Oleh: Abi Aufaa
“Apa salah ku???”
“Seenaknya
saja mereka ngomong begitu”.
Aku
sedih juga menggerutu, ketika sepintas aku mendengar percakapan sepasang suami
istri di ruang tamu. Mereka nampak serius. Aku berusaha mendengarkan dari jarak
dekat, sambil bersembunyi di balik sprei aku menguping. Cukup jelas terdengar
mereka memaki-makiku. Mereka menyalahkanku, mereka menganggapku sebagai
penyebab semua ini; anak mereka sakit. Satu hal yang ku dengar dan cukup
mengejutkan, mereka berusaha mencari cara untuk membunuhku! Aku bersandar di
dinding, mataku memejam, nafasku turun naik.
“Lho,
apa salahku???”
* * *
Namaku
Aedes. Usiaku baru beberapa hari. Aku hidup sendiri, tak memiliki teman bahkan
aku juga tak punya keluarga. Sampai sekarang aku tak pernah tau siapa orang
tuaku, mereka tak pernah mencariku. Aku sendiri tak pernah peduli tentang itu.
Kujalani hidup ini sendiri. Sepi memang. Terkadang aku juga bingung, mengapa
hidup seperti ini? Semuanya bergerak sendiri- sendiri, tanpa peduli siapapun yang
ada disekitarnya. Aku tinggal disebuah tempat yang kotor sekali, nyaris tak
bisa dianggap sebagai tempat tinggal. Namun aku tak pernah tau, justeru aku
malah menyukai tempat seperti itu. Banyak tempat seperti itu yang kutemui di
sini. Karenanya, aku tak pernah kebingungan mau tinggal di mana. Aku sering
berpindah-pindah tempat, semuanya tampak enak untuk didiami.
Saat
itu aku sedang jalan- jalan sendirian. Aku mencium satu aroma yang sangat
lezat. Aku berusaha mencari tahu di mana sumber bau itu. Penciumanku memang
sangat tajam. Dengan teramat mudahnya aku tahu, bau itu berasal dari sepasang
benda. Bentuknya panjang lonjong, sekitar 20 cm. Ada tali-tali teranyam di
sana. Juga ada sebuah lubang di tiap masing-masing benda itu. Aku melihat
seorang anak lelaki yang bertubuh raksasa jika dibandingkan dengan tubuhku, duduk
bersandar di dinding, tepat disamping benda tadi. Dia mengibas-ngibaskan
tangannya, sepertinya kepanasan dan kelelahan. Keringatnya bercucuran. Tampak
sebuah bola tergeletak di antara celah kedua kakinya. Rupanya dia baru saja
bermain bola.
Aku
mendekat kearah sumber bau tadi, aku ingin tinggal di sana. Kelihatannya
tempatnya menyenangkan. Aku masuk ke dalamnya. Tampak lelaki itu menoleh ke
arahku.
“Hey,
jangan masuk ke dalam sepatuku, pergi sana”, dia lantas menarik benda yang
ternyata disebutnya sebagai sepatu itu. Aku cepat menjauh, dan menyelinap di
balik rerumputan. Anak itu bangkit dan membawa sepatu itu ke dalam kamarnya.
Aku tidak ingin kehilangan jejak, aku begitu ingin tinggal dalam sepatu itu.
Aku pun lantas terbang mengikutinya dari belakang. Oya, sejak lahir, aku telah
memiliki sepasang sayap lo. Itu membuatku dengan mudah pergi kemana saja yang
kumau.
Aku
terus mengikuti anak itu. Kulihat dia memasuki sebuah ruang kamar yang cukup
besar. Di sana ada sebuah tempat tidur besar sekali untuk ukuranku. Tanpa
banyak pikir dan tanpa mandi atau cuci kaki dan tangan, dia langsung merebahkan
dirinya di atas kasur. Sepatunya dibiarkan tergeletak di lantai bawah
ranjangnya. Tanpa dicuci. Masih kotor. Aku sebenarnya ingin segera ke sana.
Namun aku memutuskan untuk berkeliling dulu, toh, aku juga sudah tahu di mana
sepatu itu diletakkan. Nanti tinggal kembali saja.
Aku
terbang berkeliling, di kamar itu. Semua sudut ku perhatikan. Aku tersenyum kegirangan,
kamar ini benar-benar nyaman sekali. Kayaknya aku akan sangat betah tinggal di
sini. Berapa lama pun. Tampak olehku, gumpalan-gumpalan kertas berhamburan.
Baju-baju pun tampak semrawut bergelantungan di sana sini. Memang ada tempat
menggantung baju khusus di lemari yang ada dikamar itu. Tapi tampaknya anak
lelaki ini lebih suka menggantungnya di paku-paku yang tertancap tidak teratur
di dinding. Wah, enaknya tinggal di sini, pikirku.
“Hey,
kamu baru yaa di sini?”, tiba-tiba seekor makhluk mirip sepertiku terbang
mendekat ke arahku.
“Eh,
iya”, jawabku menoleh kepadanya. “Aku baru aja datang ke sini. Kamu sendiri?”.
“Aku
sudah lama, tapi aku tidak tinggal di kamar ini”.
“Memangnya
kamu tinggal di mana?”
“Coba
kamu ikuti aku”, dia mengajakku.
Aku
menurut, dan mengikutinya dari belakang. Dia terbang dengan cepat dan berhenti
di depan sebuah ruangan. Pintunya terbuka. Aku diajaknya masuk ke dalam.
Ruangannya lebih kecil dari kamar anak lelaki tadi. Tapi aku mencium aroma yang
lebih nikmat di sini. Hmmm. Kulihat di sana ada sebuah bak dan beberapa ember berisi
air. Airnya tergenang dan kotor. Tampaknya jarang dikuras. Belum lagi ada
sebuah lubang di sana. Tampak jorok, tapi aku menyukainya.
“Ruang
apa ini?”, tanyaku.
“WC”,
jawabnya singkat, aku manggut- manggut saja.
“O,ya,
kamu udah makan?”, katanya lagi.
Aku
menggeleng. Dia menarik tanganku. “yuk, ikut aku”.
Dari
belakang aku mengikutinya, kembali ke kamar saat kami pertama bertemu tadi. Dia
terbang rendah. Tampak anak lelaki tadi sudah terlelap tidur. Kami
mendekatinya, aku sebenarnya agak takut. Aku orang baru di sini. Lagian aku
baru berumur beberapa hari. Aku belum tahu banyak tentang kehidupan ini.
“Kamu
kenapa? Jangan diam seperti itu”.
“Aku
takut”
“Gak
usah takut, ikuti saja aku. Aku sudah terbiasa melakukannya”.
Dia
hinggap di pegelangan kaki anak itu lantas menusukkan mulutnya ke dalam
pori-porinya. Aku hanya memperhatikannya dari dekat. Dia menghirup cairan merah
dari dalam tubuh sang anak. Tampaknya lezat sekali. Perutku keroncongan. Tapi
aku masih takut.
“Ayo
cepat”, katanya. “Nanti dia keburu bangun”
Aku
masih menggeleng, takut sekali. Ini pengalaman pertamaku. Aku terus
memperhatikannya. Dia tampak menikmati. Memang, terlihat sungguh nikmat sekali.
Sekilas ku cium aroma tubuh anak itu, baunya nikmat sekali. Keringat yang
dikeluarkannya selama bermain bola tadi telah menciptakan suatu aroma yang
sangat menggugah seleraku. Aku menyerah,
rasa takutku hilang. Aku tak tahan lagi. Ku arahkan mulutku yang panjang
dan tajam seperti jarum itu ke salah satu pori tubuhnya. Tiba- tiba saja sebuah
tangan melayang ke arah kami berdua. Secepat kilat aku menghindar. Aku
melupakan niatku. Aku menyelinap di bawah ranjang. Rupanya anak tersebut merasa
terusik dengan kedatangan kami. Namun kulihat, matanya masih terpejam. Hanya
saja mungkin kulitnya memiliki instink tersendiri sehingga bisa merasakan
kedatangan kami. Itu pula yang memnyebabkan gerak refleksnya beraksi dan
menapak tepat dimana kami berada. PLAK.
Aku
berhasil menyelamatkan diri. Hanya saja naas, kulihat teman baruku, tiba- tiba
saja menjadi tidak bergerak lagi, juga tidak bersuara seperti tadi. Aku tahu
dia sudah mati. Dia tidak sempat menyelamatkan diri. Aku shok. Aku kabur dan
berlari kencang ke bawah ranjang yang paling dalam, suasananya gelap. aku suka.
Aku ingin menyendiri malam ini. Perut ku lapar sekali. Tapi aku takut untuk
keluar. Aku menutup mataku, dan tidak tahu apa- apa lagi.
***
Pagi
hari, aku berniat kabur dari rumah ini. Aku takut mengalami hal serupa seperti
yang terjadi kemarin. Aku terbang keluar dari kolong ranjang dengan hati- hati
dan diam. Aku takut ketahuan. Tapi sepertinya tidak ada orang. Tampak tenang.
Karenanya aku segera terbang tinggi ke atas. Namun aku kaget, ternyata anak
lelaki itu masih ada di atas ranjangnya. Hanya saja bajunya sudah diganti. Akan
tetapi lebih kagetnya lagi ketika aku melihat mukanya. Berubah. Tampak pucat
sekali. Aku juga melihat banyak bintik- bintik kecil merah di tubuhnya. Aku
heran, kok dia bisa seperti ini? Aku mendekatinya. Benar sekali bintik- bintik
merah itu tampak jelas terlihat. Aku juga merasakan adanya suhu panas yang
keluar dari tubuhnya. Panasnya terasa melebihi ukuran normal. Saat aku keheranan,
sebuah tangan melayang kearahku. Untung saja aku sigap. Aku terbang jauh menyelamatkan
diri. Kudengar wanita yang tiba- tiba saja muncul dari balik pintu itu mengomel
ke arah ku.
“Dasar
Aedes Aegifty, pergi kau dari sini, kamulah yang menyebabkan anakku sakit
seperti ini.”
Aku
kaget kenapa dia tahu nama lengkapku, dia juga menyalahkanku. Dia terus
mencariku, namun aku bersembunyi di balik lemari. Kembali aku shock. Apa yang
sebenarnya terjadi.
***
Wanita itu kemudian keluar setelah lelah mencariku.
Dia duduk di atas sofa ruang tamu, di sana sudah ada suaminya yang duduk. Aku
keluar dan mengintip mereka dari balik sprei. Aku ingin tahu apa yang terjadi.
Sekilas ku dengar percakapan mereka. Mereka menyebut-nyebut namaku sebagai
penyebab semua ini.
“Risky
kena demam berdarah, Pa. Beberapa hari yang lalu dia sakit panas, waktu itu mama
mengira dia cuma demam biasa, karena mama lihat kemarin panasnya turun sehingga
dia bisa bermain-main. Tapi hari ini panasnya naik lagi, di tubuhnya juga
muncul bintik-bintik merah. Bukankah itu gejala-gejala demam berdarahkan, pa?”
Suaminya
mengangguk pelan, “Kita bawa kerumah sakit saja, Ma.”
“Iya,
Pa. Kasihan dia.”
“Pa,
mulai hari ini mama tidak ingin lagi nyamuk Aedes Aegifty itu ada di rumah
kita. Kita harus membasminya. Mama tidak ingin lagi melihatnya, dan mama juga
tidak ingin Risky sakit lagi.”
Sang
suami hanya mengangguk sambil mengelus pundak istrinya.
***
Aku
termenung, mereka menuduhku. Aku ingin menyangkal. Aku tidak melakukan apapun.
Aku terbang ke arah mereka. Aku ingin mengatakan aku tidak salah apa-apa. Aku
hanya datang ke rumah mereka untuk tinggal. Menurutku rumah mereka sangat
nyaman sekali. Aku sangat betah tinggal disini, rumahnya kotor, bau, apek,
jorok dan banyak sampah berserakan di sana. Semuanya sangat ku sukai. Apakah
aku salah tinggal di tempat yang kusenangi seperti ini?. Lagi pula siapa juga
yang menggodaku datang ke tempat ini. Aku ingat hari pertama datang kemari
karena mencium aroma sedap yang keluar dari sepatu risky yang baru dipakainya
main bola. Baunya sedap, Hmmm. Belum sempat aku mendekat dan berkata apa-apa
sebuah tangan kembali melayang ke arahku.
“Pergi
kau dari sini, dasar nyamuk Aedes Aegifty. Kalian semua sama saja”
Aku
beruntung masih bisa menyelamatkan diri lagi, aku berbalik arah dan
mengurungkan niatku. Aku bersembunyi ke tempat gelap. Nafasku turun naik. Aku
sedih. Siapa yang salah? Aku kah? Aku sebenarnya tidak akan pernah datang
kemari seandainya saja anak itu mau mencuci sepatunya dengan bersih sehingga
tidak menimbulkan bau yang memancingku datang kemari. Begitu pula seandainya
rumahnya bersih, aku pasti urung datang kemari. Aku benci kebersihan. Aku suka
tempat kotor seperti ini. Salahkah aku? Apakah aku yang pantas disalahkan?
Lantas “apa salahku???”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar