Selasa, 09 Juli 2013

Insurance



TEWAS TABRAKAN, KORBAN TERSENYUM

Jakarta, Amt Post – Telah terjadi sebuah kecelakaan antara kereta api  (KA) Agung Bromo dengan KA Dharma Bakti. Kecelakaan naas yang terjadi pada selasa malam (21/12) itu terjadi di desa Jati Luhur dan menewaskan 13 orang penumpang. Dari keterangan yang didapat dari seorang warga, kejadian berawal ketika KA Agung Bromo bergerak dengan kecepatan tinggi tiba-tiba keluar jalur rel dan
langsung menabrak salah satu gerbong KA Dharma Bakti yang juga sedang melaju kencang.
Dari hasil evakuasi petugas, diketahui korban berjumlah 7 orang laki-laki dan 6 orang wanita. Dalam proses evakuasi tersebut, petugas dan masyarakat setempat sempat dihebohkan dengan penemuan korban tewas lelaki tua yang berlumuran darah, namun anehnya raut muka sang korban justru kelihatan sedang tersenyum…..
·  Bersambung hal. 14 kol.3-4

***
Lelaki tua itu mondar-mandir tak karuan. Sesekali dia mengintip dari balik pintu kaca. Dia ingin tahu apa yang terjadi. Tampak dari matanya satu kekhawatiran.dilihatnya beberapa orang yang berpakaian putih-putih berjalan ke arah pintu dimana dia sedang mengintip. Ia mundur beberapa langkah dan menunggu pintu terbuka. Dua orang wanita beserta seorang laki-laki dengan dengan pakaian khas mereka keluar dari dalam ruangan tepat di depan lelaki itu berdiri.

“bagaimana keadaan anak saya, Dok?”

Yang ditanya hanya diam. Dia memandang lelaki tua itu dengan serius. Sejenak dia ia mengalihkan pandangannya dan menarik nafas pelan.

“Anak Bapak terkena kanker otak, dia harus segera dioperasi agar tidak bertamabh parah. Saran saya, Bapak  segera lunasi pembayaran agar kami bisa menentukan langkah dan penaganan selanjutnya”.

“Kira-kira biayanya berapa, Dok?’, tampak kegetiran menyelimuti wajah tua itu.

“silakan Bapak tanyakan langsung kepada bagian Administrasi, terima kasih”.

Sang dokter segera beranjak pergi meninggalkan si lelaki tua yang hanya berdiri terdiam mengikuti alur pikirannya yang memusing, kalut dan berputar-putar. Ia kemudian duduk lemas di atas lantai keramikrumah sakit itu. Dinginya keramik tak mampu mendinginkan kepalanya yang mulai memanas kacau. Seandainya saja dia mudah menyerah, sebenarnya dia berharap sekali dingin itu sekalian saja mampu membekukan darahnya agar tak lagi mengalir disekujur tubuhnya bahkan memutuskan kehidupannya sekalipun, agar tak ada lagi beban yang menggelayut di pikirannya. Namun terbayang rasa sayangnya yang teramat sangat, membuatnya tetap bertahan. Dia sangat menyayangi anak semata wayangnya itu. Anak yang selama bertahun-tahun dinantinya. Bahkan isterinya sendiri harus kehilangan nyawa demi melahirkannya. Itulah yang membuatnya sangat menyayangi anaknya itu. Dia adalah harta satu-satunya yang sangat berharga baginya. Anak yang telah dipersembahkan isterinya dengan penuh perjuangan, haruskah dia sia-siakan. Bagaimana seandainya saja isterinya datang dan marah padanya karena tak bisa menjaga anak mereka.
                                                                         ***

Kini lelaki itu tersandar didinding. Matanya nanar menatap keatas, entah apa yang dilihatnya. Pandangannya penuh harap. Mungkin ia hanya ingin agar Yang Di Atas sana menatapnya dengan penuh kasihan dan mendengarkan keluh kesahnya.

“apa yang harus kulakukan?’, desahnya.

Kini matanya berkabut, teringat olehnya akan kata-kata petugas administrasi barusan yang mengatakan berapa jumlah uang yang harus dibayarnya. Sekitar lima belas juta. Jumlah yang terlalu besar baginya. Dia hanyalah seorang pedagang kecil biasa. Pendapatannya tak menentu. Kadang untung, kadang juga bisa rugi. Dan terkadang hanya cukup untuk makan sehari-hari. Bagaimana bisa ia mendapatkan uang sebanyak itu?

Sepintas terbayang pula olehnya, betapa sekarang ini anaknya sedang menderita. Lelaki itu meringis. Apa yang mesti ia perbuat? Sementara anaknya sedang menunggu di pembaringan dengan penuh pengharapan. Dokter belum bisa berbuat banyak sebelum ada yang menjamin pembayaran.

Lelaki tua itu terus berjalan perlahan. Langkahnya gontai dan tak berarah. Entah berapa jauh sudah ia menyusuri koridor rumah sakit yang terasa lenggang olehnya, padahal ada banyak orang di sana. Namun lelaki itu merasa sendiri. Tak ada yang peduli padanya. Tak ada yang mau merasakan kesusahannya. Sejenak dia berhenti, dipandanginya disudut sana ada seorang perempuan sedang asyik berbicara lewat telepon genggamnya. Dari dandananya saja bisa diketahui  bahwa dia adalah seorang yang cukup kaya. Gelang- gelang emas berkilauan melingkar di tanganya. Kalung dengan liontin yang cukup besar juga tampak menggantung di lehernya. Kini pandanganya beralih ke tas yang sedang dijinjing wanita itu. Wanita itu tampak sangat lengah, akan mudah sekali baginya merebut tas itu. Dia yakin sekali pasti dalam tas itu masih banyak perhiasan lainnya dan juga uang. Setan terus menggodanya, dan mengigatkan betapa menderitanya anaknya saat ini. Dan akhirnya….

Dengan hati-hati dia mengikuti wanita itu dari belakang. Dia harus sabar, masih banyak orang berlalu lalang. Dia harus menunggu waktu yang tepat sampai tak ada lagi orang disana. Entah berapa meter sudah dia mengikuti wanita itu, hingga akhirnya mereka melewati koridor yang sepi. “inilah saatnya” bisiknya. Dia menjulurkan tangannya. Hampir saja dia mampu meraih tas itu, tiba- tiba saja pintu yang ada didepan mereka terbuka. Seseorang keluar dari sana. Lelaki tua itu cepat- cepat menarik tangan dan mengurungkan niatnya. Lelaki yang keluar itu menatapnya. Dia hanya tertunduk malu, takut apa yang barusan ingin dilakukannya ketahuan oleh lelaki itu.

“ada apa, Pak?”, sapa lelaki itu ramah.

“Anu, eh, tidak ada apa-apa, Pak… saya hanya ingin sholat di sini” jawabnya ketika melihat tulisan di atas pintu ruangan di mana lelaki tadi keluar. Ruangan itu ternyata Musholla Rumah sakit.

“oh, iya… masuk saja, Pak, Bapak kelihatannya sedang ada masalah. Lebih baik Bapak sholat dulu dan mengadulah dan berserah dirilah kepada Yang Maha Menolong, Insya Allah Dia akan selalu menolong hamba-hambanya yang memohon dan berserah diri padaNya”.

Ya Allah, tiba- tiba dia menangis. Dia begitu tergugah dan seperti merasakan kerinduan yang teramat mendalam. Mengapa dia bisa begitu saja lupa ada Dzat yang Maha Kuasa untuk melakukan apa saja. Termasuk hanya untuk menolongnya. Mengapa pula ia dengan mudah tergoda untuk melakukan perbuatan haram yang selama ini pantang dilakukannya. Penyesalannya dan juga pilu yang sedang dirasakannya serta merta menciptakan aliran anak sungai kecil di pipinya.  Ia kemudian mulai membasuh mukanya dengan air wudhu. Betapa, dia merasakan kesejukkan dan ketenangan.

Si lelaki tua itu bergegas masuk dan melaksanakan sholat dua rakaat, di penghujung sujud terakhir, ia berhenti sejenak:

“Yaa Allah saat ini hamba datang kepadaMu dengan membawa kegundahan, gundah yang tak terperikan dan teramat menyakitkanku. Engkau Maha Tahu apa yang tengah menimpa hamba. Saat ini anak hamba sedang terbaring tak berdaya, sedangkan hamba tak mampu berbuat apa-apa. Dengan segala kerendahan hati, hamba memohon belas kasihMu dalam menghadapi kesulitan ini. Karena hamba yakin, hanya Engkaulah sebaik-baik tempat untuk meminta pertolongan. Seandainya saja bisa, hamba rela melakukan apa saja demikesembuhan anak hamab. Hamba rela menggantikan penderitaannya, bahkan hamba rela menyerahkan nyawa hamba jika sekiranya itu bisa memberikan kesembuhan dan kehidupan padanya….”
                                                                         ***

Lelaki itu bangkit, ia terus berjalan. Menuruti langkah kakinya yang tak tentu. Tak ada tujuan jelas yang akan dia tuju. Ia hanya mengiringi irama hatinya yang kelu. Tanpa terasa dan sama sekali tidak dia sadari, dia telah melangkah jauh meninggalkan rumah sakit. Hatinya sangat galau. Kemana ia akan mencarikan uang untuk biaya operasi anaknya. Dia kemudian teringat dengan Pak Ridlwan. Pak Ridlwan adalah sepupu istrinya. Dia sangat kaya, akan tetapi dia sangat pelit. Dia ingat ketika istrinya mau melahirkan dulu. Dia berusaha meminjam uang padanya, akan tetapi dengan tegas pak ridlwan menolaknya. Lelaki tua itu bingung, antara meminjam atau tidak. Ia ingat anaknya sedang menunggunya sekarang, akhirnya ia memutuskan untuk menemuinya. Maukah dia meminjaminya uang lima belas juta? Jumlah yang cukup besar. Tapi, Ah, tidak salahnya aku mencobanya dulu, gumamnya. Rumahnya cukup jauh dari sini, lelaki tua itu memutuskan untuk naik kereta api.

“Yaa Allah, antarkanlah hamba kemanapun hamba bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi anak hamba”, desahnya.

Air matanya kembali meleleh, hatinya serasa dicabik-cabik. Bisingnya deru kereta api tak mampu mengusik suasana hatinya, sampai akhirnya……

Bruukkk…….. terdengar bunyi benturan keras. Kereta oleng.

Lelaki tua itu terlempar dan dadanya terhantam kursi yang ada di depannya. Darah segar mengucur dari hidung dan mulutnya. Ia terluka parah akibat gerbong yang ditumpanginya setelah beberapa saat keluar jalur dan menabrak  kereta lain yang juga sedang melaju.

Ia berusaha keluar, namun naas kakinya terjepit kursi. Ia tak mampu beranjak sedikitpun. Kekuatannya melemah dan akhirnya ia hanya bisa pasrah. Ia sadar ia telah mengalami kecelakaan, KECELAKAAN! Ia ingat sesuatu.
                                                                         ***

“Bagaimana pak?  Saya cuma menawarkan saja, siapa tau Bapak berminat”. Saat itu tetangganya yang bekerja di salah satu lembaga asuransi datang dan menawarinya untuk ikut asuransi.

“Lantas apa yang harus saya asuransikan? Rumah? Mobil? Saya gak punya”.

“Kami bukan hanya menawarkan asuransi itu saja, Pak. Ada asuransi kesehatan, asuransi pendidikan juga ada asuransi jiwa, Pak. Kalau Bapak mau, saya menyarankan Bapak ikut asuransi jiwa saja, bapak kalau pergi berdagang kan suka naik angkot atau kereta, memang kita tidak mengharapkan kecelakaan menimpa kita, tapi setidaknya tidak salah juga kan kalau kita mengikuti jaminan asuransi ini. Hitung-hitung Bapak menabung, seandainya saja ada kejadian yang tidak inginkan menimpa Bapak”.

Lelaki itu lama termenung, hingga akhirnya mengiyakan.
                                                                         ***

Lelaki itu ingat, di dompetnya masih terselip slip pembayaran asuransi yang selalu dibayarnya itu. Matanya berbinar dan ada kaca-kaca air disana.

“Yaa Allah, terima kasih Engkau telah menuntun hamba ke sini. Hamba rela dengan takdir ini. Seperti janji hamba, hamba rela menyerahkan nyawa hamba jika sekiranya bisa memberikan kesembuhan buat anak hamba”.

Kini matanya terpejam. Tenang. Inilah pengorbanannya. Selesai sudah perjuangannya. Tampak senyum ada di bibirnya. Tubuhnya kini dingin dan kaku, tak ada lagi gerak di sana.
                                                                         ***
 


·    Sambungan hal 1
Dari keterangan polisi yang datang ke tempat kejadian dan melakukan olah TKP, petugas berhasil menemukan dompet korban. Diidentifikasi, korban bernama Ikhsan (39), selain itu petugas juga menemukan beberapa lembar uang dan juga sebuah slip pembayaran asuransi
jiwa. Setelah dikonfirmasi dengan pihak asuransi terkait, mereka membenarkan slip itu memang berasal dari mereka. Mereka berjanji akan memberikan santunan sebesar lima puluh juta rupiah yang nantinya akan diserahkan kepada ahli waris korban. (FIR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar