Oleh: Abi Aufaa
“Waahh…
kakak sekarang berubah, Ck, ck, ck”,
decak Aufa, adik kecilku yang cantik dan imut saat masuk ke dalam
kamarku. Aku tak tahu apakah ia serius kagum padaku, atau hanya menggoda
seperti yang biasa dilakukanya dulu. Tapi kulihat dia sedikit mencibir
dibarengi senyum.
“Kok,
tumben, Kak?”
JJJ
Aku
baru selesai KKN. Salah satu tugas akhir kuliah yang harus ku laksanakan. Dalam
Program KKN ini, kami dibagi ke dalam banyak kelompok. Kira-kira seratus
kelompok dan tiap kelompok terdiri dari tujuh orang; tiga laki-laki dan empat
perempuan. Masing-masing kelompok
kemudian ditugaskan untuk mengabdi pada sebuah desa yang bisa dibilang
terkebelakang. Sebagai mahasiswa yang terbilang berpikiran maju dan
berpandangan luas, kami membawa banyak program dalam rangka pembinaan
masyarakat di samping juga belajar dan menggali pengetahuan dari beraneka ragam
tradisi, kebudayaan dan berbagai aspek kehidupan di pedesaan yang cenderung
unik, alami dan tradisionalis.
Kami
ditempatkan di desa Suka Damai. Sesuai dengan harapan kami, masyarakat di sini
memang sangat ramah dan bersahabat. Kedatangan kami disambut dengan hangat di
sebuah mushalla yang cukup sederhana. Namun kesederhanaan yang dibalut dengan
kehangatan dan rasa kekeluargaan itulah yang justeru membuat kami terkesan.
Masyarakat dan tokoh masyarakatnya terlihat sangat antusias. Dalam sambutannya,
Bapak kepala desa mengungkapkan rasa terima kasih dan kebahagiaan atas
kedatangan kami. Beliau mengatakan sangat bangga dengan adanya orang terpelajar
yang mau membantu, mengabdikan diri serta akan memberikan pembinaan di desanya
walaupun hanya untuk beberapa bulan saja. Beliau berharap kedatangan peserta
KKN ini mampu memberikan pencerahan cara berfikir masyakarat yang cenderung
kolot dan ketinggalan..
Setelah
acara penyambutan selesai, kami disuguhi kue khas masyarakat setempat. Terbuat
dari ketan, berwarna hijau dan di beri kuah air gula merah dan parutan kelapa
muda. Nikmatnya. Aku berharap selesai KKN nanti, aku sudah bisa membuatnya.
JJJ
Kami
tinggal di sebuah rumah yang terletak di sebelah mushalla. Rumah ini milik
seorang nenek tua. Dia tinggal sendiri karena anak-anaknya sudah menikah semua.
Suaminya telah lama meninggal dunia. Sekarang kami tinggal bersamanya. Rumahnya
cukup luas, dan ada tiga buah kamar di sana. Pas. Satu buah kamar untuk laki-
laki, satu buah untuk perempuan dan satu buah lagi untuk nenek. Kamarnya
terbilang cukup besar kalau hanya sekedar untuk tidur istirahat dan menyimpan
barang- barang pribadi seperti pakaian dan lain-lain, terkecuali peralatan
makan dan cuci kami letakan di belakang.
Nenek
sangat senang. Selama ini beliau merasa sangat kesepian. Saking senangnya,
begitu beberapa hari yang lalu Bapak kepala desa meminta izin agar para peserta
KKN diizinkan tinggal di sini, beliau langsung mengiyakan. Dan tepat di hari
pertama kami tinggal dirumahnya, beliau langsung merayakannya dengan menyiapkan
hidangan yang enak- enak untuk kami santap. Wah, nikmatnya. Nenek ternyata jago
masak.
JJJ
Selama
seminggu ini, kami focuskan untuk bersilaturrahmi kepada masyarakat. Tujuannya
agar kami bisa saling mengenal. Setiap hari kami jalan- jalan ke rumah-rumah
warga sekedar mengenalkan siapa kami, meski sebenarnya tidak perlu karena
mereka sudah mengenali kami.
Minggu
kedua, kami mulai melaksanakan program-program yang kami bawa. Kami sering
mengadakan pengajian, gotong royong, mengajar ke sekolah, ikut membenahi
administrasi desa, memberikan pelatihan keterampilan dan pengembangan sumber
daya alam, pembinaan mental spiritual, pengelolaan tata laksana desa, pembinaan
generasi muda juga penyuluhan kesehatan. Semua program tersebut kami laksanakan
secara berkala dan terjadwal. Setiap peserta dalam kelompok, diwajibkan untuk
mengkoordinir beberapa program yang dilaksanakan. Aku sendiri, mendapat
tanggung jawab untuk mengurus masalah pembinaan generasi muda dan penyuluhan
kesehatan. Sejak saat itulah aku berusaha mendalami pengetahuanku mengenai
kedua hal tersebut. Untuk pembinaan generasi muda aku memiliki program berupa
kegiatan olahraga bersama dengan para pemuda. Ternyata di desa ini banyak yang
jago main sepak bola, badminton dan volley. Selain itu ada juga yang suka main
catur di gardu. Wah, kebetulan sekali aku sangat menyukai keempat jenis olah
raga ini. Karenanya tak sulit bagiku untuk merangkul para pemuda disini,
sungguh beruntung.
Sebaliknya,
aku justru tidak terlalu memahami masalah kesehatan. Aku ingat bagaimana
keadaan rumahku sendiri begitu berantakan. Terutama kamarku. Aku orangnya cukup
sibuk. Di samping kuliah aku juga sudah bekerja dan aktif di beberapa
organisasi. Dengan kesibukkan itulah, membuatku tak sempat merapikan kamarku
sendiri. Terkadang aku hanya sempat ganti baju di kamar, terus pergi lagi.
Sering pula begitu sampai pulang aku langsung tidur, tak peduli dengan kamar
yang berantakan. Aku tetap bisa tidur dengan nyenyak. Aku sudah terbiasa. Sering
kali ayah dan ibu menasehatiku untuk membersihkannya, namun aku tetap tak
tergerak untuk melakukannya. Ada ada saja alasanku untuk menunda-nunda.
Awalnya
aku menolak untuk mengurusi penyuluhan ini, tapi teman teman terus mendesakku.
Aku menjelaskan bahwa aku sendiri tak begitu memahami masalah kesehatan ini.
Belum lagi dengan keadaan rumahku sendiri. Namun justru itulah yang membuat
teman-teman malah menunjukku. Katanya justru inilah kesempatan untukku lebih
mengerti akan pentingnya kebersihan dan kesehatan. Aku menganggukan kepala,
sekedar memuaskan hati mereka. Walau aku bingung, apa yang mesti kulakukan
nantinya.
Sejak
itu aku rajin mensosialisasikan akan pentingnya kesehatan pada masyarakat.
Setiap ada kesempatan aku selalu memberikan penyuluhan. Walaupun dengan
pengetahuan seadanya ternyata mampu mencerahkan. Selain itu aku juga gencar
membuat plakat-plakat berisi anjuran untuk hidup sehat. Masyarakat merasa
sangat senang. Banyak pula yang memujiku. Katanya,
“Wah, mas Ilham ternyata pinter yaa, tau
banyak tentang kesehatan”
“Sekarang
susah lo nyari orang kaya mas Ilham, cinta kebersihan”
“Klo
ga ada mas Ilham, mungkin kami ga akan menyadari betapa pentingnya menjaga
kesehatan”
Macam-macam.
Sementara aku hanya menggelengkan kepala. Mereka belum tahu seperti apa aku di
rumah. Disini, tentu saja aku berusaha terlihat “sempurna” dan mampu memberikan
contoh yang baik. Kadang kupikir lucu juga aku dipuji-puji seperti itu.
JJJ
Pagi
itu, tiba- tiba saja rumah kami diketok seseorang. Kulihat bu Marwan datang
tergopoh- gopoh. Beliau tetangga kami di desa ini. Kami sudah sangat akrab
dengannya.
“Nak
Ilham, coba ke rumah Ibu sebentar nak”
“Memangnya
ada apa, Bu. Ibu tenang dulu, ceritakan masalahnya dengan tenang.”
“Anak
Ibu, Tio sakit, Nak. Tubuhnya panas dan penuh dengan bintik- bintik merah”
“Benarkah?”
“Baiklah, saya dengan teman- teman akan segera ke rumah Ibu, Ibu pulang saja
dulu”.
JJJ
Nampak
Tio begitu lemas di atas tempat tidur. Mukanya pucat. Aku memeriksanya segera.
Dari gejala-gejalanya aku bisa dengan cepat menyimpulkan, Tio kena demam
berdarah. Untuk lebih memastikan:
“Boleh
saya melihat- lihat rumah ibu sebentar?”
“Oh,
silakan, Nak. Tapi maaf, rumahnya kotor. Ibu tidak sempat membersihkannya”
Aku
mengangguk. Segera aku berkeliling. Tampak olehku baju- baju bergelantungan tak
teratur di dinding. Menurut artikel yang pernah kubaca, nyamuk sangat suka
tinggal di sana. aku juga segera memeriksa sanitasi rumah ini, begitu ku cek,
ternyata benar banyak air yang tergenang dan ada banyak jentik-jentik nyamuk di
sana. Aku menunjukkannya pada bu Marwan, beliau hanya menunduk. Sebentar aku
menasehati bu Marwan mengenai pentingnya menjaga pola hidup sehat. Bukan
bermaksud menggurui, tapi tiba- tiba saja aku menjadi peduli. Aku lupa akan
kehidupanku sendiri.
Aku
dan teman- teman membawa Tio ke rumah sakit. Awalnya bu Marwan menolak. Dia
takut tidak sanggup membayar biaya pengobatannya. Namun cepat ku bantah, bukan
waktunya memikirkan biaya. Berobat yang paling utama.
Di
rumah sakit, kebetulan sekali aku bertemu mas Yanto teman lamaku yang telah
menjadi dokter. Dia kakak kelasku. Dengan mudahnya aku berurusan dengannya.
Segala biaya pengobatan digratiskan. Kulihat bu Marwan bernafas lega. Meski Tio
diharuskan rawat inap. Tapi minimal, biaya tak lagi jadi beban fikirannya.
Mas
Yanto, membawa ku dan bu Marwan keluar, dia menyampaikan keinginannya untuk
mengadakan sosialisasi kesehatan di desa bu Marwan dan sekalian mengadakan
pengasapan atau fogging untuk membasmi nyamuk demam berdarah di sana. bu Marwan
sih nampak setuju saja. Dia menatap ke arahku, lalu ke arah dr. yanto. Dia
memberi tahu, bahwa selama ini aku juga aktif mengingatkan betapa pentingnya
menjaga kebersihan dan kesehatan padanya. Aku hanya tersipu. Sungguh ironi
sekali pikirku ketika aku membayangkan keadaan di kamarku. Mas Yanto tersenyum
mendengarnya.
Lebih
lanjut mas Yanto menjelaskan bahwa program fogging ini merupakan program
pemerintah daerah bekerja sama dengan dinas kesehatan yang tidak hanya
dilaksanakan di desa bu Marwan saja, tetapi juga di seluruh desa se kabupaten,
mengingat pasien terkena DBD makin meningkat saja dari hari ke hari.
“Aku
juga nanti akan ke rumahmu, Ilham”, kata Mas yanto.
“Eh,
iya. Tadi kan kata mas Yanto udah bilang pelaksanaan se-kabupaten, otomatis
desaku juga termasuk”, jawabku, menyadari bahwa desaku masih termasuk dalam
wilayah kabupaten ini.
“Oke,
Kalau begitu aku pergi dulu, sampai nanti yaa”
“Tapi
mas, kapan pelaksanaan fogging di desa kami?”
“Insya
Allah pertengahan September nanti”
“Oh,
begitu. Aku awal September ini juga sudah pulang KKN, mas. Jadi kita bisa
bertemu nanti”
Mas
Yanto tersenyum.
JJJ
Hari
ini adalah hari terakhir kami KKN, sore nanti kami sudah pulang ke rumah
masing-masing. Kami mengadakan acara perpisahan dengan masyarakat. Banyak
raut-raut sedih terlihat. Tak terkecuali aku dan teman-temanku. Sungguh terasa
berat untuk berpisah setelah terjalin ikatan kebersamaan yang tumbuh di hati
kami masing-masing. Ada butir- butir air yang ingin merembes dari mata ini, namun kutahan. Aku menyadari
bahwa setiap pertemuan itu pasti ada perpisahan. Hanya saja setiap perpisahan
itu bukan akhir segala-galanya. Aku masih tetap berkunjung kesini nantinya,
mengunjungi nenek, kepala desa, bu Marwan juga teman-temanku bermain bola,
volley pokoknya semuanya.
Terakhir,
kami bersalaman dengan semua masyarakat yang hadir. Ucapan selamat tinggal,
selamat jalan dan doa menyertai kepergian kami. Kami melambaikan tangan saat
memasuki dua buah mobil yang kami pesan untuk mengantar kami dan barang-barang
kami pulang.
Kurang
dari satu jam, aku tiba di rumah. ayah, ibu dan Aufa sudah menunggu
kedatanganku. Saat aku turun dari mobil, Aufa langsung berlari ke arahku. Aku
menyambut dengan memeluknya erat. Kuangkat dalam gendonganku, kucium pipinya.
“Horee,
Kak Ilham pulang, Aufa kangen Kakak.”
“Iya,
sayang. Kakak juga kangen banget sama Aufa” sekali lagi kucium pipinya. Aku
sangat menyayangi adik kecilku ini. Ayah dan Ibu menghampiriku, aku menyalami
tangan keduanya.
“Istirahat
dulu, Ilham”, kata Ibu. Aku mengangguk sambil menarik tas rodaku. Aku menuju
kamarku. Sampai di sana aku merasa tidak senyaman dulu saat melihat kamar yang
berantakan sekali. Aku jadi eneg. Biasanya aku tak seperti ini. Aku langsung
bisa tertidur di sana. tapi kali ini lain. Kutinggalkan tasku di sana lalu
berbalik keluar.
“Kenapa,
Ham?”, Tanya Ibu.
“Nggak
apa-apa, Bu. Mungkin Ilham tidur di kamar Aufa saja, Ilham kangen banget sama
Aufa.”, aku beralasan. Ibu mengiyakan. Aku ke kamar Aufa dan istirahat di sana
sambil bercerita banyak hal padanya.
JJJ
Tiga
hari sejak kepulanganku, mas Yanto menelponku. Dia mengatakan program fogging
dipercepat. Besok dia dan pihak dinas kesehatan akan ke desaku. Aku kaget,
tanpa pikir lagi, aku langsung membersihkan kamarku. Barang-barang yang tidak
terpakai lagi kubakar di samping rumah.
“Ilham
sekarang jadi tambah rajin yaa, Pa?”
“Mungkin
dia dapat pengalaman berharga saat KKN, Ma”
JJJ
Pagi
hari kira-kira jam 10, Petugas dari dinas Kesehatan mengetuk pintu. Ibu yang
membukakan.
“Maaf,
Bu. Kami petugas dari dinas Kesehatan ingin melakukan pengasapan di desa ini
untuk membasmi nyamuk demam berdarah, terkait dengan maraknya kasus penderita
DBD saat ini. Boleh kami masuk?”
Ibu
manggut-manggut,
“Sebentar
saya panggilkan suami dan anak- anak saya dulu”
Setelah
semua keluar, segera petugas dinas kesehatan masuk ke dalam dan mulai mengasapi
seluruh sudut rumah. rumahnya tampak bersih, tapi tidak salahnya diasapi.
Ibu
dan Ayah tampak saling pandang. Kemudian tersenyum. Ada sesuatu yang mereka
sadari. Pantas saja kemarin anak lelaki mereka begitu rajinnya membersihkan
kamar, ternyata dia sudah tahu ada tamu yang datang hari ini. Tapi tidak
apa-apa kata Ibu, yang penting ia punya alasan untuk berbuat baik. Aku tersenyum
mendengarnya. Kulihat hanya Aufa yang
masih agak kebingungan. Sekali lagi aku tersenyum mengingat kata-katanya
kemarin:
“Waahh…
kakak sekarang berubah, Ck, ck, ck”.
JJJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar