Oleh: Abi Aufaa
Kulihat
pemuda yang memakai busana muslim putih itu. Dia duduk di pojokan mesjid. raut
wajahnya tak lagi sedih seperti dulu. Ada kebahgiaan terpancar di sana.
***
Aku
ingat sebulan yang lalu, saat masih bulan Ramadhan……..
………….Waa,
Sandalku hilang lagi”, Aku menjerit selanjutnya diiringi dengan lelehan air
mata di pipi. Abi datang mendekatiku, dia membelai rambutku dengan lembut.
“Luthfi
sudah mencarinya ke sana atau ke situ?”, abi bertanya sambil menunjuk beberapa
tempat.
“Sudah,
Bi. Tapi tetap gak ketemu”
“Ya,
sudah. Nanti kita beli yang baru saja yaa”
Aku
mengangguk, mataku masih merah namun tangisku sudah reda. Kami memutuskan
segera pulang ke rumah. Hari sudah larut malam, selesai sholat tarawih tadi aku
sempat melirik jam dinding mesjid, hampir jam sepuluh. Abi menuntun tanganku
pulang. Mataku masih saja jelalatan kesana kemari, siapa tahu sandalku ada.
Mataku menyisir satu persatu sandal yang berserakan di sana. Namun tetap tak
kutemukan. Sandalnya berserakan sekali, sangat sulit bagiku memperhatikannya
satu satu. Andai saja sandal sandal ini disusun dengan rapi, gumamku.
***
Aku
bergegas pergi ke mesjid, seperti biasa aku ingin ikut berbuka puasa bersama di
sana. Aku merasa senang sekali, bukan karena makanannya enak-enak. Jujur lebih
enak masakan ummi di rumah, selain itu ummi juga suka membuatkan kue kue yang
enak. Kalau dimesjid paling makannya cuma nasi bungkus, susu sama kurma. Tapi
aku tetap suka berbuka di mesjid. Karena di sana aku merasakan adanya
kebersamaan dengan orang lain.
Di
dalam mesjid ku lihat sudah banyak orang berkumpul. Mereka mengelilingi
hidangan yang sudah disediakan. Mereka menunggu saat buka puasa tiba. Sebagian
tampak sedang berdzikir. Tinggal beberapa menit lagi. Tak terasa sudah hampir
seharian aku berpuasa. Sebenarnya aku masih kecil, usiaku baru 4 tahun. Tapi
abi sama ummi sudah membiasakan aku untuk berpuasa. Tahun kemarin aku juga
sudah mulai berpuasa, walaupun sekitar 7 kali aku tidak tahan dan berbuka
duluan. Aku berharap tahun ini, aku bisa berpuasa sebulan penuh.
Mataku
terus mengikuti putaran jarum jam yang menempel di dinding, begitu pula
beberapa orang temanku. Begitu jarumya menunjuk ke angka enam, kami bersorak.
Waktu berbuka telah tiba. Kami pun berdoa. Tiba- tiba Ustadz Hadi berdiri, dia keluar dari ruang induk
mesjid. Mataku membuntutinya dari belakang. Lho, kenapa tidak makan, fikirku.
Tampak olehku dia menyapa seorang pemuda.
***
“Assalamu`alaikum”,
Ustadz Hadi memberi salam, pemuda itu menoleh ke arahnya namun tidak membalas
salamnya. Sekali lagi Ustadz Hadi memberi salam, namun tetap tidak mendapat
balasan. Pemuda itu hanya diam, dia sedikit senyum sungkan. Lalu mengalihkan
pandangannya. Tampak sekali matanya seolah sedang menahan satu beban. Ustadz
diam sebentar. Dia memperhatikan pemuda itu lekat- lekat. Bajunya cukup baru
namun tampak lusuh. Dia kemudian memandang wajah pemuda itu, dari matanya
tampak sekali dia sedang ada masalah.
“Kamu
sedang apa di sini? Kamu tidak ikut buka puasa di dalam? Sapa Ustadz Hadi
lembut.
“Saya
tidak puasa, Pak”, Pemuda itu kembali memandang Ustadz hadi. Pandangannya
berusaha meyakinkan.
“Lho,
kenapa tidak puasa?”
“Saya
non Muslim, Pak” jawabnya datar, dia menunduk.
Ustadz
Hadi lantas diam. Hening sesaat.
“Kamu
sudah makan”
Dia
menggeleng lemah.
“Yuk
kita makan sama sama di dalam”
Pemuda,
itu memandang Ustadz hadi. Ia menyelidik. Namun Ustadz Hadi justeru tersenyum.
Pemuda itu membalasnya. Mereka masuk dan makan bersama- sama. Tangannya
bergetar sesaat mereguk air susu dingin. Begitu menyegarkan di tenggorokannya,
setelah hampir setengah hari dia berjalan tanpa ada makanan dan air yang dia minum karena kehabisan ongkos.
Dia bersyukur.
Adzan
berkumandang, mereka yang telah selesai
berbuka segera bangkit dan pergi ke tempat wudhu. Di sana ada yang berwudhu,
ada juga yang hanya sekedar berkumur. Pemuda itu bingung. Dia duduk menepi.Ustadz
Hadi mengerti, dia mengatakan kepada pemuda itu untuk beristirahat saja. Ia
mengangguk, dan meminta izin Ustadz Hadi untuk istirahat di beranda mesjid,
Ustadz mengizinkan.
Sehabis
sholat, aku pulang. Begitu pula dengan yang lain. Kami heran. Sandal sandal
kami yang biasanya berantakan kini tertata dengan rapi. Sehingga dengan mudah
kami mencari sandal masing- masing. Kami saling pandang keheranan. Sekilas terlihat
olehku pemuda tadi tengah asyik duduk bersandar di pojokan mesjid ujung sana. Beberapa
orang saling berbisik melihatnya, namun yang dibisiki hanya menggeleng. Kamipun
pulang.
Aku
meceritakan pada abi sama ummi, mereka ikut heran, masa iya, kata abi. Abi jadi
penasaran, dia pun lantas sholat tarawih di mesjid. Betul juga, selesai sholat,
semua sandal telah tertata dengan rapi. Pemiliknya langsung bisa menemukan dan
mengenakannya. Ternyata pemuda itulah yang telah merapikannya selama
orang-orang sedang sholat. Dia sendiri tidak sholat karena dia bukanlah orang
muslim. Sehingga punya banyak waktu untuk merapikannya.
***
Pemuda
itu sekarang tinggal di mesjid. dia telah meminta izin pada Ustadz Hadi. Dan
beliau mengizinkan. Awalnya banyak orang yang kurang setuju, karena mereka
sudah tahu kalau pemuda itu nonmuslim. Mengapa dia harus tinggal di mesjid?
mungkin saja dia mempunyai niat buruk. Dengan sabar Ustadz Hadi memberi
penjelasan supaya tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. Dia juga
menceritakan bahwa pemuda itu sekarang tidak memiliki tempat tinggal lagi. Dia
kabur dari rumah, karena bertengkar dengan ibu tirinya yang selalu berbuat
jahat padanya. Sekarang dia tidak punya tujuan lagi. Akhirnya semua
menyetujuinya dengan syarat apabila terjadi sesuatu, mereka tidak akan segan
segan mengusirnya dari desa ini.
Pemuda
itu tampak rajin dan baik sekali. Dia selalu menyiapkan sajadah dan
perlengkapan sholat lainnya di mesjid. dia selalu membersihkan mesjid setiap
pagi hari. Dan satu hal lagi, sandal sandal yang berserakan di halaman selalu
disusunnya dengan rapi ketika semua orang tengah melakukan sholat. Dia juga
ikut berbuka puasa dan makan sahur. Walaupun dia tidak puasa, namun dia tidak
pernah makan pada siang hari. Dia begitu menghormati umat muslim yang sedang
berpuasa. Semua orang kini menyukainya. Hanya saja, sayang, dia masih non
muslim.
Bulan
Ramadhan hampir berakhir, besok pagi sudah lebaran. Ku lihat
pemuda itu tengah sibuk membersihkan mesjid dengan dibantu beberapa
orang lainnya. Mereka menyiapkan tempat untuk sholat idul fitri besok hari.
Tampak dia menyeka peluh. Beberapa jam kemudian, semuanya selesai. Beberapa
warga pulang ke rumah masing-masing.
***
Ayam
berkokok, aku bangun pagi-pagi sekali. Aku bersemangat sekali menyambut hari
yang fitri ini. Hari yang merupakan hari kemenangan bagi umat muslim setelah sebulan berpuasa.
Aku mandi dan makan sebentar, lalu ikut abi dan ummi pergi ke mesjid untuk
melaksanakan sholat `ied. Di mesjid kulihat pemuda itu sedang duduk di pojok,
dia memakai busana muslim baru, kemarin aku melihat Ustadz Hadi memberikan baju
itu padanya.
Selesai
sholat `ied, pemuda itu mendekati Ustadz Hadi yang sedang bertakbir. Ustadz
Hadi saat itu baru saja mengimami sholat `ied. Ustadz memandagi pemuda itu.
Begitu pula para jamaah sholat. Mereka penasaran apa yang akan di lakukan
pemuda itu. Pemuda itu diam sejenak, dia sedikit takut mengutarakan maksudnya.
“Pak
Ustadz….” Katanya lirih.
“Iya,
ada apa, Nak?”
“Saya…
saya ingin masuk Islam” katanya lagi.
Semua
terhenyak, diam seribu bahasa. Mereka begitu terkesiap sebelum akhirnya mereka
menyadari suatu hal yang luar biasa telah terjadi. Tak ketinggalan dengan
Ustadz Hadi, tiba- tiba saja raut wajahnya berubah sangat ceria, Alhamdulillah
desahnya. Ustadz Hadi mempersilahkan pemuda itu duduk di sampingnya. Dia
kemudian menuntun pemuda itu mengucap dua kalimah syahadah. Setelah selesai
mengucapkannya, serentak para jama’ah yang hadir mengucap hamdallah. Sebagian
ada yang berteriak Allahu Akbar, juga ada yang bertahmid. Setelah itu mereka
berbondong- bondong menghampiri pemuda itu. Ada yang menyalami, memberi ucapan
selamat, bahkan banyak pula yang memeluknya. Sungguh kebahagiaan yang tak
terkira dirasakan olehnya. Dia sempat menangis haru. Abi juga mengajakku untuk
bersalaman dengannya. Setelah bersalaman, kami pulang, kami berencana untuk
mudik beberapa hari ke rumah nenek di desa.
***
Lima
hari sudah kami tinggal di rumah nenek, kami memutuskan untuk pulang. Rumah
nenek cukup jauh, sekitar tiga jam kami baru tiba di rumah. hari sudah tengah
hari, sebentar lagi zuhur. Abi mengajakku pergi ke mesjid untuk melaksanakan
sholat di sana. Mesjidnya dekat sekali. Sekitar 100 meter saja tepat di depan
rumahku. Dari rumah aku melihat pemuda itu tengah membersihkan mesjid. Dia
tampak begitu rajin. Abi segera berangkat dan aku bergegas mengikutinya dari
belakang saat adzan mulai berkumandang. Saat tiba di dalam, kulihat pemuda itu
telah duduk di shaf depan, dia sekarang sudah berkewajiban untuk melaksanakan
sholat, tidak seperti waktu dia nonmuslim dulu, dia hanya bisa diam di luar
sambil memperhatikan kami sholat.
***
“Abi,
sandal luthfi kok hilang lagi?”, kataku saat ingin pulang ke rumah. Mataku
melirik kesana kemari mencarinya tapi tidak ketemu. Ku lihat sandal sandal
tampak berantakan tidak teratur. Tak seperti biasanya, tertata rapi. Aku heran.
Abi membantu mencarikan.
“Ada,
apa, Dik?”, Tanya pemuda itu tiba-tiba.
“Sandalku
hilang, Kak”
”Sandalnya
seperti apa? Biar Kakak bantu carikan.”
“Warnanya
Biru, Kak. Bergambar bola”
“Sepertinya
Kakak melihatnya di sana” tunjuknya, “nah apa benar ini sandal Adik?”
“Wah,
benar, Kak. Makasih yaa”
“Sama
sama, Dik.”
Pemuda
itu tersenyum, akan tetapi seketika wajahnya murung. Aku tak mengerti. Dia
kemudian pergi dan duduk di pojokan mesjid ujung sana. Nampaknya dia sedih.
“Bi,
dia kenapa?”
Abi
hanya menggeleng. Kami pun pulang. Aku menoleh ke belakang. Dia masih terlihat
murung. Sejak hari itu, setelah sholat, aku sering melihatnya duduk termenung
di pojok sana. Aku benar- benar heran. Sekali lagi aku menanyakan keherananku
pada abi.
“Dia
kenapa, Bi?”
“Abi,
juga tidak tahu. Coba kita tanyakan sama Ustadz Hadi. Mungkin beliau tahu.
Soalnya beliaulah yang sangat dekat dengannya selama ini”
Kami
pun menemui Ustadz Hadi dan menanyakan perihal pemuda itu. Ternyata beliau juga
tidak tahu dan juga heran dengan sikapnya. Beliau mengajak kami menemuinya.
“Ahdi,
apa yang sedang kamu pikirkan? Kamu selalu tampak murung akhir- akhir ini.
Apakah kamu sedang ada masalah? Coba cerita sama Bapak.”
Ahdi;
nama pemuda itu, kaget. Dia menoleh kepada Ustadz Hadi.
“Tidak
ada apa-apa, Ustadz.”
“Lantas
mengapa kamu murung? Jujur saja sama Bapak”
Pemuda
itu hening, dia bingung harus bercerita atau tidak. Dia tampak ragu. Hanya
masalah sepele saja. Walaupun baginya itu cukup berarti, namun kebanyakan orang
hanya akan menganggap hal biasa saja. Tak perlu dipikirkan, apalagi disedihkan.
Ustadz Hadi masih menunggu. Matanya meyakinkannya untuk bercerita. Ia akhirnya
buka mulut.
“Begini
Ustadz, selagi saya masih nonmuslim, saya senantiasa berada di mesjid ini. Saat
orang-orang berdatangan untuk melaksanakan sholat, saya hanya diam di luar
mesjid memperhatikan mereka. Tidak ada yang saya perbuat. Sampai akhirnya saya
memperhatikan sandal-sandal mereka berhamburan dan berserakan. Saya pikir akan
sulit bagi mereka untuk menemukan sandal mereka kalau berserakan seperti itu,
saya memutuskan untuk selalu merapikan sandal- sandal mereka. Saya sangat
bahagia bisa melakukan hal itu. Walaupun waktu itu saya masih tidak mengerti
akan pahala, namun saya bangga bisa melakukan kebaikan seperti itu. Akan
tetapi, sekarang saya sudah menjadi seorang muslim. Saya sudah memiliki
kewajiban untuk melaksanakan sholat, dan itu membuat saya tidak memiliki waktu
lagi untuk merapikan sandal sandal yang berserakan. Karena saya sendiri ikut
sholat berjama’ah. Saya jadi teringat, beberapa hari yang lalu anak ini
kehilangan sandalnya. Saya sedih, karena saya tidak bisa melakukan seperti yang
selama ini saya kerjakan.”
“Subhanallah….”
Abi dan Ustadz Hadi serempak bertahmid. Tak lama ustadz Hadi merogoh sakunya.
“Nak,
Ahdi, Bapak salut dengan apa yang Nak Ahdi kerjakan selama ini. Bapak tidak
ingin Nak Ahdi berhenti untuk melakukan kebaikan ini. Nak Ahdi harus tetap
melaksanakannya”
“Bagaimana
caranya, Ustadz?”
“Ini
ada uang, maukah Nak Ahdi membuatkan rak sandal untuk mesjid ini? Supaya
orang-orang bisa meletakan sandal mereka dengan rapi di sana dan bisa
menemukannya dengan mudah”
“Mau,
Pak Ustadz”, Sambutnya gembira.
Abi tak mau
ketinggalan, dia juga merogoh sakunya dan kemudian memberikannya pada pemuda
itu. Pemuda itu menerimanya dengan suka cita. Abi dan Ustadz Hadi kemudian
memeluknya bergantian. Aku tidak ikutan. Sebelum akhirnya pemuda itu yang
datang dan kemudian mengangkat dan memelukku, aku tersenyum. Namun sekilas
kulihat seyumannya tampak lebih manis dariku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar