Minggu, 07 Juli 2013

Apel



Tangan Kania bergetar ketika mengambil sebuah benda mungil yang mengapung itu. Dia tidak melanjutkan wudhunya. Benda yang berwarna merah hati itu adalah sebuah apel yang tersangkut di ranting ranting yang hanyut mengikuti aliran anak sungai kecil di depan rumahnya. Hujan deras yang turun selama beberapa hari ini telah membuat air sungai di seberang jalan meluap dan mengakibatkan banjir. Banyak rumah warga yang terendam. Beruntung, rumah Kania cukup tinggi sehingga air hanya menggenangi halaman dan mengalir ke belakang rumah dan terus menuju persawahan.
“Kok bisa? Apa ini cuma kebetulan?” Kania memandangi aneh buah apel itu, sesaat kemudian dia memandang perutnya lantas mengelusnya. Ia buru- buru teringat suaminya. Sekilas raut mukanya tampak sayu, nampak sekali gelisah tengah mengganggu pikirannya; suaminya belum pulang! Dipandanginya sekeliling, hanya gelap malam yang terlihat. Listrik memang mati. Biasanya ketika hujan turun cukup deras seperti ini selalu saja ada pemadaman listrik.
Kania meletakan apel yang baru dipungutnya ke lantai sementara dia meneruskan wudhunya. Nanti akan dibawanya ke dalam rumah. Kania tahu, apel itu bukan miliknya tapi janin yang ada di dalam perutnya seakan memaksanya dan merengek untuk bisa memakan apel tersebut. Janinnya seolah tak sabar menunggu ayahnya datang membawakan apel seperti yang dipesankan ibunya tadi pagi sebelum berangkat kerja. Ayahnya tertawa begitu tahu istrinya sedang ngidam, ayahnya terus mengelus- elus perut ibunya. “sabar yaa, nanti pasti abi belikan”. Lelaki itu kemudian beranjak dan memacu sepeda motornya. Banjir yang menggenangi halamannya tak menghalanginya untuk terus melaju menuju tempat kerjanya, dia adalah seorang abdi Negara yang mendedikasikan dirinya sebagai tenaga pengajar di sebuah sekolah yang cukup jauh dari rumahnya. Lelaki itu menghilang saat lambaian tangan kania mulai redup.
Kania memandang lepas ke arah rintik- rintik hujan dan kegelapan, di mana di situlah dia terakhir mewanti- wanti suaminya agar berhati- hati di jalan saat pergi ke sekolah tadi pagi. Hujan makin deras, dan angin ikut bertiup kencang. Kania merapatkan baju dan kerudungnya. Dia kedinginan. Dan memutuskan untuk segera melaksanakan sholat isya yang telah tiba hampir setengah jam yang lalu. Sebelum masuk kerumah, sekali lagi kania menerawang ke luar sana, akan tetapi semuanya masih tetap gelap. Tak ada seorangpun yang dia lihat. Wajar saja, tak ada seorang pun yang mau keluar rumah malam- malam disaat banjir seperti ini. Terlebih lagi listrik sedang mati dan hujan turun dengan derasnya. Tapi bukan itu yang dicari kania di sana, dia hanya mengharapkan ada seseorang di balik kegelapan itu yang datang ke rumah dan menghampirinya seraya mengulurkan tangan, dan kania pun menyambut dan mencium tangannya, bukan orang lain.
“Mana suamiku?” desahnya lirih, Kania menundukan kepala dan menutup matanya. Nafasnya berat. Dengan langkah gontai dia membawa dirinya masuk ke dalam rumah, tangan kanannya memegang apel yang didapatnya saat hendak berwudhu di air yang mengalir depan rumahnya tadi.
Apel
Hujan reda dan listrik telah menyala. Kania membuka matanya, begitu terdengar ada suara orang mengetuk pintu. Dia baru sadar kalau dia tertidur setelah sholat isya tadi ketika sedang menunggu suaminya pulang. Dia bergegas bangkit untuk membukakan pintu, sekilas dia melihat jam dinding telah menunjukkan pukul sepuluh lewat. Siapa gerangan yang mengetuk pintu rumahnya malam- malam begini. Mungkinkah suaminya yang sudah datang? Dia mengintip dari kaca yang ada di sebelah pintu. Dia kaget, ada beberapa orang laki- laki di depan rumahnya. Ada apa sebenarnya ini? Rasa takut dan cemas mulai menghantuinya.
“Kania, buka pintunya Kania” seru salah seorang dari mereka. Suara itu adalah suara pak Roni. Kania hafal betul, beliau adalah seorang muadzin yang selalu melantunkan adzan di surau tak jauh dari rumah Kania. Beliau orang baik, Kania tidak perlu takut untuk membukakan pintu.
Iya, ada apa pak? Tanya kania getir.
Begini, kami menemukan sepeda motor suamimu tergeletak disana, kata pak Roni sambil menunjuk ke suatu tempat sekitar tiga puluh meter dari halaman depan rumah kania.
Kami kesini untuk mengantarkannya, takutnya nanti sepeda motornya hilang diambil orang. Memangnya kenapa sepeda motornya kok di tinggalkan begitu saja? Suamimu di mana?
Kania Shok. Muncul firasat buruk di pikiran Kania bahwa sesuatu yang tidak diinginkan telah terjadi pada diri suaminya. Tiba- tiba pandangan kania menjadi kabur sebelumnya akhirnya benar- benar menjadi gelap. Pak Roni dan teman- temannya menjadi bingung dan memanggil- manggil suami kania. Namun tidak ada yang menyahut dari dalam rumah. Kania diangkat ke atas sofa.
Pak roni segera menyadari apa yang terjadi, ia memerintahkan beberapa warga untuk kembali ke tempat mereka menemukan sepeda motor Dimas; suami Kania, Untuk mencari tahu keberadaannya. Akan tetapi, hujan kembali turun dengan derasnya, air sungai makin meluap. Tampak cahaya kilat mulai sambar- menyambar. Warga mengurungkan niatnya dan memutuskan melakukan pencarian pada esok hari. Mereka kembali kerumah Kania. Sebagian pulang kerumah masing- masing untuk memberitahu anggota keluarga yang lain terutama istri mereka dan meminta untuk menjaga kania sampai ia siuman. Sedang pak roni tampak sibuk menghubungi nomor handphone Dimas. Namun tidak aktif!!
Apel
Ayam jantan mulai berkokok, pak Roni mulai melantunkan adzan subuh di surau. Kania bangun. Beberapa orang wanita tetangganya yang menjaga kania dan tertidur disampingnya juga ikut bangun. Ingatan Kania pulih, tiba- tiba ia berteiak histeris.
“Mana suamiku? Mana suamiku?”
Para tetangganya berusaha menenangkan, namun kania terus berontak. Apel tadi malam yang diletakkannya diatas meja, tiba- tiba jatuh. Kania melihatnya, dan dia menangis sejadi- jadinya.
Ibu razak memungut apel tersebut dan menyerahkannya pada Kania. Kania merebutnya dan meletakannya ke dada. Ia memeluknya. Semua yang melihat terdiam, tak tahu harus berbuat apa.
Apel
“Bi, kenapa sih abi tetap ngotot pergi kesekolah? Ummi denger- denger dari sini sampai sekolahan abi banyak jalan yang putus akibat banjir.”
“Abi tau, Mi. tapi kan gak semua nya banjir. Lagian abi kan bisa muter jalan lewat desa seberang.”
“Tapi kan jauh, Bi. Kalau lewat jalan seberang satu jam lebih abi baru sampai ke sekolah.”
“Ya nggak apa- apa, Mi. abi udah biasa kok jalan jauh.”
“Memangnya abi nggak bisa minta izin untuk libur sementara waktu dulu sampai banjirnya surut? Kepala sekolah pasti ngerti kok, Bi. Lagian, ummi kan juga lagi hamil, bi. Apa abi nggak bisa meluangkan waktu sehari atau dua hari ini aja untuk bersama ummi sama anak kita.”
“Ini udah kewajiban abi, Mi. abi mesti mengajar ke sekolah. Abi bangga bisa ikut mencerdaskan bangsa. Abi bangga bisa bermanfaat bagi orang lain.”
“Ya udah kalau abi memang tetap harus pergi ke sekolah. Tapi abi harus hati- hati dijalan yaa… jangan ngebut.”
“Pasti, Mi”. lelaki itu tersenyum kemudian mencium kening kania.
“O, ya bi, nanti pas pulang beliin ummi apel ya? Aufa minta di beliin apel nih”, kata Kania sambil memngelus perutnya. Dimas dan Kania telah sepakat untuk memberi nama anak mereka nanti, aufa. Mereka menginginkan anak perempuan.
“Sabar yaa, nanti pasti abi belikan”, dimas tertawa sambil ikut mengelus- elus perut kania.
Apel
Kania terus menangis, tetangganya dengan sabar terus berusaha menenangkanya. Namun hujan deras terus turun dari matanya. Dan menyebabkan banjir yang mengalir deras di pipinya. Tidak tahu kapan akan surut.
Pak roni datang lagi. Dia menghampiri Kania. Di tangannya ada sebuah kantong plastic hitam. Sejenak Kania diam. Dia memandangi wajah pak roni. Wajah keduanya sama- sama datar tak mengekspresikan apa pun. Kania menunggu. Pak roni tahu Kania sedang menunggu kabar darinya. Dia menunduk dan menggelengkan kepala.
“kami tidak menemukan Dimas. Dia tidak ada di pinggir jalan, di semak, di bawah pohon atau pun di sawah. Sekarang warga mengalihkan pencarian di sungai. Siapa tahu dia hanyut disana”
Pak Roni lalu menyerahkan bungkusan plastic yang ada di tangannya kepada Kania.
“Ini kami temukan di dekat lokasi kejadian. Siapa tahu ini adalah milik dimas. Isinya hanyalah beberapa buah apel”
Kania terisak. Semua yang melihat tertunduk ikut hanyut dalam kesedihan. Mereka bisa merasakan kesedihan yang dialami Kania. Selain itu, mereka juga mengenal sosok Dimas adalah seorang yang sangat baik hati dan suka menolong orang lain. Sehingga wajar mereka juga sangat merasa kehilangan. Suasana menjadi senyap. Sesekali hanya terdengar suara isak tangis kania.
Apel
Sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah Kania. Seorang laki- laki bergegas masuk ke dalam rumah. Wajahnya tampak gelisah.
“Kania, mana Kania? Ada apa dengan Kania?” Teriaknya.
Semua yang ada di rumah tertegun, mereka sangat terkejut. Begitu pula dengan Kania. Kania sangat familiar sekali dengan suara itu. Dia bangkit dan langsung berlari ke arah sumber suara. Ketika semua tersadar siapa yang datang, semuanya segera berteriak,
“Dimas?”
“kania? Ada apa denganmu? Apa yang terjadi di rumah kita?”
“Abi kemana saja semalaman tidak pulang- pulang?” Kania menangis di bahu Dimas.
Seseorang muncul di belakang Dimas. Kania melihat ke arahnya. Namun dia tidak mengenalinya.
“Kania, suamimu telah menolong anak kami yang kecelakaan tadi malam. Sewaktu hujan lebat anak kami melintasi jalan itu, tiba-tiba saja ada sebuah kayu besar hanyut tepat di depan sepeda motor anak kami. Dia tidak bisa menghindar sehingga terjatuh. Tanpa disadari dari arah belakang sebuah sepeda motor juga sedang melaju kencang dan menabrak anak kami. Namun dia tidak bertanggung jawab dan malah kabur. Beruntung ada Dimas yang melintas di sana. Melihat kondisi anak kami yang cukup parah. Ia segera memberi pertolongan dan membawanya ke rumah sakit dengan sepeda motor anak kami. Karena sepeda motor dimas kehabisan bensin. Beruntungnya sepeda motor anak kami masih bisa dipakai, kalau tidak, telat sedikit saja nyawa anak kami bisa tidak tertolong. Sekali lagi kami mengucapkan terima ksih yang sebesar- besarnya. Dan kami meminta maaf bila kejadian ini membuat kania dan juga seluruh warga di sini menjadi panic dan cemas.
Semua diam mendengarkan, mereka menjadi semakin kagum dengan sosok Dimas yang sangat berjiwa sosial itu.
“Mi, maafin abi yang telah membuat Ummi cemas yaa…
Kania hanya bisa mengangguk, tak ada yang bisa dia ucapkan lagi, selain kebahagiaan yang terpancar di matanya, meski masih nampak ada air mata tangis di sana. Tapi bukan air mata kesedihan!
“satu lagi, Abi minta maaf karena apel yang abi belikan untuk ummi dan aufa hilang karena terjatuh semalam”
“Abi nggak perlu minta maaf soal itu”, Kini Kania dan seluruh warga yang mendengar tersenyum. Sebagian ada yang tertawa. Giliran Dimas yang bingung.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar