Lovely Mom.....
Oleh: Abi Aufaa
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ السَّلَمِيِّ أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ
إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ، وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيْرُكَ. فَقَالَ:
هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ
الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا
Dari Mu’wiyah bin Jahimah
as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nabi lalu berkata:
Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu
untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: “Apakah engkau masih
mempunyai ibu?” Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: “Hendaklah
engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah
kedua kakinya.”
Sekali ini aku menutup telingaku. Kata-kata Pak
Ustadz masih terngiang jelas di benakku. Kucoba memejamkan mata,
sekedar meredam perih yang kurasa. Surga itu dibawah kaki Ibu. Ah. Tahu
apa Pak Ustadz tentang ibuku.
Aku melihat dengan mataku
sendiri. Malam itu saat aku ingin pulang menemui ibu. Setelah sekian
lama aku menimba ilmu di pesantren ini. Baru liburan kali ini aku bisa
meluangkan waktu untuk pulang. Sebab, kebetulan tidak ada agenda apapun
di organisasi yang ku ikuti. Rasa rinduku pada ibu teramat menggebu,
namun sayang telak terpatahkan. Tanpa sengaja ekor mataku menangkap
sosok bayangan di temaram lampu taman. Sepasang kekasih atau entahlah
sedang bermesraan, silelaki membelai rambut kekasihnya, sepertinya
wanita jalang. Astaghfirullaah. Aku mengalihkan pandangan, naluri
aktivis dakwahku mengajakku terus beristighfar. Entahlah, apa lagi yang
mereka lakukan.
Ibu??? Aku kaget, zikirku terhenti. Sepertinya
aku kenal wanita itu. Gelap malam tak mampu menghalangi dan menutup mata
hati ikatan ibu dan anak. Aku yakin betul. Dia ibuku. Sekali lagi
kupandangi, namun kereta terus melaju. Hanya bayang semu yang tertinggal
menerawang di mataku. Sisi lain hatiku, mencoba menabahkan. Dia bukan
ibumu.
Tapi aku yakin.
Rumah ibumu jauh dari sini.
Siapa jamin dia ada di rumah sekarang.
Tapi ibumu tak pernah berpakaian seperti itu.
Iya, dulu. Saat aku masih tinggal bersamanya. Sekarang aku tinggal di asrama. Siapa tahu?
Sudah, cukup. Hentikan.
Aku menutup mukaku. Butiran bening terlanjur mengalir di pipiku. Aku
tak ingin pulang. Aku benci ibu. Hatiku meraung- raung, mengalahkan
raungan kereta api yang sayup tak kudengar lagi.
***
“Baik, sekarang coba kumpulkan tugas karangan tentang ibu yang Bapak tugaskan minggu lalu”
Semua santri segera mengumpulkannya kepada Ustadz Ramli, kecuali aku. Pak Ustadz menatapku.
“Nina, mana tugasmu?”
“Saya tidak mengerjakan, Pak”
“Kenapa?”
Aku menggeleng, mataku menunduk. “Maaf, Pak. Saya izin keluar dulu”
***
Sebulan sudah. Sampai surat itu datang kepadaku. Dari ibuku. Tanganku bergetar, haruskah kubuka? Tidak salahnya, bisik hatiku.
“Ninaku sayang. Mama kangen banget sama kamu. Sudah lama kita tidak
bertemu. Mama ingin memberi tahu satu hal padamu. Sebentar lagi mama
akan menikah. Kamu pulang yaa, sayang? Asal kamu tahu, mama gak akan
nikah, bila kamu gak pulang. Pokoknya kamu gak perlu takut. Calon papa
kamu nanti orangnya baik. Sebaik almarhum papa kamu. Kamu pulang yaa
minggu ini. Mama kangen banget ingin memelukmu”
Mama,
Aku tak mau pulang. Aku tak ingin ketemu ibu lagi.
***
Hari ini sengaja aku jalan-jalan. Sekedar menghibur hatiku yang sedikit
luka. Katanya ibuku hari ini menikah. Tapi aku tidak ingin menemuinya.
Meski hatiku sebenarnya rindu. Sedikit perih memang.
“Nina, Kamu mau kemana?” tiba-tiba Andien memanggilku dari belakang.
“Ke Taman Kota” jawabku sambil berpaling ke arahnya. Namun tiba- tiba
dari arah berlawanan sebuah motor melaju ke arahku. Aku tak sempat
menghindar. Dan sekejab semuanya menjadi kabur.
“Aku dimana?”
“Tenang, Sayang. Kamu istirahat yaa” nampak ibuku tersenyum kepadaku.
Namun matanya basah, di sampingnya ada seorang berpakaian putih. Pasti
dokter.
“Ibu, kapan ibu kemari?”
“Tadi siang, Andien yang menelpon Pak RT. Pak RT itu pamannya Andien”
“Ibu, jadi menikah?”
Ibuku terdiam. Dia menatapku dan Pak dokter di sebelahnya kemudian menggeleng.
“Tidak jadi, Nin. Mama ingin Nina sembuh dulu. Mama ingin merawat Nina sampai sembuh”
“Jangan begitu, Bu, Nina baik- baik saja” aku menangis. Ternyata ibu
sangat sayang kepadaku. Tak seharusnya aku marah dan benci kepadanya,
bagaimanapun dia, dia tetap ibuku. Ibu yang melahirkan dan merawatku.
Betapa besarnya dosaku. Aku lupa dialah yang menyuapiku ketika lapar
dulu. Dia pula yang memandikanku, mengusap air mataku saat menangis dan
memeluk erat tubuhku dengan deraian air mata bahagia saat aku gembira.
Dia pula yang menyekolahkanku di pesantren sekarang ini. Aku baru sadar,
dia jauh-jauh menyekolahkanku ke pesantren supaya aku tidak seperti
dia. Dia ingin aku tumbuh menjadi orang yang mengerti agama. Tidak
sepertinya. Aku menagis tersedu. Ingin kutumpahkan air mata ini
dipundaknya. Namun infus ditanganku menghalangi untuk memeluknya. Ibuku
mengerti. Dia menunduk dan lantas memelukku. Erat. Hangat. Aku
menyayangimu, Ibu.
Aku memejam, meresapi kasih sayangnya. Ibuku menangis. Pikirannya membaur. Entah apa.
….. Nina, maafkan, Mama. Mungkin kamu tidak tahu apa yang selama ini
mama lakukan untuk memberimu makan, juga untuk menyekolahkanmu. Tapi,
mama juga berharap kamu tidak pernah mengetahuinya. Mama malu. Mama
takut kamu kecewa pada mama. Mama telah terlanjur berdosa, kotor. Tapi,
ketahuilah.Mama terpaksa melakukannya. Mama tidak ingin kamu menderita
bersama mama dan lantas menjerumuskanmu juga. Mama ingin kamu berguna
bagi agama dan tidak mengikuti mama. Kamu juga harus tahu, semua itu
akan menjadi masa lalu mama yang tidak akan terulang lagi. Mama akan
segera menikah……
“Bu, aku ingin melihat Ibu segera menikah”
“Tidak, sayang.”
“Kenapa, Bu?”
“Karena calon suami ibumu sendiri sekarang ini juga sedang sibuk, Nin”, Pak dokter ikut menyahut.
“Maksud, Pak dokter?”
“Sebenarnya, ini adalah calon papa kamu, Nin. Sebagai dokter, dia harus merawat kamu dulu sampai sembuh, baru kami menikah”
Aku, tak mampu bicara lagi. Pikiranku campur aduk antara gembira dan
perasaan bersalah telah menunda perkawinan mereka. Namun aku terharu.
“Ibu, Nina sayang Ibu.”
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar