Senyuman Mahal Ahlal Kamal
(Oleh: Abi Aufaa)
“Wah, ganteng”, desahku pendek sesaat Nia menunjuk seorang pemuda diluar sana dari balik kaca jendela kamarnya.
“Dia tetangga baruku, baru pindah kesini sebulan yang lalu”
“Kamu kok gak pernah cerita sih ke aku?”
“Ngapain? Kamu tuh yaa gak bisa liat cowok ganteng, langsung nyamber”
“Kalo iya, emang kenapa?”
“Gak apa-apa juga sih”
“Atau kamu takut saingan denganku yaa?”, Aku menggoda Nia.
“Ihh, apa-apaan sih kamu?” Nia mencubitku, namun tak berani menatapku, pipinya agak merah.
“Oh, ya. Namanya siapa?”
“Ahlal Kamal”.
* * *
Sudah seminggu ini aku sering main ke rumah Nia, biasanya jarang. Aku
selalu cari-cari alasan kesana. Namun sebenarnya, hanya ingin ketemu
Ahlal. Setidaknya curi-curi pandang saat dia berjalan di depan rumah Nia
saat ingin pergi ke mesjid. Dari cerita Nia, aku tahu ahlal itu
mahasiswa STIQ, pantes sekali dia itu sangat alim, pikirku. Dari caranya
berpakaian saja sangat sopan, dia suka pakai baju koko putih dan pakai
peci. Menawan sekali……
Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Kupandangi
tubuhku, setelan celana jeans ketat membalut kedua kakiku, begitupula
kaos lengan pendek ketat yang kukenakan. Hingga rambutku yang panjang
terurai. Pantaskah? Satu kata itu tiba-tiba lepas dari mulutku. Sesuatu
yang membuatku lemas kala menyadarinya. Sedikit meredupkan harapan dalam
hatiku, seiring berlalunya Ahlal dari pandanganku. Sedikitpun dia tidak
menoleh kearahku saat lewat tadi. Dia selalu saja begitu, tak pernah
senyum kearahku, menolehpun jarang. Kalau terlanjur dia buru-buru
mengalihkan pandangannya.
Terkadang aku marah juga. Dia itu jaim
banget, pikirku. Sok jual mahal. Masa sekedar senyum saja tidak mau.
Selama ini, bagiku lelaki itu semua sama saja. Pakai koko ataupun tidak.
Aku ingat Bobby, mantanku dulu. Awal kenal, dia nampak alim. Namun pas
pacaran denganku gombalnya ternyata minta ampun. Aku yakin Ahlal juga
begitu. Liat saja nanti.
* * *
Seperti biasa, kulihat Ahlal
berjalan menuju mesjid. Matanya menunduk. Kesempatan nih. Tepat di depan
rumah Nia, akupun langsung keluar pagar. Kami bertabrakan dan bukuku
berhamburan.
“Ahh, Sorry”, kataku.
“Aku yang salah, Maaf”, jawabnya datar tanpa ekspressi apapun.
“Ahlal, kan”, aku mencoba membuka percakapan.
“iya, benar. Maaf aku harus pergi”, Ahlal langsung meninggalkanku.
Tanpa menatapku, tanpa senyum dan….. tanpa memungutkan buku-bukuku.
Duhh, sebel jadinya.
***
“Kenapa sih, Ahlal seperti itu?”, aku bertanya kepada Nia saat di Kampus.
“Wajar sajalah, coba saja lihat pakaianmu. Bandingkan dengannya? Apa pantas?”
“Tapi aku sudah terbiasa seperti ini”
“Kamu harus tahu, Rin, Dalam Al-Qur`an Surah An-Nur ayat 26, dijelaskan
bahwa wanita yang baik itu hanya untuk lelaki yang baik, begitu pula
sebaliknya. Kalau kamu suka dengan Ahlal, saranku, berubahlah. Kalaupun
kalian tidak berjodoh, pasti ada lelaki lain yang juga baik
menghampirimu”.
Aku diam. Mungkin benar.
* * *
“Assalamu’alaikum, Ahlal. Mau ke Mesjid?”
“Ehh, iya”.
“Bareng yaa”
“Boleh, tapi aku jalannya di depan yaa”, jawabnya cukup tergagap. Namun
beda seperti dulu, terdengar cukup ramah. Mungkinkah karena jilbabku?
Memang, seingatku dia berubah tak secuek dulu lagi kepadaku saat aku
memutuskan berjilbab sebulan yang lalu. Hanya saja dia masih belum
pernah senyum maupun menatapku. Namun kami sudah cukup akrab. Itu sudah
cukup bagiku.
***
Kringgg, hape-ku berbunyi. Ada panggilan masuk. Dari Ahlal. Kemarin kami tukeran nomor. Dia yang minta. Apa yaa, pikirku.
“Ukht, apa kamu punya waktu malam ini?”
“Iya, memang kenapa, Mas?”
“Boleh aku ke rumahmu?”
“Lho, ada apa ini, Mas? Lebih baik jangan. Lagian kita bukan mahram. Nanti apa kata orang?”
“Bukan, aku…….. aku ingin melamarmu”, aku kaget, hampir saja hape-ku terlepas.
“Bagaimana, ukht?”
“ehh, iya. Silakan, Mas”.
***
Jam delapan ba`da Isya, Ahlal datang dengan kedua orang tuanya. Aku
yang membukakan pintu. Sekilas aku bertatapan dengan Ahlal. Dia
tersenyum kepadaku. Senyum pertama kali yang kuperoleh darinya.
Akhirnya, aku mendapatkan senyumanmu yang mahal itu, Mas, Bisikku….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar