Bahagia Sepiring Nasi
(Oleh: Abi Aufaa)
Seperti biasa, menu pagi ini tetap menjadi special dan tak tergantikan.
Hanya sepiring nasi dan seekor ikan kering dan air putih. Kapan yaa aku
bisa menyantap sarapan seperti orang kaya? Ada nasi goreng, ayam
goreng, segelas susu hangat. Kadang juga bisa sarapan roti pakai selai
kacang ditambah buah-buahan segar. Enak banget jadi orang kaya, pasti
mereka bahagia.
“Lama-lama aku capek juga, Bu, hidup seperti
ini”, Kataku sambil memandang menu sarapanku di piring. Tampak nasi yang
baru saja dipanaskan, sisa tadi malam. Sementara istriku hanya menghela
nafas.
“Sudahlah, Pak. Nikmati saja apa yang ada. Masih banyak yang lebih menderita dari kita”
“Aku iri melihat orang- orang kaya itu, Bu. Andai saja aku seperti
mereka, bukan petugas kebersihan seperti sekarang ini”, begitulah yang
sering kuucapkan dan sering kukhayalkan.
***
Seperti
biasa lagi, aku dan teman-teman pagi ini menguras bak sampah di depan
rumah- rumah warga dan memasukkannya ke dalam bak truk. Cukup melelahkan
dan bau. Bajukupun segera kotor. Namun aku sudah biasa.
“Pak Rudi, ambil yang di bak sana yaa? Aku yang itu”, kata seorang temanku, aku hanya mengangguk dan bergegas.
Apa ini? Saat tanganku menemukan sebuah bungkusan plastic dalam bak
sampah di depan sebuah rumah besar dan mewah. Aku penasaran. Kubuka.
Ternyata ada seikat besar uang ratusan ribu. Mimpikah? Ku cabut sehelai
jenggotku, sakit. Kutampar pipiku, dapat nyamuk satu. Ku perhatikan
kiri-kanan, sekeliling. Tak ada seorangpun, segera bungkusan itu masuk
kantong celanaku. Jebluk. Jatuh. Kantongnya bolong. Kupindah ke kantong
sebelahnya.
Dalam waktu enam detik, kehidupanku berubah.
Sekarang aku punya perusahaan, rumah yang besar dan tiga mobil di
garasi. Motorpun ada enam buah, sebanyak penduduk rumahku. Istriku
sekarang sudah biasa pakai Make-Up impor. Terus, anak-anakku semuanya
sekolah favorit dan elit. Dan aku juga sudah pakai dasi sekarang. Tak
ketinggalan kacamata.
***
“Mami, mana sarapanku? Sebentar lagi aku mau ketemu klien”
“Aku gak sempat masak, Pi. Nih, aku mau ke arisan dulu”
“Lho, biasanya jam segini kan udah siap sarapannya?”
“Biasanya habis sholat Subuh, aku langsung masak”
“Hari ini?”
“Aku kesiangan”
“Sholat Subuh??”
“Papi sendiri??”
“.,!??#?.._.”
***
“Pi, aku pergi sekolah yaa?”
“Udah, pergi sana”
“Uangnya mana”
“Nih, 50.000”
“gak jadi sekolah deh, mana cukup segitu. Mana beli pulsa, bensin,
jajan, belom lagi ntarktir temen-temen. Kemarin Rony yang nraktir
temen-temen sekelas. Gengsi dong aku gak bisa ”
“Udah, ini 500 ribu”
“Gitu dong, Pi. Aku pergi dulu yaa”
“Salaman dulu”
“Bukan gitu, Pi, orang kaya mesti begini”, Andre menarik tanganku dan mengepalnya.
“Tos, Pi”, katanya sambil memukulkan kepalan tanganya ke tanganku.
Terus berlari keluar. Aku hanya mengelus dada. Dia lupa bilang
Assalamu`alaikum.
Kini, tinggal aku sendiri di meja makan. Sepi
rasanya. Semua meninggalkanku. Mereka terlanjur sibuk dengan urusan
masing-masing. Mereka larut dengan kekayaan yang melenakan.
Sampai-sampai agamapun kian menghilang dari ingatan. Aku sendiri lupa
sholat Subuh hari ini, Astaghfirullah.
Kali ini kutatap roti campur selai kacang, sarapan yang baru kubuat tadi. Tak terasa enak, kalau hanya makan sendiri.
“Ahh, aku gak mau makan kalau begini”
“Lho, kenapa, Pak? Nasi buatan Ibu gak enak yaa?”, tiba-tiba tangan
istriku menyentuh pundakku. Membuyarkan lamunanku. Nasi putih dan ikan
kering masih utuh didepanku. Nasinya mulai dingin. Aku kembali kemasa
laluku.
“Ohh, tidak, Bu. Maksud Bapak, Bapak tidak mau makan sendiri. Bapak ingin ditemani Ibu”
“Tapi nasinya cuma sepiring, Pak?”
“Tidak apa- apa, Bu, sepiring berduapun tak masalah. Sini Bapak suapin”
“Ahh, Bapak ada-ada saja”, Istriku tersenyum.
Aku segera menarik tangan istriku. Dia malu-malu. Saat aku menyuapinya, kamipun tergelak.
“Aku lebih bahagia seperti ini, Bu.”, Istriku mengangguk. Aku menatap
matanya, diapun membalasnya. Aku mendekatkan mukaku ke mukanya. Semakin
dekat. Dan……………… (Maaf, Disensor)
Selesai…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar