Jumat, 10 Januari 2014

Layang- layang Ayah



Oleh: Abi Aufaa

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيماً
23. Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia .

***
“Yah, Alif mau layang- layang itu”
Sepintas kutatap  anakku yang merengek minta dibelikan layang- layang itu. Matanya sayu penuh pengharapan agar aku membelikannya. Persis sekali. Tiba- tiba saja aku kangen sama ayah. Sudah terlalu lama aku meninggalkannya. Pasti sekarang dia sudah renta. Mengapa baru sekarang aku menyadari kalau dia amat mencintaiku. Bahkan saat aku sudah punya anak. Ahh, saat anakku berusia empat tahun ini saja, aku belum pernah mengajaknya bertemu ayah. Pasti ayah sangat gembira kalau tahu dia sudah punya cucu.
“Yah, Boleh yaa?” rengek Alif lagi.
Aku mengangguk. Alif lantas berlonjak girang. Aku menerawang, waktu itu aku juga sedang merengek minta belikan layang- layang. Namun sayang, ayahku tak mau membelikannya. Dia malah membeli beras. Aku kecewa sekali. Ayah keterlaluan. Sepanjang jalan aku hanya menangis dan akan tetap menangis kalau saja ayah tak membuatkannya untukku ketika sudah sampai di rumah. Aku senang sekali. Ayah membuatkan dua buah layang- layang sekaligus. Satu untukku, bertuliskan Risky dan satu lagi yang bertuliskan ayah untuk ayahku. Kamipun main berdua.
Aku tersenyum mengingatnya, namun segurat kerinduan nampak tiba- tiba menyelimuti pikiranku. Ada sedikit sesal juga.
***
Tatkala aku beranjak remaja, ayahku mengalami kecelakaan. Dia kena tabrak lari. Mulai saat itu, ayahku menjadi pincang. Dia tidak bisa bekerja lagi. Sedangkan ibuku sudah lama meninggal. Terpaksa aku yang menjadi tulang punggung keluarga. Setiap hari aku harus membating tulang. Sedangkan ayah hanya uring- uringan di rumah. setidaknya dia hanya bisa memasak makanan untuk kami. Namun masakannya tak seenak masakan ibu. Kadang gosong, hambar bahkan keasinan. Seringkali aku harus masak lagi untuk bisa makan. Menyusahkan sekali.
“Ayah, gak bisa masak, apa?” bentakku suatu ketika.
“Memangnya kenapa, Risky?”
“Pakai nanya lagi, coba nih. Sayur asin seperti ini siapa yang mau makan? Risky udah capek, Yah. Pulang kerja masa harus masak lagi?”
“Maafkan Ayah, Risky. Ayah tidak tahu”
“Aaahhh, maaf- maaf melulu. Udah keseringan. Risky bosan dengernya. Mending ayah pergi sana.”
Lama- lama aku mulai bosan tinggal di rumah seperti ini. Ayah selalu saja membuatku kesal. Aku tak tahu, mengapa aku mulai membenci apa saja yang dia lakukan. Menurutku dia sok mengatur- ngatur hidupku. Suka menceramahiku. Sepertinya aku masih anak kecil saja. Telingaku sering panas mendengar ocehannya. Dasar orang tua tak tahu terima kasih, masih untung aku masih mau menafkahinya.
***
“Risky, kamu sudah sholat, Nak?”
“Belum”
“Lho, kenapa Risky? Biar bagaimanapun sibuknya, sebagai seorang muslim, kamu harus tetap sholat”
“Yah, cukup! Aku gak mau Ayah ngatur- ngatur aku terus. Ayah sadar gak? Selama ini aku yang sudah mengurus Ayah. Ayah bisa apa? Jalan aja susah, bagaimana mau memberiku nafkah? Mending Ayah diam aja, gak usah ceramahin aku terus”
Ayah kaget, dia hanya terdiam. Nampak sekali ada rasa perih menyayat hatinya. Namun dia kuat, sekedar menahan air mata agar tidak menetes. Dia kemudian menunduk cukup lama. Merenung.
“Kamu betul, Risky. Selama ini ayah hanya bisa menyusahkanmu. Tak sekalipun ayah bisa membahagiakanmu. Mulai sekarang, ayah tidak akan mencampuri urusanmu lagi. Kamu sekarang sudah dewasa. Kamu sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk untukmu.”
“Baguslah kalau ayah tahu itu. Oh yaa, besok aku akan pergi merantau. Aku sudah bosan hidup seperti ini. Ayah tak perlu ikut dan ini ada sedikit uang untuk ayah”
Ayah memandangku, kaget yang tadi belum hilang. Kini dia harus terkejut lagi, rasa tak percaya anak semata wayangnya akan meninggalkannya. Saat dia mulai lemah, saat dia mulai renta. Ingin dia berteriak menahanku, namun segera ditepisnya. Percuma. Pasti Risky akan marah lagi, pikirnya. Dia berpaling sekedar menutupi luka hatinya. Aku tahu itu.
***
“Yah, kita main layang- layang, yuk?”
Aku mengangguk. Namun sebelumnya, aku menuliskan nama Alif di atas layang- layang milik Alif, dan menulis kata “Ayah” di atas layang- layangku.
“Dulu Ayah suka main layang- layang seperti ini dengan kakekmu, Lif”
“Kakek?, Alif punya kakek, Yah? Di mana? Kok Ayah tidak pernah mengajak Alif ketemu kakek, sih?”
Aku memandang Alif, ada perasaan bersalah menyelimuti hatiku karena aku tak pernah mempertemukan Alif dengan kakeknya. Terlebih lagi perasaan bersalahku telah menelantarkan ayahku sendiri. Sungguh durhaka aku ini. Duhh, Yaa Rabb… kini aku merindukannya. Alif saja begitu ingin bertemu kakeknya, mengapa aku tidak?
“Baik, besok ayah akan mengajakmu ketemu kakek, Yaa. Sekarang kita main layang- layang dulu”
“Horee. Besok Alif ketemu kakek.”
Angin berhembus semilir, menerbangkan layang- layang kami ke udara. Kian meninggi. Kami mulai mengadu layang- layang kami satu sama lain. Seru sekali. Tak ada yang mau mengalah. Namun, ditengah keasyikan itu tiba- tiba awan mendung datang, angin berubah semakin kencang. Kamipun buru- buru menarik layang- layang kami. Tapi sayang, layang- layangku putus di tengah jalan. Layang- layang bertuliskan “ayah” itu terbang jauh dan menghilang. Ya, menghilang dari pandangan. Aku mencari- cari di langit sana. Benar- benar tak kelihatan. Tiba- tiba saja aku merasa getir.
***
Tepat di depan sebuah rumah tua di ujung sebuah gang sempit, nampak ramai orang berdatangan. Sementara di dalam rumah juga sudah ada beberapa orang yang duduk berkerumun. Di tangan mereka masing- masing memegang mushaf surah Yaasiin yang mereka baca sambil menghadapi sesosok tubuh yang sudah terbujur kaku. Semoga dengan bacaan itu bisa meringankan bebannya nanti. Mereka juga ingin memberikan penghormatan terakhir kali kepadanya. Karena mereka mengenal sosok itu sebagai orang yang baik dan taat beribadah meski dalam keadaan yang bagaimanapun. Mereka juga kasihan, dulu mereka juga mengenalnya sebagai sosok lelaki tua yang kesepian dan  pincang.
***
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيراً
24. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar