Tangan
Kania bergetar ketika mengambil sebuah benda mungil yang mengapung itu. Dia
tidak melanjutkan wudhunya. Benda yang berwarna merah hati itu adalah sebuah
apel yang tersangkut di ranting ranting yang hanyut mengikuti aliran anak
sungai kecil di depan rumahnya. Hujan deras yang turun selama beberapa hari ini
telah membuat air sungai di seberang jalan meluap dan mengakibatkan banjir.
Banyak rumah warga yang terendam. Beruntung, rumah Kania cukup tinggi sehingga
air hanya menggenangi halaman dan mengalir ke belakang rumah dan terus menuju
persawahan.
“Kok
bisa? Apa ini cuma kebetulan?” Kania memandangi aneh buah apel itu, sesaat
kemudian dia memandang perutnya lantas mengelusnya. Ia buru- buru teringat
suaminya. Sekilas raut mukanya tampak sayu, nampak sekali gelisah tengah
mengganggu pikirannya; suaminya belum pulang! Dipandanginya sekeliling, hanya
gelap malam yang terlihat. Listrik memang mati. Biasanya ketika hujan turun
cukup deras seperti ini selalu saja ada pemadaman listrik.
Kania
meletakan apel yang baru dipungutnya ke lantai sementara dia meneruskan
wudhunya. Nanti akan dibawanya ke dalam rumah. Kania tahu, apel itu bukan
miliknya tapi janin yang ada di dalam perutnya seakan memaksanya dan merengek
untuk bisa memakan apel tersebut. Janinnya seolah tak sabar menunggu ayahnya
datang membawakan apel seperti yang dipesankan ibunya tadi pagi sebelum
berangkat kerja. Ayahnya tertawa begitu tahu istrinya sedang ngidam, ayahnya
terus mengelus- elus perut ibunya. “sabar yaa, nanti pasti abi belikan”. Lelaki
itu kemudian beranjak dan memacu sepeda motornya. Banjir yang menggenangi
halamannya tak menghalanginya untuk terus melaju menuju tempat kerjanya, dia
adalah seorang abdi Negara yang mendedikasikan dirinya sebagai tenaga pengajar
di sebuah sekolah yang cukup jauh dari rumahnya. Lelaki itu menghilang saat lambaian
tangan kania mulai redup.
Kania
memandang lepas ke arah rintik- rintik hujan dan kegelapan, di mana di situlah
dia terakhir mewanti- wanti suaminya agar berhati- hati di jalan saat pergi ke
sekolah tadi pagi. Hujan makin deras, dan angin ikut bertiup kencang. Kania
merapatkan baju dan kerudungnya. Dia kedinginan. Dan memutuskan untuk segera
melaksanakan sholat isya yang telah tiba hampir setengah jam yang lalu. Sebelum
masuk kerumah, sekali lagi kania menerawang ke luar sana, akan tetapi semuanya
masih tetap gelap. Tak ada seorangpun yang dia lihat. Wajar saja, tak ada
seorang pun yang mau keluar rumah malam- malam disaat banjir seperti ini.
Terlebih lagi listrik sedang mati dan hujan turun dengan derasnya. Tapi bukan
itu yang dicari kania di sana, dia hanya mengharapkan ada seseorang di balik
kegelapan itu yang datang ke rumah dan menghampirinya seraya mengulurkan
tangan, dan kania pun menyambut dan mencium tangannya, bukan orang lain.
“Mana
suamiku?” desahnya lirih, Kania menundukan kepala dan menutup matanya. Nafasnya
berat. Dengan langkah gontai dia membawa dirinya masuk ke dalam rumah, tangan
kanannya memegang apel yang didapatnya saat hendak berwudhu di air yang
mengalir depan rumahnya tadi.
Apel
Hujan
reda dan listrik telah menyala. Kania membuka matanya, begitu terdengar ada
suara orang mengetuk pintu. Dia baru sadar kalau dia tertidur setelah sholat isya
tadi ketika sedang menunggu suaminya pulang. Dia bergegas bangkit untuk
membukakan pintu, sekilas dia melihat jam dinding telah menunjukkan pukul
sepuluh lewat. Siapa gerangan yang mengetuk pintu rumahnya malam- malam begini.
Mungkinkah suaminya yang sudah datang? Dia mengintip dari kaca yang ada di sebelah
pintu. Dia kaget, ada beberapa orang laki- laki di depan rumahnya. Ada apa
sebenarnya ini? Rasa takut dan cemas mulai menghantuinya.
“Kania,
buka pintunya Kania” seru salah seorang dari mereka. Suara itu adalah suara pak
Roni. Kania hafal betul, beliau adalah seorang muadzin yang selalu melantunkan
adzan di surau tak jauh dari rumah Kania. Beliau orang baik, Kania tidak perlu
takut untuk membukakan pintu.
Iya,
ada apa pak? Tanya kania getir.
Begini,
kami menemukan sepeda motor suamimu tergeletak disana, kata pak Roni sambil
menunjuk ke suatu tempat sekitar tiga puluh meter dari halaman depan rumah
kania.
Kami
kesini untuk mengantarkannya, takutnya nanti sepeda motornya hilang diambil
orang. Memangnya kenapa sepeda motornya kok di tinggalkan begitu saja? Suamimu
di mana?
Kania
Shok. Muncul firasat buruk di pikiran Kania bahwa sesuatu yang tidak diinginkan
telah terjadi pada diri suaminya. Tiba- tiba pandangan kania menjadi kabur
sebelumnya akhirnya benar- benar menjadi gelap. Pak Roni dan teman- temannya
menjadi bingung dan memanggil- manggil suami kania. Namun tidak ada yang menyahut
dari dalam rumah. Kania diangkat ke atas sofa.
Pak
roni segera menyadari apa yang terjadi, ia memerintahkan beberapa warga untuk
kembali ke tempat mereka menemukan sepeda motor Dimas; suami Kania, Untuk
mencari tahu keberadaannya. Akan tetapi, hujan kembali turun dengan derasnya,
air sungai makin meluap. Tampak cahaya kilat mulai sambar- menyambar. Warga
mengurungkan niatnya dan memutuskan melakukan pencarian pada esok hari. Mereka kembali
kerumah Kania. Sebagian pulang kerumah masing- masing untuk memberitahu anggota
keluarga yang lain terutama istri mereka dan meminta untuk menjaga kania sampai
ia siuman. Sedang pak roni tampak sibuk menghubungi nomor handphone Dimas. Namun
tidak aktif!!
Apel
Ayam
jantan mulai berkokok, pak Roni mulai melantunkan adzan subuh di surau. Kania
bangun. Beberapa orang wanita tetangganya yang menjaga kania dan tertidur
disampingnya juga ikut bangun. Ingatan Kania pulih, tiba- tiba ia berteiak
histeris.
“Mana
suamiku? Mana suamiku?”
Para
tetangganya berusaha menenangkan, namun kania terus berontak. Apel tadi malam
yang diletakkannya diatas meja, tiba- tiba jatuh. Kania melihatnya, dan dia
menangis sejadi- jadinya.
Ibu
razak memungut apel tersebut dan menyerahkannya pada Kania. Kania merebutnya
dan meletakannya ke dada. Ia memeluknya. Semua yang melihat terdiam, tak tahu
harus berbuat apa.
Apel
“Bi,
kenapa sih abi tetap ngotot pergi kesekolah? Ummi denger- denger dari sini
sampai sekolahan abi banyak jalan yang putus akibat banjir.”
“Abi
tau, Mi. tapi kan gak semua nya banjir. Lagian abi kan bisa muter jalan lewat
desa seberang.”
“Tapi
kan jauh, Bi. Kalau lewat jalan seberang satu jam lebih abi baru sampai ke
sekolah.”
“Ya
nggak apa- apa, Mi. abi udah biasa kok jalan jauh.”
“Memangnya
abi nggak bisa minta izin untuk libur sementara waktu dulu sampai banjirnya
surut? Kepala sekolah pasti ngerti kok, Bi. Lagian, ummi kan juga lagi hamil,
bi. Apa abi nggak bisa meluangkan waktu sehari atau dua hari ini aja untuk
bersama ummi sama anak kita.”
“Ini
udah kewajiban abi, Mi. abi mesti mengajar ke sekolah. Abi bangga bisa ikut
mencerdaskan bangsa. Abi bangga bisa bermanfaat bagi orang lain.”
“Ya
udah kalau abi memang tetap harus pergi ke sekolah. Tapi abi harus hati- hati
dijalan yaa… jangan ngebut.”
“Pasti,
Mi”. lelaki itu tersenyum kemudian mencium kening kania.
“O,
ya bi, nanti pas pulang beliin ummi apel ya? Aufa minta di beliin apel nih”,
kata Kania sambil memngelus perutnya. Dimas dan Kania telah sepakat untuk
memberi nama anak mereka nanti, aufa. Mereka menginginkan anak perempuan.
“Sabar
yaa, nanti pasti abi belikan”, dimas tertawa sambil ikut mengelus- elus perut
kania.
Apel
Kania
terus menangis, tetangganya dengan sabar terus berusaha menenangkanya. Namun
hujan deras terus turun dari matanya. Dan menyebabkan banjir yang mengalir deras
di pipinya. Tidak tahu kapan akan surut.
Pak
roni datang lagi. Dia menghampiri Kania. Di tangannya ada sebuah kantong plastic
hitam. Sejenak Kania diam. Dia memandangi wajah pak roni. Wajah keduanya sama-
sama datar tak mengekspresikan apa pun. Kania menunggu. Pak roni tahu Kania
sedang menunggu kabar darinya. Dia menunduk dan menggelengkan kepala.
“kami
tidak menemukan Dimas. Dia tidak ada di pinggir jalan, di semak, di bawah pohon
atau pun di sawah. Sekarang warga mengalihkan pencarian di sungai. Siapa tahu
dia hanyut disana”
Pak
Roni lalu menyerahkan bungkusan plastic yang ada di tangannya kepada Kania.
“Ini
kami temukan di dekat lokasi kejadian. Siapa tahu ini adalah milik dimas.
Isinya hanyalah beberapa buah apel”
Kania
terisak. Semua yang melihat tertunduk ikut hanyut dalam kesedihan. Mereka bisa
merasakan kesedihan yang dialami Kania. Selain itu, mereka juga mengenal sosok
Dimas adalah seorang yang sangat baik hati dan suka menolong orang lain.
Sehingga wajar mereka juga sangat merasa kehilangan. Suasana menjadi senyap.
Sesekali hanya terdengar suara isak tangis kania.
Apel
Sebuah
mobil berhenti tepat di depan rumah Kania. Seorang laki- laki bergegas masuk ke
dalam rumah. Wajahnya tampak gelisah.
“Kania,
mana Kania? Ada apa dengan Kania?” Teriaknya.
Semua
yang ada di rumah tertegun, mereka sangat terkejut. Begitu pula dengan Kania.
Kania sangat familiar sekali dengan suara itu. Dia bangkit dan langsung berlari
ke arah sumber suara. Ketika semua tersadar siapa yang datang, semuanya segera
berteriak,
“Dimas?”
“kania?
Ada apa denganmu? Apa yang terjadi di rumah kita?”
“Abi
kemana saja semalaman tidak pulang- pulang?” Kania menangis di bahu Dimas.
Seseorang
muncul di belakang Dimas. Kania melihat ke arahnya. Namun dia tidak
mengenalinya.
“Kania,
suamimu telah menolong anak kami yang kecelakaan tadi malam. Sewaktu hujan
lebat anak kami melintasi jalan itu, tiba-tiba saja ada sebuah kayu besar
hanyut tepat di depan sepeda motor anak kami. Dia tidak bisa menghindar
sehingga terjatuh. Tanpa disadari dari arah belakang sebuah sepeda motor juga
sedang melaju kencang dan menabrak anak kami. Namun dia tidak bertanggung jawab
dan malah kabur. Beruntung ada Dimas yang melintas di sana. Melihat kondisi
anak kami yang cukup parah. Ia segera memberi pertolongan dan membawanya ke
rumah sakit dengan sepeda motor anak kami. Karena sepeda motor dimas kehabisan
bensin. Beruntungnya sepeda motor anak kami masih bisa dipakai, kalau tidak,
telat sedikit saja nyawa anak kami bisa tidak tertolong. Sekali lagi kami
mengucapkan terima ksih yang sebesar- besarnya. Dan kami meminta maaf bila
kejadian ini membuat kania dan juga seluruh warga di sini menjadi panic dan
cemas.
Semua
diam mendengarkan, mereka menjadi semakin kagum dengan sosok Dimas yang sangat berjiwa
sosial itu.
“Mi,
maafin abi yang telah membuat Ummi cemas yaa…
Kania
hanya bisa mengangguk, tak ada yang bisa dia ucapkan lagi, selain kebahagiaan
yang terpancar di matanya, meski masih nampak ada air mata tangis di sana. Tapi
bukan air mata kesedihan!
“satu
lagi, Abi minta maaf karena apel yang abi belikan untuk ummi dan aufa hilang
karena terjatuh semalam”
“Abi
nggak perlu minta maaf soal itu”, Kini Kania dan seluruh warga yang mendengar
tersenyum. Sebagian ada yang tertawa. Giliran Dimas yang bingung.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar