Jumat, 17 Januari 2014

Aufaa Juga Cinta Rasul


٢١. لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21)

***

“Yaa Rasulullah, Salamun alaik…….”
Sepanjang perjalanan ini selalu saja kudengar ada nyanyian- nyanyian syair yang ditujukan kepada Rasulullah berkumandang di menara- menara mesjid yang kulewati. Seperti tak henti- hentinya, mereka merayakan kelahiran Rasulullah SAW.

Begitupula saat aku sudah tiba di rumah Om-ku. Aku mendengar dari dalam kamarnya, sepupuku Ari sedang asyik menyanyikan sebuah syair. Sepertinya dia siap- siap mau pergi ke mesjid. Katanya sebentar lagi ada peringatan maulid. Dia mengajakku serta, namun aku menolak. Aku masih capek. Perjalanan ke rumah Om-ku ini cukup jauh dan melelahkan.

Ya, sudah. Ari lalu melanjutkan merapikan kopiahnya. Setelah beres, dia merogoh kantongnya, sebungkus rokok keluar bersama genggamannya. Merokok dulu katanya, biar tidak ngantuk. Asap kemudian mengepul, keluar dari mulutnya. Terus menerpa wajahku. Aku segera menutup hidung. Tak rela aku menghirup asap nikotin yang beracun itu. Ari juga, apa- apan sih. Ke mesjid, yaa ke mesjid saja. Tak perlu pakai merokok segala. Sudah mengganggu pernafasan orang, buang- buang uang, mengganggu kesehatan, berdosa pula.

Kring….

Tiba- tiba handphone Ari berbunyi.

“Hallo, sayang. Iya, Sebentar lagi aku mau ke mesjid kok. Kamu pergi juga kan?”

Bla, bla, bla.…. entah apa lagi yang di bicarakan. Ari nyegir, sementara aku cuma mencibir, dasar. Pemuda sekarang, ke acara- acara seperti itu saja masih curi- curi kesempatan. Pacaran. Sudah, deh. Pergi sana. pekikku sambil mendorong Ari keluar. Ari kaget. Wajahnya nampak greget kepadaku. Namun dia sudah terbiasa aku perlakukan seperti itu. Karenanya dia tidak marah. Malah justeru meledekku.

“Kamu sih, Faa, masa umur udah 21 belum punya cowok? Coba kaya aku.”

“Emang apa enaknya sih, Ri? Justeru yaa, dengan pacaran harga diriku jadi rendah. Seenaknya saja orang yang gak halal untukku megang- megang aku. Dikira aku mainan apa?”

“Udah- udah, gak perlu diterusin. Terserah kamu aja. Aku mau pergi dulu.”

“Kamu pergi sama siapa, Ri?” tiba- tiba Ayahnya Ari yang juga Om-ku muncul dari belakang.

“Ehh, sama temen, Yah. Itu si Rony” tampak tanganya menunjuk- nunjuk tak karuan. Hah, aku melongo. Sama Rony? Rasanya yang barusan nelpon cewek deh, wah,
bohong nih. Ckck.
***

“Aufaa, temenin Tante yuk?”

“Kemana, Tante?”

“Kemana lagi, Faa? Kan sekarang lagi bulan maulid. Bulan kelahirannya Rasul. Yaa, pastilah ke acara maulid. Kelompok arisan tante yang ngadain.”

“Tapi Aufaa lagi ada kerjaan, Tante.”

“Itu kan bisa kamu lanjutin nanti, Faa. Kamu ini gimana sih, masa merayakan hari kelahiran Rasul aja kamu lebih mementingkan kerjaan kamu? Di mana rasa cinta kamu?”

“Bukannya gitu, Tante.”

“Sekali lagi Tante tanya, mau ikut atau tidak?”

“Iya, deh, Tante.”

***

Sudah lebih dari sejam aku menemani Tanteku. Katanya acaranya sebentar lagi selesai. Aku mesti sabar. Benar juga, tak lama kemudian acara selesai setelah ditutup dengan doa. Aku bernafas lega, sebentar lagi kami akan pulang. Aku bisa melanjutkan mengetik skripsiku yang deadlinenya tinggal dua hari lagi.
Namun, Ahh, tante ngapain sih. Acaranya sudah selesai kok masih betah ngobrol- ngobrol dengan teman- temannya yang lain sih? Kedengaranya sedang membincangkan seorang artis yang katanya akan segera menikah, setelah diduga telah hamil duluan. Katanya lagi, mungkin begini begitu. Ini itu, bla, bla, bla… Aduhh, Astaghfirullah. Barusan kan udah dengerin tausyiah, udah dengerin syair- syair maulid Al Habsyi dan juga pengajian Al Qur`an. Masa tak diresapi sih? Dasar ibu- ibu. Pas kumpul- kumpul senengnya menggosip aja.

Aku duduk ke pojokkan. Percuma. Tante kelihatannya masih asyik ngobrol. Aku mengingat skripsiku. Gimana nasibnya yaa? Aku bersandar di dinding. Teringat percakapanku dengan tante sebelum berangkat tadi. Dia menanyakan di mana rasa cintaku kepada Rasul. Jujur, aku sangat mencintai Rasulullah SAW.

..….. Tante, rasa cinta kepada Rasul itu sebenarnya tidak mesti diungkapkan pada saat perayaan maulid saja, melainkan di setiap waktu yang kita miliki. Kapanpun dan di manapun kita bisa mengungkapkannya. Selain itu, ungkapan rasa cinta itu tidak mesti berupa perayaan yang dipenuhi dengan syair- syair pujian kepadanya, melainkan sejauh mana kita telah melakukan ajaran dan sunah-sunahnya. Dan meninggalkan apa- apa yang dilarangnya. Percuma kan kalau kita mengaku cinta kepadanya, tapi kita jarang melakukan perintahnya dan malah sering melakukan apa- apa yang dilarangnya. Kalau kita mencintainya, seharusnya kita mencontoh keteladanan yang telah dia perlihatkan kepada kita. Karena sebaik-baik teladan adalah kepribadiannya Rasulullah SAW. Tante capek- capek merayakan maulid, tapi ujung- ujungnya dinodai dengan ghibah, Rasul melarang ghibah kan, Tante?..….

***

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ……….
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
(QS. Al Hasyr: 7)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar