TEWAS
TABRAKAN, KORBAN TERSENYUM
Jakarta,
Amt Post –
Telah terjadi sebuah kecelakaan antara kereta api (KA) Agung Bromo dengan KA Dharma Bakti.
Kecelakaan naas yang terjadi pada selasa malam (21/12) itu terjadi di desa
Jati Luhur dan menewaskan 13 orang penumpang. Dari keterangan yang didapat
dari seorang warga, kejadian berawal ketika KA Agung Bromo bergerak dengan
kecepatan tinggi tiba-tiba keluar jalur rel dan
|
langsung
menabrak salah satu gerbong KA Dharma Bakti yang juga sedang melaju kencang.
Dari hasil evakuasi petugas, diketahui korban
berjumlah 7 orang laki-laki dan 6 orang wanita. Dalam proses evakuasi
tersebut, petugas dan masyarakat setempat sempat dihebohkan dengan penemuan
korban tewas lelaki tua yang berlumuran darah, namun anehnya raut muka sang
korban justru kelihatan sedang tersenyum…..
· Bersambung
hal. 14 kol.3-4
|
***
Lelaki
tua itu mondar-mandir tak karuan. Sesekali dia mengintip dari balik pintu kaca.
Dia ingin tahu apa yang terjadi. Tampak dari matanya satu
kekhawatiran.dilihatnya beberapa orang yang berpakaian putih-putih berjalan ke
arah pintu dimana dia sedang mengintip. Ia mundur beberapa langkah dan menunggu
pintu terbuka. Dua orang wanita beserta seorang laki-laki dengan dengan pakaian
khas mereka keluar dari dalam ruangan tepat di depan lelaki itu berdiri.
“bagaimana
keadaan anak saya, Dok?”
Yang
ditanya hanya diam. Dia memandang lelaki tua itu dengan serius. Sejenak dia ia
mengalihkan pandangannya dan menarik nafas pelan.
“Anak
Bapak terkena kanker otak, dia harus segera dioperasi agar tidak bertamabh
parah. Saran saya, Bapak segera lunasi
pembayaran agar kami bisa menentukan langkah dan penaganan selanjutnya”.
“Kira-kira
biayanya berapa, Dok?’, tampak kegetiran menyelimuti wajah tua itu.
“silakan
Bapak tanyakan langsung kepada bagian Administrasi, terima kasih”.
Sang
dokter segera beranjak pergi meninggalkan si lelaki tua yang hanya berdiri
terdiam mengikuti alur pikirannya yang memusing, kalut dan berputar-putar. Ia
kemudian duduk lemas di atas lantai keramikrumah sakit itu. Dinginya keramik
tak mampu mendinginkan kepalanya yang mulai memanas kacau. Seandainya saja dia
mudah menyerah, sebenarnya dia berharap sekali dingin itu sekalian saja mampu
membekukan darahnya agar tak lagi mengalir disekujur tubuhnya bahkan memutuskan
kehidupannya sekalipun, agar tak ada lagi beban yang menggelayut di pikirannya.
Namun terbayang rasa sayangnya yang teramat sangat, membuatnya tetap bertahan.
Dia sangat menyayangi anak semata wayangnya itu. Anak yang selama
bertahun-tahun dinantinya. Bahkan isterinya sendiri harus kehilangan nyawa demi
melahirkannya. Itulah yang membuatnya sangat menyayangi anaknya itu. Dia adalah
harta satu-satunya yang sangat berharga baginya. Anak yang telah dipersembahkan
isterinya dengan penuh perjuangan, haruskah dia sia-siakan. Bagaimana
seandainya saja isterinya datang dan marah padanya karena tak bisa menjaga anak
mereka.
***
***
Kini lelaki itu
tersandar didinding. Matanya nanar menatap keatas, entah apa yang dilihatnya.
Pandangannya penuh harap. Mungkin ia hanya ingin agar Yang Di Atas sana
menatapnya dengan penuh kasihan dan mendengarkan keluh kesahnya.
“apa
yang harus kulakukan?’, desahnya.
Kini
matanya berkabut, teringat olehnya akan kata-kata petugas administrasi barusan
yang mengatakan berapa jumlah uang yang harus dibayarnya. Sekitar lima belas
juta. Jumlah yang terlalu besar baginya. Dia hanyalah seorang pedagang kecil
biasa. Pendapatannya tak menentu. Kadang untung, kadang juga bisa rugi. Dan
terkadang hanya cukup untuk makan sehari-hari. Bagaimana bisa ia mendapatkan
uang sebanyak itu?
Sepintas
terbayang pula olehnya, betapa sekarang ini anaknya sedang menderita. Lelaki
itu meringis. Apa yang mesti ia perbuat? Sementara anaknya sedang menunggu di
pembaringan dengan penuh pengharapan. Dokter belum bisa berbuat banyak sebelum
ada yang menjamin pembayaran.
Lelaki
tua itu terus berjalan perlahan. Langkahnya gontai dan tak berarah. Entah
berapa jauh sudah ia menyusuri koridor rumah sakit yang terasa lenggang
olehnya, padahal ada banyak orang di sana. Namun lelaki itu merasa sendiri. Tak
ada yang peduli padanya. Tak ada yang mau merasakan kesusahannya. Sejenak dia
berhenti, dipandanginya disudut sana ada seorang perempuan sedang asyik
berbicara lewat telepon genggamnya. Dari dandananya saja bisa diketahui bahwa dia adalah seorang yang cukup kaya.
Gelang- gelang emas berkilauan melingkar di tanganya. Kalung dengan liontin yang
cukup besar juga tampak menggantung di lehernya. Kini pandanganya beralih ke
tas yang sedang dijinjing wanita itu. Wanita itu tampak sangat lengah, akan
mudah sekali baginya merebut tas itu. Dia yakin sekali pasti dalam tas itu
masih banyak perhiasan lainnya dan juga uang. Setan terus menggodanya, dan
mengigatkan betapa menderitanya anaknya saat ini. Dan akhirnya….
Dengan
hati-hati dia mengikuti wanita itu dari belakang. Dia harus sabar, masih banyak
orang berlalu lalang. Dia harus menunggu waktu yang tepat sampai tak ada lagi
orang disana. Entah berapa meter sudah dia mengikuti wanita itu, hingga
akhirnya mereka melewati koridor yang sepi. “inilah saatnya” bisiknya. Dia
menjulurkan tangannya. Hampir saja dia mampu meraih tas itu, tiba- tiba saja
pintu yang ada didepan mereka terbuka. Seseorang keluar dari sana. Lelaki tua
itu cepat- cepat menarik tangan dan mengurungkan niatnya. Lelaki yang keluar
itu menatapnya. Dia hanya tertunduk malu, takut apa yang barusan ingin
dilakukannya ketahuan oleh lelaki itu.
“ada
apa, Pak?”, sapa lelaki itu ramah.
“Anu,
eh, tidak ada apa-apa, Pak… saya hanya ingin sholat di sini” jawabnya ketika
melihat tulisan di atas pintu ruangan di mana lelaki tadi keluar. Ruangan itu
ternyata Musholla Rumah sakit.
“oh,
iya… masuk saja, Pak, Bapak kelihatannya sedang ada masalah. Lebih baik Bapak
sholat dulu dan mengadulah dan berserah dirilah kepada Yang Maha Menolong,
Insya Allah Dia akan selalu menolong hamba-hambanya yang memohon dan berserah
diri padaNya”.
Ya
Allah, tiba- tiba dia menangis. Dia begitu tergugah dan seperti merasakan
kerinduan yang teramat mendalam. Mengapa dia bisa begitu saja lupa ada Dzat
yang Maha Kuasa untuk melakukan apa saja. Termasuk hanya untuk menolongnya.
Mengapa pula ia dengan mudah tergoda untuk melakukan perbuatan haram yang
selama ini pantang dilakukannya. Penyesalannya dan juga pilu yang sedang
dirasakannya serta merta menciptakan aliran anak sungai kecil di pipinya. Ia kemudian mulai membasuh mukanya dengan air
wudhu. Betapa, dia merasakan kesejukkan dan ketenangan.
Si
lelaki tua itu bergegas masuk dan melaksanakan sholat dua rakaat, di penghujung
sujud terakhir, ia berhenti sejenak:
“Yaa
Allah saat ini hamba datang kepadaMu dengan membawa kegundahan, gundah yang tak
terperikan dan teramat menyakitkanku. Engkau Maha Tahu apa yang tengah menimpa
hamba. Saat ini anak hamba sedang terbaring tak berdaya, sedangkan hamba tak
mampu berbuat apa-apa. Dengan segala kerendahan hati, hamba memohon belas
kasihMu dalam menghadapi kesulitan ini. Karena hamba yakin, hanya Engkaulah
sebaik-baik tempat untuk meminta pertolongan. Seandainya saja bisa, hamba rela
melakukan apa saja demikesembuhan anak hamab. Hamba rela menggantikan
penderitaannya, bahkan hamba rela menyerahkan nyawa hamba jika sekiranya itu
bisa memberikan kesembuhan dan kehidupan padanya….”
***
***
Lelaki
itu bangkit, ia terus berjalan. Menuruti langkah kakinya yang tak tentu. Tak ada
tujuan jelas yang akan dia tuju. Ia hanya mengiringi irama hatinya yang kelu. Tanpa
terasa dan sama sekali tidak dia sadari, dia telah melangkah jauh meninggalkan
rumah sakit. Hatinya sangat galau. Kemana ia akan mencarikan uang untuk biaya operasi
anaknya. Dia kemudian teringat dengan Pak Ridlwan. Pak Ridlwan adalah sepupu
istrinya. Dia sangat kaya, akan tetapi dia sangat pelit. Dia ingat ketika
istrinya mau melahirkan dulu. Dia berusaha meminjam uang padanya, akan tetapi
dengan tegas pak ridlwan menolaknya. Lelaki tua itu bingung, antara meminjam
atau tidak. Ia ingat anaknya sedang menunggunya sekarang, akhirnya ia
memutuskan untuk menemuinya. Maukah dia meminjaminya uang lima belas juta? Jumlah
yang cukup besar. Tapi, Ah, tidak salahnya aku mencobanya dulu, gumamnya. Rumahnya
cukup jauh dari sini, lelaki tua itu memutuskan untuk naik kereta api.
“Yaa
Allah, antarkanlah hamba kemanapun hamba bisa mendapatkan uang untuk biaya
operasi anak hamba”, desahnya.
Air
matanya kembali meleleh, hatinya serasa dicabik-cabik. Bisingnya deru kereta
api tak mampu mengusik suasana hatinya, sampai akhirnya……
Bruukkk……..
terdengar bunyi benturan keras. Kereta oleng.
Lelaki
tua itu terlempar dan dadanya terhantam kursi yang ada di depannya. Darah segar
mengucur dari hidung dan mulutnya. Ia terluka parah akibat gerbong yang
ditumpanginya setelah beberapa saat keluar jalur dan menabrak kereta lain yang juga sedang melaju.
Ia
berusaha keluar, namun naas kakinya terjepit kursi. Ia tak mampu beranjak
sedikitpun. Kekuatannya melemah dan akhirnya ia hanya bisa pasrah. Ia sadar ia
telah mengalami kecelakaan, KECELAKAAN! Ia ingat sesuatu.
***
***
“Bagaimana
pak? Saya cuma menawarkan saja, siapa
tau Bapak berminat”. Saat itu tetangganya yang bekerja di salah satu lembaga
asuransi datang dan menawarinya untuk ikut asuransi.
“Lantas
apa yang harus saya asuransikan? Rumah? Mobil? Saya gak punya”.
“Kami
bukan hanya menawarkan asuransi itu saja, Pak. Ada asuransi kesehatan, asuransi
pendidikan juga ada asuransi jiwa, Pak. Kalau Bapak mau, saya menyarankan Bapak
ikut asuransi jiwa saja, bapak kalau pergi berdagang kan suka naik angkot atau
kereta, memang kita tidak mengharapkan kecelakaan menimpa kita, tapi setidaknya
tidak salah juga kan kalau kita mengikuti jaminan asuransi ini. Hitung-hitung Bapak
menabung, seandainya saja ada kejadian yang tidak inginkan menimpa Bapak”.
Lelaki
itu lama termenung, hingga akhirnya mengiyakan.
***
Lelaki
itu ingat, di dompetnya masih terselip slip pembayaran asuransi yang selalu
dibayarnya itu. Matanya berbinar dan ada kaca-kaca air disana.
“Yaa
Allah, terima kasih Engkau telah menuntun hamba ke sini. Hamba rela dengan
takdir ini. Seperti janji hamba, hamba rela menyerahkan nyawa hamba jika
sekiranya bisa memberikan kesembuhan buat anak hamba”.
Kini
matanya terpejam. Tenang. Inilah pengorbanannya. Selesai sudah perjuangannya. Tampak
senyum ada di bibirnya. Tubuhnya kini dingin dan kaku, tak ada lagi gerak di
sana.
· Sambungan hal
1
Dari keterangan
polisi yang datang ke tempat kejadian dan melakukan olah TKP, petugas berhasil
menemukan dompet korban. Diidentifikasi, korban bernama Ikhsan (39), selain
itu petugas juga menemukan beberapa lembar uang dan juga sebuah slip
pembayaran asuransi
|
jiwa. Setelah dikonfirmasi
dengan pihak asuransi terkait, mereka membenarkan slip itu memang berasal
dari mereka. Mereka berjanji akan memberikan santunan sebesar lima puluh juta
rupiah yang nantinya akan diserahkan kepada ahli waris korban. (FIR)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar