Selasa, 10 Desember 2013

Aedes



Oleh: Abi Aufaa
 “Apa salah ku???”
“Seenaknya saja mereka ngomong begitu”.
Aku sedih juga menggerutu, ketika sepintas aku mendengar percakapan sepasang suami istri di ruang tamu. Mereka nampak serius. Aku berusaha mendengarkan dari jarak dekat, sambil bersembunyi di balik sprei aku menguping. Cukup jelas terdengar mereka memaki-makiku. Mereka menyalahkanku, mereka menganggapku sebagai penyebab semua ini; anak mereka sakit. Satu hal yang ku dengar dan cukup mengejutkan, mereka berusaha mencari cara untuk membunuhku! Aku bersandar di dinding, mataku memejam, nafasku turun naik.
“Lho, apa salahku???”
* * *
Namaku Aedes. Usiaku baru beberapa hari. Aku hidup sendiri, tak memiliki teman bahkan aku juga tak punya keluarga. Sampai sekarang aku tak pernah tau siapa orang tuaku, mereka tak pernah mencariku. Aku sendiri tak pernah peduli tentang itu. Kujalani hidup ini sendiri. Sepi memang. Terkadang aku juga bingung, mengapa hidup seperti ini? Semuanya bergerak sendiri- sendiri, tanpa peduli siapapun yang ada disekitarnya. Aku tinggal disebuah tempat yang kotor sekali, nyaris tak bisa dianggap sebagai tempat tinggal. Namun aku tak pernah tau, justeru aku malah menyukai tempat seperti itu. Banyak tempat seperti itu yang kutemui di sini. Karenanya, aku tak pernah kebingungan mau tinggal di mana. Aku sering berpindah-pindah tempat, semuanya tampak enak untuk didiami.
Saat itu aku sedang jalan- jalan sendirian. Aku mencium satu aroma yang sangat lezat. Aku berusaha mencari tahu di mana sumber bau itu. Penciumanku memang sangat tajam. Dengan teramat mudahnya aku tahu, bau itu berasal dari sepasang benda. Bentuknya panjang lonjong, sekitar 20 cm. Ada tali-tali teranyam di sana. Juga ada sebuah lubang di tiap masing-masing benda itu. Aku melihat seorang anak lelaki yang bertubuh raksasa jika dibandingkan dengan tubuhku, duduk bersandar di dinding, tepat disamping benda tadi. Dia mengibas-ngibaskan tangannya, sepertinya kepanasan dan kelelahan. Keringatnya bercucuran. Tampak sebuah bola tergeletak di antara celah kedua kakinya. Rupanya dia baru saja bermain bola.
Aku mendekat kearah sumber bau tadi, aku ingin tinggal di sana. Kelihatannya tempatnya menyenangkan. Aku masuk ke dalamnya. Tampak lelaki itu menoleh ke arahku.
“Hey, jangan masuk ke dalam sepatuku, pergi sana”, dia lantas menarik benda yang ternyata disebutnya sebagai sepatu itu. Aku cepat menjauh, dan menyelinap di balik rerumputan. Anak itu bangkit dan membawa sepatu itu ke dalam kamarnya. Aku tidak ingin kehilangan jejak, aku begitu ingin tinggal dalam sepatu itu. Aku pun lantas terbang mengikutinya dari belakang. Oya, sejak lahir, aku telah memiliki sepasang sayap lo. Itu membuatku dengan mudah pergi kemana saja yang kumau.
Aku terus mengikuti anak itu. Kulihat dia memasuki sebuah ruang kamar yang cukup besar. Di sana ada sebuah tempat tidur besar sekali untuk ukuranku. Tanpa banyak pikir dan tanpa mandi atau cuci kaki dan tangan, dia langsung merebahkan dirinya di atas kasur. Sepatunya dibiarkan tergeletak di lantai bawah ranjangnya. Tanpa dicuci. Masih kotor. Aku sebenarnya ingin segera ke sana. Namun aku memutuskan untuk berkeliling dulu, toh, aku juga sudah tahu di mana sepatu itu diletakkan. Nanti tinggal kembali saja.
Aku terbang berkeliling, di kamar itu. Semua sudut ku perhatikan. Aku tersenyum kegirangan, kamar ini benar-benar nyaman sekali. Kayaknya aku akan sangat betah tinggal di sini. Berapa lama pun. Tampak olehku, gumpalan-gumpalan kertas berhamburan. Baju-baju pun tampak semrawut bergelantungan di sana sini. Memang ada tempat menggantung baju khusus di lemari yang ada dikamar itu. Tapi tampaknya anak lelaki ini lebih suka menggantungnya di paku-paku yang tertancap tidak teratur di dinding. Wah, enaknya tinggal di sini, pikirku.
“Hey, kamu baru yaa di sini?”, tiba-tiba seekor makhluk mirip sepertiku terbang mendekat ke arahku.
“Eh, iya”, jawabku menoleh kepadanya. “Aku baru aja datang ke sini. Kamu sendiri?”.
“Aku sudah lama, tapi aku tidak tinggal di kamar ini”.
“Memangnya kamu tinggal di mana?”
“Coba kamu ikuti aku”, dia mengajakku.
Aku menurut, dan mengikutinya dari belakang. Dia terbang dengan cepat dan berhenti di depan sebuah ruangan. Pintunya terbuka. Aku diajaknya masuk ke dalam. Ruangannya lebih kecil dari kamar anak lelaki tadi. Tapi aku mencium aroma yang lebih nikmat di sini. Hmmm. Kulihat di sana ada sebuah bak dan beberapa ember berisi air. Airnya tergenang dan kotor. Tampaknya jarang dikuras. Belum lagi ada sebuah lubang di sana. Tampak jorok, tapi aku menyukainya.
“Ruang apa ini?”, tanyaku.
“WC”, jawabnya singkat, aku manggut- manggut saja.
“O,ya, kamu udah makan?”, katanya lagi.
Aku menggeleng. Dia menarik tanganku. “yuk, ikut aku”.
Dari belakang aku mengikutinya, kembali ke kamar saat kami pertama bertemu tadi. Dia terbang rendah. Tampak anak lelaki tadi sudah terlelap tidur. Kami mendekatinya, aku sebenarnya agak takut. Aku orang baru di sini. Lagian aku baru berumur beberapa hari. Aku belum tahu banyak tentang kehidupan ini.
“Kamu kenapa? Jangan diam seperti itu”.
“Aku takut”
“Gak usah takut, ikuti saja aku. Aku sudah terbiasa melakukannya”.
Dia hinggap di pegelangan kaki anak itu lantas menusukkan mulutnya ke dalam pori-porinya. Aku hanya memperhatikannya dari dekat. Dia menghirup cairan merah dari dalam tubuh sang anak. Tampaknya lezat sekali. Perutku keroncongan. Tapi aku masih takut.
“Ayo cepat”, katanya. “Nanti dia keburu bangun”
Aku masih menggeleng, takut sekali. Ini pengalaman pertamaku. Aku terus memperhatikannya. Dia tampak menikmati. Memang, terlihat sungguh nikmat sekali. Sekilas ku cium aroma tubuh anak itu, baunya nikmat sekali. Keringat yang dikeluarkannya selama bermain bola tadi telah menciptakan suatu aroma yang sangat menggugah seleraku. Aku menyerah,  rasa takutku hilang. Aku tak tahan lagi. Ku arahkan mulutku yang panjang dan tajam seperti jarum itu ke salah satu pori tubuhnya. Tiba- tiba saja sebuah tangan melayang ke arah kami berdua. Secepat kilat aku menghindar. Aku melupakan niatku. Aku menyelinap di bawah ranjang. Rupanya anak tersebut merasa terusik dengan kedatangan kami. Namun kulihat, matanya masih terpejam. Hanya saja mungkin kulitnya memiliki instink tersendiri sehingga bisa merasakan kedatangan kami. Itu pula yang memnyebabkan gerak refleksnya beraksi dan menapak tepat dimana kami berada. PLAK.
Aku berhasil menyelamatkan diri. Hanya saja naas, kulihat teman baruku, tiba- tiba saja menjadi tidak bergerak lagi, juga tidak bersuara seperti tadi. Aku tahu dia sudah mati. Dia tidak sempat menyelamatkan diri. Aku shok. Aku kabur dan berlari kencang ke bawah ranjang yang paling dalam, suasananya gelap. aku suka. Aku ingin menyendiri malam ini. Perut ku lapar sekali. Tapi aku takut untuk keluar. Aku menutup mataku, dan tidak tahu apa- apa lagi.
***
Pagi hari, aku berniat kabur dari rumah ini. Aku takut mengalami hal serupa seperti yang terjadi kemarin. Aku terbang keluar dari kolong ranjang dengan hati- hati dan diam. Aku takut ketahuan. Tapi sepertinya tidak ada orang. Tampak tenang. Karenanya aku segera terbang tinggi ke atas. Namun aku kaget, ternyata anak lelaki itu masih ada di atas ranjangnya. Hanya saja bajunya sudah diganti. Akan tetapi lebih kagetnya lagi ketika aku melihat mukanya. Berubah. Tampak pucat sekali. Aku juga melihat banyak bintik- bintik kecil merah di tubuhnya. Aku heran, kok dia bisa seperti ini? Aku mendekatinya. Benar sekali bintik- bintik merah itu tampak jelas terlihat. Aku juga merasakan adanya suhu panas yang keluar dari tubuhnya. Panasnya terasa melebihi ukuran normal. Saat aku keheranan, sebuah tangan melayang kearahku. Untung saja aku sigap. Aku terbang jauh menyelamatkan diri. Kudengar wanita yang tiba- tiba saja muncul dari balik pintu itu mengomel ke arah ku.
“Dasar Aedes Aegifty, pergi kau dari sini, kamulah yang menyebabkan anakku sakit seperti ini.”
Aku kaget kenapa dia tahu nama lengkapku, dia juga menyalahkanku. Dia terus mencariku, namun aku bersembunyi di balik lemari. Kembali aku shock. Apa yang sebenarnya terjadi.
***
Wanita  itu kemudian keluar setelah lelah mencariku. Dia duduk di atas sofa ruang tamu, di sana sudah ada suaminya yang duduk. Aku keluar dan mengintip mereka dari balik sprei. Aku ingin tahu apa yang terjadi. Sekilas ku dengar percakapan mereka. Mereka menyebut-nyebut namaku sebagai penyebab semua ini.
“Risky kena demam berdarah, Pa. Beberapa hari yang lalu dia sakit panas, waktu itu mama mengira dia cuma demam biasa, karena mama lihat kemarin panasnya turun sehingga dia bisa bermain-main. Tapi hari ini panasnya naik lagi, di tubuhnya juga muncul bintik-bintik merah. Bukankah itu gejala-gejala demam berdarahkan, pa?”
Suaminya mengangguk pelan, “Kita bawa kerumah sakit saja, Ma.”
“Iya, Pa. Kasihan dia.”
“Pa, mulai hari ini mama tidak ingin lagi nyamuk Aedes Aegifty itu ada di rumah kita. Kita harus membasminya. Mama tidak ingin lagi melihatnya, dan mama juga tidak ingin Risky sakit lagi.”
Sang suami hanya mengangguk sambil mengelus pundak istrinya.
***
Aku termenung, mereka menuduhku. Aku ingin menyangkal. Aku tidak melakukan apapun. Aku terbang ke arah mereka. Aku ingin mengatakan aku tidak salah apa-apa. Aku hanya datang ke rumah mereka untuk tinggal. Menurutku rumah mereka sangat nyaman sekali. Aku sangat betah tinggal disini, rumahnya kotor, bau, apek, jorok dan banyak sampah berserakan di sana. Semuanya sangat ku sukai. Apakah aku salah tinggal di tempat yang kusenangi seperti ini?. Lagi pula siapa juga yang menggodaku datang ke tempat ini. Aku ingat hari pertama datang kemari karena mencium aroma sedap yang keluar dari sepatu risky yang baru dipakainya main bola. Baunya sedap, Hmmm. Belum sempat aku mendekat dan berkata apa-apa sebuah tangan kembali melayang ke arahku.
“Pergi kau dari sini, dasar nyamuk Aedes Aegifty. Kalian semua sama saja”
Aku beruntung masih bisa menyelamatkan diri lagi, aku berbalik arah dan mengurungkan niatku. Aku bersembunyi ke tempat gelap. Nafasku turun naik. Aku sedih. Siapa yang salah? Aku kah? Aku sebenarnya tidak akan pernah datang kemari seandainya saja anak itu mau mencuci sepatunya dengan bersih sehingga tidak menimbulkan bau yang memancingku datang kemari. Begitu pula seandainya rumahnya bersih, aku pasti urung datang kemari. Aku benci kebersihan. Aku suka tempat kotor seperti ini. Salahkah aku? Apakah aku yang pantas disalahkan?
Lantas  “apa salahku???”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar