Sajadah Cinta Delisa
(Oleh: Abi Aufaa)
…………“Abang sekarang berubah, tak lagi seperti dulu”, teriakku.
aku menangis melihat sajadah yang barusan kuberikan dilempar dan
dicampakkan begitu saja kemukaku dan lantas terjatuh ketanah yang
berlumpur. Teramat sedih hatiku melihatnya, apalagi kulihat Bang Dimas
mencibir kearahku.
“ngapain sholat? Capek! tak ada gunanya, hidup gue tetep begini aja. Gak usah lo nyuruh- nyuruh gue sholat? Pergi lo!”.
“Astaghfirullah, Istighfar, Bang”.
“Emang lo siapa, Hah? Sok ngingetin gue”.
“Aku bukan siapa- siapa, tapi setidaknya aku sudah menganggap abang
seperti abangku sendiri karena dulu abang sering ngajarin dan
mensehatiku, namun, kenapa sekarang justru abang yang berubah?”
“Ah, cukup, Delisa… Cukup! Aku bukan Dimas yang dulu lagi, lupakan itu, sekarang aku mau main.”
“Ayo, Bro, kita main lagi. Kita gak perlu sholat. Mending main kartu, pake taruhan keliatan kalo menang dapat uang.”
Aku mundur selangkah dan menutup mataku, meresapi apa yang baru
terjadi, nafasku berat. Didepanku Bang Dimas asyik bermain kartu dengan
Bang Jali, Bang Upik dan Bang Rozak. Mereka mengabaikanku. Aku
berpaling. Lantas berlari menjauh. Terlalu sakit hatiku melihat
perubahan pada diri Bang Dimas. Sekarang dia suka berjudi, mabuk dan
bikin resah masyarakat, tak seperti dulu, saat melihatku berdiri di atas
jembatan karena tak sanggup menahan beban, karena kehidupanku yang
teramat miskin dan melarat. Dan aku ingin mengakhirinya. Bang Dimas
datang mencegahku melakukan perbuatan bodoh itu, dia menasehatiku agar
menyerahkan semuanya pada Yang Diatas. Bang Dimas memberiku sajadah
yang dia pakai dipundaknya dan mengajakku sholat di musholla. Dia………..
“PRAANGG……”, aku kaget. Bunyi itu terdengar seperti kaca pecah. Dari
mana? Aku memalingkan wajah. Tiba- tiba rautku berubah cemas, secercah
kekhawatiran menyelimutiku. Terlihat Bang Dimas jatuh lunglai dengan
kepala berdarah. Sementara didepannya Bang Upik sedang berdiri dengan
memegang botol minuman keras yang sudah pecah karena terbentur sesuatu.
“Kurang ajar lo, lo udah bermain curang. Rasain lo, mampuss”, teriak
Bang Upik sambil menunjuk kearah Bang Dimas. Bang Upik lantas kabur.
“Bang Dimas……”, Aku tak tahu kekuatan apa yang menggerakkan kakiku, aku berlari menghambur mendekati tubuh Bang Dimas.
“Bang Dimas, bangun…. Mengapa jadi begini? Abang harus kuat, abang
jangan meniggalkanku, Aku… Aku… aku sayang sama Bang Dimas, aku tahu
abang orang baik.”
Dimas tak bergeming, tubuhnya kaku, dia tak mendengar teriakan Delisa, nafasnya sudah terhenti sejak tadi.
orang- orang berdatangan berusaha memberi pertolongan, setidaknya mengantarkannya kerumah.
* * *
Sesosok berdarah memperhatikan tubuh kaku yang sedang diangkat warga
itu, mirip sekali denganya. Dia perhatikan wajahnya. Persis dengan mayat
itu. Dia mencoba meraba kulit mayat tersebut, namun tangannya justru
menembusnya. Ada apa ini? Dia kemudian memperhatikan dua orang yang
berdiri tak jauh dari situ. Mereka Jali dan Rozak.
“Lo gak ikut mengantarkan dan menyalatkan Dimas, Zak?”
“Ah, Ngapain. Dianya juga gak tau apa itu sholat.” Jawab Rozak yang masih setengah mabuk.
“Rozak, Jali, ini aku… Dimas.” sosok itu memekik. Namun mereka tak
mendengarnya. Sia- sia. Dia lantas menghampiri Delisa yang sedang
menangis.
“Delisa, ini aku, jangan menangis…………
Tiba-
tiba sesosok makhluk yang menyeramkan berkulit hitam menyeret Dimas
dengan kasar. Dimas ketakutan dan berusaha meronta, namun tak berdaya.
“Delisa, tolong aku…. Berikan sajadah itu padaku… aku ingin sholat, aku ingin tobat…..”
Sia- sia, tak ada yang mendengar…………..
The End….
Alabio, 18 Nopember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar