tak pernah kutemukan laki-laki sepertimu yang
mampu meluluhkan hatiku. Namun, perlu kau ingat aku tak ingin hubungan kita
hanya seperti ini. Aku menginginkan kita bisa membina hubungan yang lebih,
hubungan yang mengikat kita dengan kesucian dan ketulusan. Ikatan yang kuat
dari hati kita yang tak mampu terpisahkan kecuali oleh kematian.
Sedikit aku mengisahkan keprihatinan hatiku, dan aku tak ingin itu
terjadi padaku. Sekali-kali tidak. Pernahkan kau memperhatikan sepasang muda
mudi berjalan berduaan. Terkadang berboncengan. Tangan mereka entah mengapa
bisa dengan mudahnya saling berpegangan. Padahal sudah jelas bagi mereka itu
terlarang. Namun mereka menganggap itu biasa, dan akhirnya benar-benar
terbiasa. Duh.
Pernahkah kau juga melihat banyak yang merasa aneh jika pasangan
mereka menolak ciuman. Terkadang mereka bahkan marah jika pasangannya tak mau
pelukan, Audzubillahi min dzalik. Betapa murahannya mereka. Mau saja
tubuh mereka diperlakukan seperti itu. Tidakkah mereka pernah memikirkan, tubuh
mereka itu begitu istimewa dan mahal harganya. Tubuh yang semestinya hanya
dipersembahkan kepada suaminya, harus dinikmati oleh orang yang belum saatnya
halal mendapatkannya. Sekali lagi, tak pernahkah mereka berpikir, belum tentu
pasangannya saat ini akan menjadi suaminya nanti.
Apakah kau menginginkanku seperti itu? Tidak bukan. Aku pun tak
mau. Tak pernah sekalipun aku ingin mengecewakanmu. Aku tak ingin saat kau
memilikiku, kau kecewa karena mengetahui telah ada orang yang mendahuluimu dan
kau bukanlah orang pertama yang akan mengagumi segala keindahanku. Sekali lagi,
Audzubillah. Tak sanggup aku membayangkan semua itu. Karenanya kan ku
jaga kesucianku hanya untukmu kelak.
Duhai, Kasih yang telah memautkan hatiku,
Ketahuilah, aku juga tak ingin mendapatimu sementara kau sudah
terlanjur melihat apa yang bukan hakmu. Alangkah kecewanya hatiku saat ku tahu
hatimu pernah ternoda. Sungguh perih hatiku jika ku tahu kau pernah memberikan
apa yang seharusnya hanya kau berikan padaku. Sungguh, aku hanya menginginkan
kau selalu menjaga hatimu hingga saatnya kelak kita nanti kan bersatu.
Pernah suatu ketika, aku mendengar ada gadis belia yang nekat
mengakhiri hidupnya gara-gara ditinggal pasangannya, sementara dia tengah
berbadan dua, duh. Betapa miris mendengarnya. Aku tak mau seperti itu, aku
benci hidupku akan menjadi begitu. Dan aku juga akan sangat membenci laki-laki
yang seperti itu, laki-laki yang tak berhati. Hatinya telah mati sehingga tak
mampu menghalau nafsu yang tak pernah mampu dibelenggu.
Kita harus tahu. Bagaimana juapun kita yakin mampu menjaga nafsu
kita, syetan akan selalu punya banyak cara menjerumuskan. Saat kita berkeras
untuk tidak, dia akan mengatakan, setidaknya kita harus menjalin silaturrahmi
sesama muslim. Singkatnya, terlalu banyak akal liciknya untuk memperdaya kita.
Semua akan tersamarkan begitu saja. Yakinkah kau, suatu hubungan yang tidak
halal akan mampu menjaga kita? Yakinkah kau dengan hubungan itu tak akan
tergoda untuk sekedar sms atau menelponku, walau hanya untuk menanyakan
kabarku, sudahkah aku makan atau bahkan sudahkah aku sholat? Sungguh, ada-ada
saja. Itulah pintu syetan menjerumuskan kita lewat sebentuk perhatianmu
menyuruhku sholat.
Yakinkah pula nanti hatimu tak akan tergelitik sedikitpun untuk
mengajakku ketemuan? Minimal ketemu saat sama- sama pergi ke mesjid, atau
mungkin mengajak kepengajian, wow, indah bukan? Tapi tidak untuk saat ini.
Sekali- kali mungkin nanti kau akan mengajakku ke tempat lain, yaa atau paling
tidak mengajakku duduk di taman dekat mesjid sambil menunggu waktu sholat tiba.
Lalu kita mengobrol banyak. Sambil tertawa-tawa. Tak terasa mungkin saja
tanganmu kan menyentuh dan menggenggam jemariku. Kita begitu terbius
sampai-sampai tidak menyadarinya. Hebat sekali scenario syetan itu. Astaghfirullah
Yaa Rabb. Aku tak mau, aku inginnya seperti itu saat kau halal untukku.
Saat itu kau mengajakku sholat berjamaah. Kau berjalan di sampingku sambil
menggandeng tanganku. Yaa Allah, aku sangat merindukan saat seperti itu.
Duhai kekasihku,
Tahukah sekarang aku begitu merindukanmu. Aku ingin hidup bersamamu.
Bukan tanpa alasan, apalah artinya aku tanpa adanya dirimu. Aku begitu rapuh
sampai kau menguatkanku. Ketahuilah, aku tak mengharap banyak padamu. Aku tak
berharap kau datang dengan banyak harta, aku tak berharap kau datang dengan
bagus rupa, tapi cukuplah bagiku kau datang dengan cinta dan agamamu. Karna aku
yakin, dengan cinta kau sanggup memberikan apapun yang ku minta. Dan dengan
agamamu kau sanggup membawaku ke surga. Karenanya, tak perlu kau kuatir. Aku
ingin kau cepat datang kesini menjemputku. Aku ingin kau berani menemui orang
tuaku dan meminta izin untuk membawaku. Tentunya dengan ikatan yang halal.
Jangan hanya berani mengucapkan cinta, tanpa bukti nyata. Aku ingin sekarang
mendengarkan sesuatu yang harus kau ucapkan untuk menyatukan cinta kita.
Duhai kekasih hatiku,
Aku ingin mendengar kau mengucapkan ijab kabul di depan ayahku dan
juga penghulu. Saat itu kau akan melihat binar cahaya mataku, betapa bahagianya
aku akan menjadi istrimu. Yang selamanya akan mendampingimu. Kau juga harus
tahu, bahwa selama ini aku juga ingin seperti mereka yang ada di TV, aku iri,
ingin bisa merasakan kebahagiaan seperti mereka. Hanya saja mereka salah,
terlalu dini untuk merasakannya. Harus ada ikatan yang halal untuk itu.
Kasihku,
Kini aku menantikan ijab kabul darimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar