Selasa, 10 Desember 2013

FOGGING

Oleh: Abi Aufaa

“Waahh… kakak sekarang berubah, Ck, ck, ck”,  decak Aufa, adik kecilku yang cantik dan imut saat masuk ke dalam kamarku. Aku tak tahu apakah ia serius kagum padaku, atau hanya menggoda seperti yang biasa dilakukanya dulu. Tapi kulihat dia sedikit mencibir dibarengi senyum.
“Kok, tumben, Kak?”
JJJ
Aku baru selesai KKN. Salah satu tugas akhir kuliah yang harus ku laksanakan. Dalam Program KKN ini, kami dibagi ke dalam banyak kelompok. Kira-kira seratus kelompok dan tiap kelompok terdiri dari tujuh orang; tiga laki-laki dan empat perempuan. Masing-masing  kelompok kemudian ditugaskan untuk mengabdi pada sebuah desa yang bisa dibilang terkebelakang. Sebagai mahasiswa yang terbilang berpikiran maju dan berpandangan luas, kami membawa banyak program dalam rangka pembinaan masyarakat di samping juga belajar dan menggali pengetahuan dari beraneka ragam tradisi, kebudayaan dan berbagai aspek kehidupan di pedesaan yang cenderung unik, alami dan tradisionalis.
Kami ditempatkan di desa Suka Damai. Sesuai dengan harapan kami, masyarakat di sini memang sangat ramah dan bersahabat. Kedatangan kami disambut dengan hangat di sebuah mushalla yang cukup sederhana. Namun kesederhanaan yang dibalut dengan kehangatan dan rasa kekeluargaan itulah yang justeru membuat kami terkesan. Masyarakat dan tokoh masyarakatnya terlihat sangat antusias. Dalam sambutannya, Bapak kepala desa mengungkapkan rasa terima kasih dan kebahagiaan atas kedatangan kami. Beliau mengatakan sangat bangga dengan adanya orang terpelajar yang mau membantu, mengabdikan diri serta akan memberikan pembinaan di desanya walaupun hanya untuk beberapa bulan saja. Beliau berharap kedatangan peserta KKN ini mampu memberikan pencerahan cara berfikir masyakarat yang cenderung kolot dan ketinggalan..
Setelah acara penyambutan selesai, kami disuguhi kue khas masyarakat setempat. Terbuat dari ketan, berwarna hijau dan di beri kuah air gula merah dan parutan kelapa muda. Nikmatnya. Aku berharap selesai KKN nanti, aku sudah bisa membuatnya.
JJJ
Kami tinggal di sebuah rumah yang terletak di sebelah mushalla. Rumah ini milik seorang nenek tua. Dia tinggal sendiri karena anak-anaknya sudah menikah semua. Suaminya telah lama meninggal dunia. Sekarang kami tinggal bersamanya. Rumahnya cukup luas, dan ada tiga buah kamar di sana. Pas. Satu buah kamar untuk laki- laki, satu buah untuk perempuan dan satu buah lagi untuk nenek. Kamarnya terbilang cukup besar kalau hanya sekedar untuk tidur istirahat dan menyimpan barang- barang pribadi seperti pakaian dan lain-lain, terkecuali peralatan makan dan cuci kami letakan di  belakang.
Nenek sangat senang. Selama ini beliau merasa sangat kesepian. Saking senangnya, begitu beberapa hari yang lalu Bapak kepala desa meminta izin agar para peserta KKN diizinkan tinggal di sini, beliau langsung mengiyakan. Dan tepat di hari pertama kami tinggal dirumahnya, beliau langsung merayakannya dengan menyiapkan hidangan yang enak- enak untuk kami santap. Wah, nikmatnya. Nenek ternyata jago masak.
JJJ
Selama seminggu ini, kami focuskan untuk bersilaturrahmi kepada masyarakat. Tujuannya agar kami bisa saling mengenal. Setiap hari kami jalan- jalan ke rumah-rumah warga sekedar mengenalkan siapa kami, meski sebenarnya tidak perlu karena mereka sudah mengenali kami.
Minggu kedua, kami mulai melaksanakan program-program yang kami bawa. Kami sering mengadakan pengajian, gotong royong, mengajar ke sekolah, ikut membenahi administrasi desa, memberikan pelatihan keterampilan dan pengembangan sumber daya alam, pembinaan mental spiritual, pengelolaan tata laksana desa, pembinaan generasi muda juga penyuluhan kesehatan. Semua program tersebut kami laksanakan secara berkala dan terjadwal. Setiap peserta dalam kelompok, diwajibkan untuk mengkoordinir beberapa program yang dilaksanakan. Aku sendiri, mendapat tanggung jawab untuk mengurus masalah pembinaan generasi muda dan penyuluhan kesehatan. Sejak saat itulah aku berusaha mendalami pengetahuanku mengenai kedua hal tersebut. Untuk pembinaan generasi muda aku memiliki program berupa kegiatan olahraga bersama dengan para pemuda. Ternyata di desa ini banyak yang jago main sepak bola, badminton dan volley. Selain itu ada juga yang suka main catur di gardu. Wah, kebetulan sekali aku sangat menyukai keempat jenis olah raga ini. Karenanya tak sulit bagiku untuk merangkul para pemuda disini, sungguh beruntung.
Sebaliknya, aku justru tidak terlalu memahami masalah kesehatan. Aku ingat bagaimana keadaan rumahku sendiri begitu berantakan. Terutama kamarku. Aku orangnya cukup sibuk. Di samping kuliah aku juga sudah bekerja dan aktif di beberapa organisasi. Dengan kesibukkan itulah, membuatku tak sempat merapikan kamarku sendiri. Terkadang aku hanya sempat ganti baju di kamar, terus pergi lagi. Sering pula begitu sampai pulang aku langsung tidur, tak peduli dengan kamar yang berantakan. Aku tetap bisa tidur dengan nyenyak. Aku sudah terbiasa. Sering kali ayah dan ibu menasehatiku untuk membersihkannya, namun aku tetap tak tergerak untuk melakukannya. Ada ada saja alasanku untuk menunda-nunda.
Awalnya aku menolak untuk mengurusi penyuluhan ini, tapi teman teman terus mendesakku. Aku menjelaskan bahwa aku sendiri tak begitu memahami masalah kesehatan ini. Belum lagi dengan keadaan rumahku sendiri. Namun justru itulah yang membuat teman-teman malah menunjukku. Katanya justru inilah kesempatan untukku lebih mengerti akan pentingnya kebersihan dan kesehatan. Aku menganggukan kepala, sekedar memuaskan hati mereka. Walau aku bingung, apa yang mesti kulakukan nantinya.
Sejak itu aku rajin mensosialisasikan akan pentingnya kesehatan pada masyarakat. Setiap ada kesempatan aku selalu memberikan penyuluhan. Walaupun dengan pengetahuan seadanya ternyata mampu mencerahkan. Selain itu aku juga gencar membuat plakat-plakat berisi anjuran untuk hidup sehat. Masyarakat merasa sangat senang. Banyak pula yang memujiku. Katanya,
 “Wah, mas Ilham ternyata pinter yaa, tau banyak tentang kesehatan”
“Sekarang susah lo nyari orang kaya mas Ilham, cinta kebersihan”
“Klo ga ada mas Ilham, mungkin kami ga akan menyadari betapa pentingnya menjaga kesehatan”
Macam-macam. Sementara aku hanya menggelengkan kepala. Mereka belum tahu seperti apa aku di rumah. Disini, tentu saja aku berusaha terlihat “sempurna” dan mampu memberikan contoh yang baik. Kadang kupikir lucu juga aku dipuji-puji seperti itu.
JJJ
Pagi itu, tiba- tiba saja rumah kami diketok seseorang. Kulihat bu Marwan datang tergopoh- gopoh. Beliau tetangga kami di desa ini. Kami sudah sangat akrab dengannya.
“Nak Ilham, coba ke rumah Ibu sebentar nak”
“Memangnya ada apa, Bu. Ibu tenang dulu, ceritakan masalahnya dengan tenang.”
“Anak Ibu, Tio sakit, Nak. Tubuhnya panas dan penuh dengan bintik- bintik merah”
“Benarkah?” “Baiklah, saya dengan teman- teman akan segera ke rumah Ibu, Ibu pulang saja dulu”.
JJJ
Nampak Tio begitu lemas di atas tempat tidur. Mukanya pucat. Aku memeriksanya segera. Dari gejala-gejalanya aku bisa dengan cepat menyimpulkan, Tio kena demam berdarah. Untuk lebih memastikan:
“Boleh saya melihat- lihat rumah ibu sebentar?”
“Oh, silakan, Nak. Tapi maaf, rumahnya kotor. Ibu tidak sempat membersihkannya”
Aku mengangguk. Segera aku berkeliling. Tampak olehku baju- baju bergelantungan tak teratur di dinding. Menurut artikel yang pernah kubaca, nyamuk sangat suka tinggal di sana. aku juga segera memeriksa sanitasi rumah ini, begitu ku cek, ternyata benar banyak air yang tergenang dan ada banyak jentik-jentik nyamuk di sana. Aku menunjukkannya pada bu Marwan, beliau hanya menunduk. Sebentar aku menasehati bu Marwan mengenai pentingnya menjaga pola hidup sehat. Bukan bermaksud menggurui, tapi tiba- tiba saja aku menjadi peduli. Aku lupa akan kehidupanku sendiri.
Aku dan teman- teman membawa Tio ke rumah sakit. Awalnya bu Marwan menolak. Dia takut tidak sanggup membayar biaya pengobatannya. Namun cepat ku bantah, bukan waktunya memikirkan biaya. Berobat yang paling utama.
Di rumah sakit, kebetulan sekali aku bertemu mas Yanto teman lamaku yang telah menjadi dokter. Dia kakak kelasku. Dengan mudahnya aku berurusan dengannya. Segala biaya pengobatan digratiskan. Kulihat bu Marwan bernafas lega. Meski Tio diharuskan rawat inap. Tapi minimal, biaya tak lagi jadi beban fikirannya.
Mas Yanto, membawa ku dan bu Marwan keluar, dia menyampaikan keinginannya untuk mengadakan sosialisasi kesehatan di desa bu Marwan dan sekalian mengadakan pengasapan atau fogging untuk membasmi nyamuk demam berdarah di sana. bu Marwan sih nampak setuju saja. Dia menatap ke arahku, lalu ke arah dr. yanto. Dia memberi tahu, bahwa selama ini aku juga aktif mengingatkan betapa pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan padanya. Aku hanya tersipu. Sungguh ironi sekali pikirku ketika aku membayangkan keadaan di kamarku. Mas Yanto tersenyum mendengarnya.
Lebih lanjut mas Yanto menjelaskan bahwa program fogging ini merupakan program pemerintah daerah bekerja sama dengan dinas kesehatan yang tidak hanya dilaksanakan di desa bu Marwan saja, tetapi juga di seluruh desa se kabupaten, mengingat pasien terkena DBD makin meningkat saja dari hari ke hari.
“Aku juga nanti akan ke rumahmu, Ilham”, kata Mas yanto.
“Eh, iya. Tadi kan kata mas Yanto udah bilang pelaksanaan se-kabupaten, otomatis desaku juga termasuk”, jawabku, menyadari bahwa desaku masih termasuk dalam wilayah kabupaten ini.
“Oke, Kalau begitu aku pergi dulu, sampai nanti yaa”
“Tapi mas, kapan pelaksanaan fogging di desa kami?”
“Insya Allah pertengahan September nanti”
“Oh, begitu. Aku awal September ini juga sudah pulang KKN, mas. Jadi kita bisa bertemu nanti”
Mas Yanto tersenyum.
JJJ
Hari ini adalah hari terakhir kami KKN, sore nanti kami sudah pulang ke rumah masing-masing. Kami mengadakan acara perpisahan dengan masyarakat. Banyak raut-raut sedih terlihat. Tak terkecuali aku dan teman-temanku. Sungguh terasa berat untuk berpisah setelah terjalin ikatan kebersamaan yang tumbuh di hati kami masing-masing. Ada butir- butir air yang ingin merembes  dari mata ini, namun kutahan. Aku menyadari bahwa setiap pertemuan itu pasti ada perpisahan. Hanya saja setiap perpisahan itu bukan akhir segala-galanya. Aku masih tetap berkunjung kesini nantinya, mengunjungi nenek, kepala desa, bu Marwan juga teman-temanku bermain bola, volley pokoknya semuanya.
Terakhir, kami bersalaman dengan semua masyarakat yang hadir. Ucapan selamat tinggal, selamat jalan dan doa menyertai kepergian kami. Kami melambaikan tangan saat memasuki dua buah mobil yang kami pesan untuk mengantar kami dan barang-barang kami pulang.
Kurang dari satu jam, aku tiba di rumah. ayah, ibu dan Aufa sudah menunggu kedatanganku. Saat aku turun dari mobil, Aufa langsung berlari ke arahku. Aku menyambut dengan memeluknya erat. Kuangkat dalam gendonganku, kucium pipinya.
“Horee, Kak Ilham pulang, Aufa kangen Kakak.”
“Iya, sayang. Kakak juga kangen banget sama Aufa” sekali lagi kucium pipinya. Aku sangat menyayangi adik kecilku ini. Ayah dan Ibu menghampiriku, aku menyalami tangan keduanya.
“Istirahat dulu, Ilham”, kata Ibu. Aku mengangguk sambil menarik tas rodaku. Aku menuju kamarku. Sampai di sana aku merasa tidak senyaman dulu saat melihat kamar yang berantakan sekali. Aku jadi eneg. Biasanya aku tak seperti ini. Aku langsung bisa tertidur di sana. tapi kali ini lain. Kutinggalkan tasku di sana lalu berbalik keluar.
“Kenapa, Ham?”, Tanya Ibu.
“Nggak apa-apa, Bu. Mungkin Ilham tidur di kamar Aufa saja, Ilham kangen banget sama Aufa.”, aku beralasan. Ibu mengiyakan. Aku ke kamar Aufa dan istirahat di sana sambil bercerita banyak hal padanya.
JJJ
Tiga hari sejak kepulanganku, mas Yanto menelponku. Dia mengatakan program fogging dipercepat. Besok dia dan pihak dinas kesehatan akan ke desaku. Aku kaget, tanpa pikir lagi, aku langsung membersihkan kamarku. Barang-barang yang tidak terpakai lagi kubakar di samping rumah.
“Ilham sekarang jadi tambah rajin yaa, Pa?”
“Mungkin dia dapat pengalaman berharga saat KKN, Ma”
JJJ
Pagi hari kira-kira jam 10, Petugas dari dinas Kesehatan mengetuk pintu. Ibu yang membukakan.
“Maaf, Bu. Kami petugas dari dinas Kesehatan ingin melakukan pengasapan di desa ini untuk membasmi nyamuk demam berdarah, terkait dengan maraknya kasus penderita DBD saat ini. Boleh kami masuk?”
Ibu manggut-manggut,
“Sebentar saya panggilkan suami dan anak- anak saya dulu”
Setelah semua keluar, segera petugas dinas kesehatan masuk ke dalam dan mulai mengasapi seluruh sudut rumah. rumahnya tampak bersih, tapi tidak salahnya diasapi.
Ibu dan Ayah tampak saling pandang. Kemudian tersenyum. Ada sesuatu yang mereka sadari. Pantas saja kemarin anak lelaki mereka begitu rajinnya membersihkan kamar, ternyata dia sudah tahu ada tamu yang datang hari ini. Tapi tidak apa-apa kata Ibu, yang penting ia punya alasan untuk berbuat baik. Aku tersenyum mendengarnya. Kulihat hanya  Aufa yang masih agak kebingungan. Sekali lagi aku tersenyum mengingat kata-katanya kemarin:
“Waahh… kakak sekarang berubah, Ck, ck, ck”.
JJJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar