Selasa, 10 Desember 2013

SANDAL

Oleh: Abi Aufaa

Kulihat pemuda yang memakai busana muslim putih itu. Dia duduk di pojokan mesjid. raut wajahnya tak lagi sedih seperti dulu. Ada kebahgiaan terpancar di sana.
***
Aku ingat sebulan yang lalu, saat masih bulan Ramadhan……..
………….Waa, Sandalku hilang lagi”, Aku menjerit selanjutnya diiringi dengan lelehan air mata di pipi. Abi datang mendekatiku, dia membelai rambutku dengan lembut.
“Luthfi sudah mencarinya ke sana atau ke situ?”, abi bertanya sambil menunjuk beberapa tempat.
“Sudah, Bi. Tapi tetap gak ketemu”
“Ya, sudah. Nanti kita beli yang baru saja yaa”
Aku mengangguk, mataku masih merah namun tangisku sudah reda. Kami memutuskan segera pulang ke rumah. Hari sudah larut malam, selesai sholat tarawih tadi aku sempat melirik jam dinding mesjid, hampir jam sepuluh. Abi menuntun tanganku pulang. Mataku masih saja jelalatan kesana kemari, siapa tahu sandalku ada. Mataku menyisir satu persatu sandal yang berserakan di sana. Namun tetap tak kutemukan. Sandalnya berserakan sekali, sangat sulit bagiku memperhatikannya satu satu. Andai saja sandal sandal ini disusun dengan rapi, gumamku.
***
Aku bergegas pergi ke mesjid, seperti biasa aku ingin ikut berbuka puasa bersama di sana. Aku merasa senang sekali, bukan karena makanannya enak-enak. Jujur lebih enak masakan ummi di rumah, selain itu ummi juga suka membuatkan kue kue yang enak. Kalau dimesjid paling makannya cuma nasi bungkus, susu sama kurma. Tapi aku tetap suka berbuka di mesjid. Karena di sana aku merasakan adanya kebersamaan dengan orang lain.
Di dalam mesjid ku lihat sudah banyak orang berkumpul. Mereka mengelilingi hidangan yang sudah disediakan. Mereka menunggu saat buka puasa tiba. Sebagian tampak sedang berdzikir. Tinggal beberapa menit lagi. Tak terasa sudah hampir seharian aku berpuasa. Sebenarnya aku masih kecil, usiaku baru 4 tahun. Tapi abi sama ummi sudah membiasakan aku untuk berpuasa. Tahun kemarin aku juga sudah mulai berpuasa, walaupun sekitar 7 kali aku tidak tahan dan berbuka duluan. Aku berharap tahun ini, aku bisa berpuasa sebulan penuh.
Mataku terus mengikuti putaran jarum jam yang menempel di dinding, begitu pula beberapa orang temanku. Begitu jarumya menunjuk ke angka enam, kami bersorak. Waktu berbuka telah tiba. Kami pun berdoa. Tiba- tiba Ustadz  Hadi berdiri, dia keluar dari ruang induk mesjid. Mataku membuntutinya dari belakang. Lho, kenapa tidak makan, fikirku. Tampak olehku dia menyapa seorang pemuda.
***
“Assalamu`alaikum”, Ustadz Hadi memberi salam, pemuda itu menoleh ke arahnya namun tidak membalas salamnya. Sekali lagi Ustadz Hadi memberi salam, namun tetap tidak mendapat balasan. Pemuda itu hanya diam, dia sedikit senyum sungkan. Lalu mengalihkan pandangannya. Tampak sekali matanya seolah sedang menahan satu beban. Ustadz diam sebentar. Dia memperhatikan pemuda itu lekat- lekat. Bajunya cukup baru namun tampak lusuh. Dia kemudian memandang wajah pemuda itu, dari matanya tampak sekali dia sedang ada masalah.
“Kamu sedang apa di sini? Kamu tidak ikut buka puasa di dalam? Sapa Ustadz Hadi lembut.
“Saya tidak puasa, Pak”, Pemuda itu kembali memandang Ustadz hadi. Pandangannya berusaha meyakinkan.
“Lho, kenapa tidak puasa?”
“Saya non Muslim, Pak” jawabnya datar, dia menunduk.
Ustadz Hadi lantas diam. Hening sesaat.
“Kamu sudah makan”
Dia menggeleng lemah.
“Yuk kita makan sama sama di dalam”
Pemuda, itu memandang Ustadz hadi. Ia menyelidik. Namun Ustadz Hadi justeru tersenyum. Pemuda itu membalasnya. Mereka masuk dan makan bersama- sama. Tangannya bergetar sesaat mereguk air susu dingin. Begitu menyegarkan di tenggorokannya, setelah hampir setengah hari dia berjalan tanpa ada makanan dan  air yang dia minum karena kehabisan ongkos. Dia bersyukur.
Adzan berkumandang, mereka  yang telah selesai berbuka segera bangkit dan pergi ke tempat wudhu. Di sana ada yang berwudhu, ada juga yang hanya sekedar berkumur. Pemuda itu bingung. Dia duduk menepi.Ustadz Hadi mengerti, dia mengatakan kepada pemuda itu untuk beristirahat saja. Ia mengangguk, dan meminta izin Ustadz Hadi untuk istirahat di beranda mesjid, Ustadz mengizinkan.
Sehabis sholat, aku pulang. Begitu pula dengan yang lain. Kami heran. Sandal sandal kami yang biasanya berantakan kini tertata dengan rapi. Sehingga dengan mudah kami mencari sandal masing- masing. Kami saling pandang keheranan. Sekilas terlihat olehku pemuda tadi tengah asyik duduk bersandar di pojokan mesjid ujung sana. Beberapa orang saling berbisik melihatnya, namun yang dibisiki hanya menggeleng. Kamipun pulang.
Aku meceritakan pada abi sama ummi, mereka ikut heran, masa iya, kata abi. Abi jadi penasaran, dia pun lantas sholat tarawih di mesjid. Betul juga, selesai sholat, semua sandal telah tertata dengan rapi. Pemiliknya langsung bisa menemukan dan mengenakannya. Ternyata pemuda itulah yang telah merapikannya selama orang-orang sedang sholat. Dia sendiri tidak sholat karena dia bukanlah orang muslim. Sehingga punya banyak waktu untuk merapikannya.
***
Pemuda itu sekarang tinggal di mesjid. dia telah meminta izin pada Ustadz Hadi. Dan beliau mengizinkan. Awalnya banyak orang yang kurang setuju, karena mereka sudah tahu kalau pemuda itu nonmuslim. Mengapa dia harus tinggal di mesjid? mungkin saja dia mempunyai niat buruk. Dengan sabar Ustadz Hadi memberi penjelasan supaya tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. Dia juga menceritakan bahwa pemuda itu sekarang tidak memiliki tempat tinggal lagi. Dia kabur dari rumah, karena bertengkar dengan ibu tirinya yang selalu berbuat jahat padanya. Sekarang dia tidak punya tujuan lagi. Akhirnya semua menyetujuinya dengan syarat apabila terjadi sesuatu, mereka tidak akan segan segan mengusirnya dari desa ini.
Pemuda itu tampak rajin dan baik sekali. Dia selalu menyiapkan sajadah dan perlengkapan sholat lainnya di mesjid. dia selalu membersihkan mesjid setiap pagi hari. Dan satu hal lagi, sandal sandal yang berserakan di halaman selalu disusunnya dengan rapi ketika semua orang tengah melakukan sholat. Dia juga ikut berbuka puasa dan makan sahur. Walaupun dia tidak puasa, namun dia tidak pernah makan pada siang hari. Dia begitu menghormati umat muslim yang sedang berpuasa. Semua orang kini menyukainya. Hanya saja, sayang, dia masih non muslim.
Bulan Ramadhan hampir berakhir, besok pagi sudah lebaran.  Ku lihat  pemuda itu tengah sibuk membersihkan mesjid dengan dibantu beberapa orang lainnya. Mereka menyiapkan tempat untuk sholat idul fitri besok hari. Tampak dia menyeka peluh. Beberapa jam kemudian, semuanya selesai. Beberapa warga pulang ke rumah masing-masing.
***
Ayam berkokok, aku bangun pagi-pagi sekali. Aku bersemangat sekali menyambut hari yang fitri ini. Hari yang merupakan hari kemenangan  bagi umat muslim setelah sebulan berpuasa. Aku mandi dan makan sebentar, lalu ikut abi dan ummi pergi ke mesjid untuk melaksanakan sholat `ied. Di mesjid kulihat pemuda itu sedang duduk di pojok, dia memakai busana muslim baru, kemarin aku melihat Ustadz Hadi memberikan baju itu padanya.
Selesai sholat `ied, pemuda itu mendekati Ustadz Hadi yang sedang bertakbir. Ustadz Hadi saat itu baru saja mengimami sholat `ied. Ustadz memandagi pemuda itu. Begitu pula para jamaah sholat. Mereka penasaran apa yang akan di lakukan pemuda itu. Pemuda itu diam sejenak, dia sedikit takut mengutarakan maksudnya.
“Pak Ustadz….” Katanya lirih.
“Iya, ada apa, Nak?”
“Saya… saya ingin masuk Islam” katanya lagi.
Semua terhenyak, diam seribu bahasa. Mereka begitu terkesiap sebelum akhirnya mereka menyadari suatu hal yang luar biasa telah terjadi. Tak ketinggalan dengan Ustadz Hadi, tiba- tiba saja raut wajahnya berubah sangat ceria, Alhamdulillah desahnya. Ustadz Hadi mempersilahkan pemuda itu duduk di sampingnya. Dia kemudian menuntun pemuda itu mengucap dua kalimah syahadah. Setelah selesai mengucapkannya, serentak para jama’ah yang hadir mengucap hamdallah. Sebagian ada yang berteriak Allahu Akbar, juga ada yang bertahmid. Setelah itu mereka berbondong- bondong menghampiri pemuda itu. Ada yang menyalami, memberi ucapan selamat, bahkan banyak pula yang memeluknya. Sungguh kebahagiaan yang tak terkira dirasakan olehnya. Dia sempat menangis haru. Abi juga mengajakku untuk bersalaman dengannya. Setelah bersalaman, kami pulang, kami berencana untuk mudik beberapa hari ke rumah nenek di desa.
***
Lima hari sudah kami tinggal di rumah nenek, kami memutuskan untuk pulang. Rumah nenek cukup jauh, sekitar tiga jam kami baru tiba di rumah. hari sudah tengah hari, sebentar lagi zuhur. Abi mengajakku pergi ke mesjid untuk melaksanakan sholat di sana. Mesjidnya dekat sekali. Sekitar 100 meter saja tepat di depan rumahku. Dari rumah aku melihat pemuda itu tengah membersihkan mesjid. Dia tampak begitu rajin. Abi segera berangkat dan aku bergegas mengikutinya dari belakang saat adzan mulai berkumandang. Saat tiba di dalam, kulihat pemuda itu telah duduk di shaf depan, dia sekarang sudah berkewajiban untuk melaksanakan sholat, tidak seperti waktu dia nonmuslim dulu, dia hanya bisa diam di luar sambil memperhatikan kami sholat.
***
“Abi, sandal luthfi kok hilang lagi?”, kataku saat ingin pulang ke rumah. Mataku melirik kesana kemari mencarinya tapi tidak ketemu. Ku lihat sandal sandal tampak berantakan tidak teratur. Tak seperti biasanya, tertata rapi. Aku heran. Abi membantu mencarikan.
“Ada, apa, Dik?”, Tanya pemuda itu tiba-tiba.
“Sandalku hilang, Kak”
”Sandalnya seperti apa? Biar Kakak bantu carikan.”
“Warnanya Biru, Kak. Bergambar bola”
“Sepertinya Kakak melihatnya di sana” tunjuknya, “nah apa benar ini sandal Adik?”
“Wah, benar, Kak. Makasih yaa”
“Sama sama, Dik.”
Pemuda itu tersenyum, akan tetapi seketika wajahnya murung. Aku tak mengerti. Dia kemudian pergi dan duduk di pojokan mesjid ujung sana. Nampaknya dia sedih.
“Bi, dia kenapa?”
Abi hanya menggeleng. Kami pun pulang. Aku menoleh ke belakang. Dia masih terlihat murung. Sejak hari itu, setelah sholat, aku sering melihatnya duduk termenung di pojok sana. Aku benar- benar heran. Sekali lagi aku menanyakan keherananku pada abi.
“Dia kenapa, Bi?”
“Abi, juga tidak tahu. Coba kita tanyakan sama Ustadz Hadi. Mungkin beliau tahu. Soalnya beliaulah yang sangat dekat dengannya selama ini”
Kami pun menemui Ustadz Hadi dan menanyakan perihal pemuda itu. Ternyata beliau juga tidak tahu dan juga heran dengan sikapnya. Beliau mengajak kami menemuinya.
“Ahdi, apa yang sedang kamu pikirkan? Kamu selalu tampak murung akhir- akhir ini. Apakah kamu sedang ada masalah? Coba cerita sama Bapak.”
Ahdi; nama pemuda itu, kaget. Dia menoleh kepada Ustadz Hadi.
“Tidak ada apa-apa, Ustadz.”
“Lantas mengapa kamu murung? Jujur saja sama Bapak”
Pemuda itu hening, dia bingung harus bercerita atau tidak. Dia tampak ragu. Hanya masalah sepele saja. Walaupun baginya itu cukup berarti, namun kebanyakan orang hanya akan menganggap hal biasa saja. Tak perlu dipikirkan, apalagi disedihkan. Ustadz Hadi masih menunggu. Matanya meyakinkannya untuk bercerita. Ia akhirnya buka mulut.
“Begini Ustadz, selagi saya masih nonmuslim, saya senantiasa berada di mesjid ini. Saat orang-orang berdatangan untuk melaksanakan sholat, saya hanya diam di luar mesjid memperhatikan mereka. Tidak ada yang saya perbuat. Sampai akhirnya saya memperhatikan sandal-sandal mereka berhamburan dan berserakan. Saya pikir akan sulit bagi mereka untuk menemukan sandal mereka kalau berserakan seperti itu, saya memutuskan untuk selalu merapikan sandal- sandal mereka. Saya sangat bahagia bisa melakukan hal itu. Walaupun waktu itu saya masih tidak mengerti akan pahala, namun saya bangga bisa melakukan kebaikan seperti itu. Akan tetapi, sekarang saya sudah menjadi seorang muslim. Saya sudah memiliki kewajiban untuk melaksanakan sholat, dan itu membuat saya tidak memiliki waktu lagi untuk merapikan sandal sandal yang berserakan. Karena saya sendiri ikut sholat berjama’ah. Saya jadi teringat, beberapa hari yang lalu anak ini kehilangan sandalnya. Saya sedih, karena saya tidak bisa melakukan seperti yang selama ini saya kerjakan.”
“Subhanallah….” Abi dan Ustadz Hadi serempak bertahmid. Tak lama ustadz Hadi merogoh sakunya.
“Nak, Ahdi, Bapak salut dengan apa yang Nak Ahdi kerjakan selama ini. Bapak tidak ingin Nak Ahdi berhenti untuk melakukan kebaikan ini. Nak Ahdi harus tetap melaksanakannya”
“Bagaimana caranya, Ustadz?”
“Ini ada uang, maukah Nak Ahdi membuatkan rak sandal untuk mesjid ini? Supaya orang-orang bisa meletakan sandal mereka dengan rapi di sana dan bisa menemukannya dengan mudah”
“Mau, Pak Ustadz”, Sambutnya gembira.
Abi tak mau ketinggalan, dia juga merogoh sakunya dan kemudian memberikannya pada pemuda itu. Pemuda itu menerimanya dengan suka cita. Abi dan Ustadz Hadi kemudian memeluknya bergantian. Aku tidak ikutan. Sebelum akhirnya pemuda itu yang datang dan kemudian mengangkat dan memelukku, aku tersenyum. Namun sekilas kulihat seyumannya tampak lebih manis dariku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar