LOMBA ANNIDA-ONLINE “TUNJUKKIN MAAF LO!”
http://annida-online.com/artikel-7833-lomba-tunjukkin-maaf-lo.html
Teruntuk
Dosenku, Ibu M.R.
Maaf
kan aku, Bu.
Aku
ingat saat kau masih mengajariku dengan berbagai ilmu aku pernah mengiris
hatimu. Mungkin tak layak bagiku membela diri saat itu, hingga membuat kita
harus beradu argument. Saat itu aku melihat ada aura kesal keluar dari matamu.
Dan sekarang setelah aku menyadari semua akan tujuanku kuliah yaitu untuk
menuntut ilmu, aku benar- benar menyesali perbuatanku.
Tahukah
engkau, Bu.
Dulu
waktu engkau mengajariku, aku sudah sangat memahami aturanmu; jangan pernah terlambat
datang ke kelas atau kamu dianggap tidak hadir. Aku mengerti betul akan
maksudnya. Namun sebagai aktivis sekaligus ketua sebuah organisasi, aku merasa
keberatan. Tidak adakah toleransi bagiku? Semua itu serasa membatasi gerakku
yang cenderung menuntut kelonggaran demi menjalankan tanggung jawabku pada
organisasi.
Saat
itu, aku terlambat datang ke kelasmu. Namaku telah kau coret sebagai imbasnya.
Aku tak terima. Protesku pun meluncur. Dengan berbagai alasan aku menjelaskan, berharap
engkau mau memtolerir. Tapi kau tetap konsisten. Saat itu aku berpikir engkau
cukup keras kepala (aku minta maaf untuk ini). Aku menganggap bahwa sekali lagi
akulah yang benar. Terbayang olehku, aku mewajibkan anggota organisasiku untuk
sholat ashar berjamaah di secretariat. Kebetulan waktu itu berbarengan dengan
jadwalmu mengajariku. Aku tahu, sebenarnya itu adalah waktu istirahat, bukan
waktu belajar. Tapi hanya karena engkau tidak bisa mengajar pada waktu yang
telah dijadwalkan, engkau memindahkannya ke jam istirahat. Alasannya, waktu yang telah dijadwalkan
berbeturan dengan jadwal studymu di luar kota dan engkau mengatakan hanya pada
jam itulah engkau punya waktu untuk mengajar. Saat itu, hatiku juga protes. Kau
sungguh otoriter dan egois; dengan sekehendak hatimu memindah jadwal ke jam
istirahat yang berarti memakan waktu solat berjamaahku di secretariat. Coba
bayangkan? Aku sebagai ketua yang mewajibkan anggotaku untuk sholat berjamaah,
justru aku sendiri yang tidak berjamaah.
Batinku
terus protes, debat di antara kita tak membuatku puas. Namaku tetap dicoret
walaupun aku hadir, hanya saja terlambat datang. Aku kesal. Keluar dari kelas,
aku langsung keruang rector. Sebagai aktivis tak sulit bagiku untuk menghadap
beliau. Aku beberkan semua masalahku. Tak ketinggalan aku juga menceritakan
perbuatan dosen (yang dulu, kuanggap sebagai kejelekannya) yaitu tindakan
otoritasnya yang dengan sekehendak hati memindah-mindah jadwal kuliah. Juga
alasan pembelaanku mengapa aku terlambat.
Setelah
melaporkan semuanya, aku tak tahu lagi apa yg terjadi. Hanya saja setelah itu
kurasa dosenku terlihat kaku dan diam saat mengajar. Dia juga terlihat memendam
kesal kala menatap ke arahku. Aku jadi salah tingkah. Namun egoku mengatakan
aku tak bersalah. Suatu ketika, dari seorang temanku aku tahu beliau
menceritakan aku padanya. Katanya, sungguh disesalkan ada seseorang yang lebih
mementingkan organisasi daripada kuliahnya. Beliau tak menyebut namaku. Tapi
aku tahu itu adalah aku. Aku benci, dia masih menganggap dirinya benar dan
menyalahkanku, apapun alasanku.
Kini
aku sudah menyelesaikan semua mata kuliahku, aku tidak pernah lagi bertemu
dengannya. Aku juga tidak terlalu memikirkan. Sampai ketika aku mengambil
transkrip nilai, aku kaget. Ternyata nilai mata kuliahku yang diajarkannya mendapat
nilai A. tak seperti yang kubayangkan. Dulu aku yakin nilaiku pasti jelek oleh
karena hubungan kami yang kurang baik. Aku termenung. Berusaha untuk menyadari
segalanya. Perkataan yang diucapakannya pada temanku membuahkan satu
pertanyaan. Apa tujuanku kuliah? Menuntut ilmu ataukah organisasi? Saat hatiku
menjawab bahwa ilmulah yang harusnya kucari hatikupun luluh. “Ibu, maafkan aku”
terus membatin di relungku.
Kini
aku telah menikah, dari istriku yang merupakan adik tingkatku waktu kuliah. Aku
tahu, dosenku itu juga pernah mengajarinya. Cara beliau mengajari sama seperti
dulu, memindah jadwal yang berbenturan dengan aktivitasnya di luar kota. Hanya
saja aku kaget sekali, beliau ternyata tidak pergi hanya untuk melanjutkan
studynya saja (yang dulu menurutku beliau tidak professional dalam membagi
waktu, tidak bisa membedakan antara kewajiban mengajar dengan kepentingan
pribadi; melanjutkan study. Harusnya selesaikan study dulu baru mengajar atau
mengajar yaa mengajar saja, tidak perlu belajar lagi), tetapi dia ternyat juga
sekalian berobat penyakit yang dideritanya; selama ini beliau mengidap suatu
penyakit, begitu kata istriku. Hatiku makin teriris mendengarnya.
Ibu, ternyata aku yang salah. Tolong
maafkan aku….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar