Senin, 29 Juli 2013

Teruntuk Dosenku



LOMBA ANNIDA-ONLINE “TUNJUKKIN MAAF LO!”
 http://annida-online.com/artikel-7833-lomba-tunjukkin-maaf-lo.html
Teruntuk Dosenku, Ibu M.R.

Maaf kan aku, Bu.
Aku ingat saat kau masih mengajariku dengan berbagai ilmu aku pernah mengiris hatimu. Mungkin tak layak bagiku membela diri saat itu, hingga membuat kita harus beradu argument. Saat itu aku melihat ada aura kesal keluar dari matamu. Dan sekarang setelah aku menyadari semua akan tujuanku kuliah yaitu untuk menuntut ilmu, aku benar- benar menyesali perbuatanku.
Tahukah engkau, Bu.
Dulu waktu engkau mengajariku, aku sudah sangat memahami aturanmu; jangan pernah terlambat datang ke kelas atau kamu dianggap tidak hadir. Aku mengerti betul akan maksudnya. Namun sebagai aktivis sekaligus ketua sebuah organisasi, aku merasa keberatan. Tidak adakah toleransi bagiku? Semua itu serasa membatasi gerakku yang cenderung menuntut kelonggaran demi menjalankan tanggung jawabku pada organisasi.
Saat itu, aku terlambat datang ke kelasmu. Namaku telah kau coret sebagai imbasnya. Aku tak terima. Protesku pun meluncur. Dengan berbagai alasan aku menjelaskan, berharap engkau mau memtolerir. Tapi kau tetap konsisten. Saat itu aku berpikir engkau cukup keras kepala (aku minta maaf untuk ini). Aku menganggap bahwa sekali lagi akulah yang benar. Terbayang olehku, aku mewajibkan anggota organisasiku untuk sholat ashar berjamaah di secretariat. Kebetulan waktu itu berbarengan dengan jadwalmu mengajariku. Aku tahu, sebenarnya itu adalah waktu istirahat, bukan waktu belajar. Tapi hanya karena engkau tidak bisa mengajar pada waktu yang telah dijadwalkan, engkau memindahkannya ke jam istirahat.  Alasannya, waktu yang telah dijadwalkan berbeturan dengan jadwal studymu di luar kota dan engkau mengatakan hanya pada jam itulah engkau punya waktu untuk mengajar. Saat itu, hatiku juga protes. Kau sungguh otoriter dan egois; dengan sekehendak hatimu memindah jadwal ke jam istirahat yang berarti memakan waktu solat berjamaahku di secretariat. Coba bayangkan? Aku sebagai ketua yang mewajibkan anggotaku untuk sholat berjamaah, justru aku sendiri yang tidak berjamaah.
Batinku terus protes, debat di antara kita tak membuatku puas. Namaku tetap dicoret walaupun aku hadir, hanya saja terlambat datang. Aku kesal. Keluar dari kelas, aku langsung keruang rector. Sebagai aktivis tak sulit bagiku untuk menghadap beliau. Aku beberkan semua masalahku. Tak ketinggalan aku juga menceritakan perbuatan dosen (yang dulu, kuanggap sebagai kejelekannya) yaitu tindakan otoritasnya yang dengan sekehendak hati memindah-mindah jadwal kuliah. Juga alasan pembelaanku mengapa aku terlambat.
Setelah melaporkan semuanya, aku tak tahu lagi apa yg terjadi. Hanya saja setelah itu kurasa dosenku terlihat kaku dan diam saat mengajar. Dia juga terlihat memendam kesal kala menatap ke arahku. Aku jadi salah tingkah. Namun egoku mengatakan aku tak bersalah. Suatu ketika, dari seorang temanku aku tahu beliau menceritakan aku padanya. Katanya, sungguh disesalkan ada seseorang yang lebih mementingkan organisasi daripada kuliahnya. Beliau tak menyebut namaku. Tapi aku tahu itu adalah aku. Aku benci, dia masih menganggap dirinya benar dan menyalahkanku, apapun alasanku.
Kini aku sudah menyelesaikan semua mata kuliahku, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Aku juga tidak terlalu memikirkan. Sampai ketika aku mengambil transkrip nilai, aku kaget. Ternyata nilai mata kuliahku yang diajarkannya mendapat nilai A. tak seperti yang kubayangkan. Dulu aku yakin nilaiku pasti jelek oleh karena hubungan kami yang kurang baik. Aku termenung. Berusaha untuk menyadari segalanya. Perkataan yang diucapakannya pada temanku membuahkan satu pertanyaan. Apa tujuanku kuliah? Menuntut ilmu ataukah organisasi? Saat hatiku menjawab bahwa ilmulah yang harusnya kucari hatikupun luluh. “Ibu, maafkan aku” terus membatin di relungku.
Kini aku telah menikah, dari istriku yang merupakan adik tingkatku waktu kuliah. Aku tahu, dosenku itu juga pernah mengajarinya. Cara beliau mengajari sama seperti dulu, memindah jadwal yang berbenturan dengan aktivitasnya di luar kota. Hanya saja aku kaget sekali, beliau ternyata tidak pergi hanya untuk melanjutkan studynya saja (yang dulu menurutku beliau tidak professional dalam membagi waktu, tidak bisa membedakan antara kewajiban mengajar dengan kepentingan pribadi; melanjutkan study. Harusnya selesaikan study dulu baru mengajar atau mengajar yaa mengajar saja, tidak perlu belajar lagi), tetapi dia ternyat juga sekalian berobat penyakit yang dideritanya; selama ini beliau mengidap suatu penyakit, begitu kata istriku. Hatiku makin teriris mendengarnya.
Ibu, ternyata aku yang salah. Tolong maafkan aku….                           

Jumat, 26 Juli 2013

SEKOLAH DI JEPANG VS SEKOLAH DI INDONESIA ?





SAMBIL MENGISI WAKTU ISTIRAHAT YUK KITA BACA ARTIKEL INI.

SUDAHKAH ANDA TAHU ?
SUDAHKAH PAK MENDIKNAS KITA TAHU ?
SUDAHKAH PAK PRES KITA TAHU ?

SEKOLAH DI JEPANG VS SEKOLAH DI INDONESIA ?

Anak saya bersekolah di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) kota Tokyo, Jepang. Pekan lalu, saya diundang untuk menghadiri acara “open school” di sekolah tersebut. Kalau di Indonesia, sekolah ini mungkin seperti SD Negeri yang banyak tersebar di pelosok nusantara. Biaya sekolahnya gratis dan lokasinya di sekitar perumahan.

Pada kesempatan itu, orang tua diajak melihat bagaimana anak-anak di Jepang belajar. Kami diperbolehkan masuk ke dalam kelas, dan melihat proses belajar mengajar mereka. Saya bersemangat untuk hadir, karena saya meyakini bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari bagaimana bangsa tersebut mendidik anak-anaknya.

Melihat bagaimana ketangguhan masyarakat Jepang saat gempa bumi lalu, bagaimana mereka tetap memerhatikan kepentingan orang lain di saat kritis, dan bagaimana mereka memelihara keteraturan dalam berbagai aspek kehidupan, tidaklah mungkin terjadi tanpa ada kesengajaan. Fenomena itu bukan sesuatu yang terjadi “by default”, namun pastilah “by design”. Ada satu proses pembelajaran dan pembentukan karakter yang dilakukan terus menerus di masyarakat.

Dan saat saya melihat bagaimana anak-anak SD di Jepang, proses pembelajaran itu terlihat nyata. Fokus pendidikan dasar di sekolah Jepang lebih menitikberatkan pada pentingnya “Moral”. Moral menjadi fondasi yang ditanamkan “secara sengaja” pada anak-anak di Jepang. Ada satu mata pelajaran khusus yang mengajarkan anak tentang moral. Namun nilai moral diserap pada seluruh mata pelajaran dan kehidupan.

Sejak masa lampau, tiga agama utama di Jepang, Shinto, Buddha, dan Confusianisme, serta spirit samurai dan bushido, memberi landasan bagi pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi yang diajarkan adalah bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Dan filosofi ini sangat memengaruhi serta menjadi inti dari sistem nilai di Jepang.

Anak-anak diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan materi atau harta.

Di sekolah dasar, anak-anak diajarkan sistem nilai moral melalui empat aspek, yaitu Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self), Menghargai Orang Lain (Relation to Others), Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature & the Sublime), serta menghargai kelompok dan komunitas (Relation to Group & Society). Keempatnya diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak sehingga membentuk perilaku mereka.

Pendidikan di SD Jepang selalu menanamkan pada anak-anak bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat. Mereka perlu memerhatikan orang lain, lingkungan, dan kelompok sosial. Tak heran kalau kita melihat dalam realitanya, masyarakat di Jepang saling menghargai. Di kendaraan umum, jalan raya, maupun bermasyarakat, mereka saling memperhatikan kepentingan orang lain. Rupanya hal ini telah ditanamkan sejak mereka berada di tingkat pendidikan dasar.

Empat kali dalam seminggu, anak saya kebagian melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ia harus membersihkan dan menyikat WC, menyapu dapur, dan mengepel lantai. Setiap anak di Jepang, tanpa kecuali, harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Akibatnya mereka bisa lebih mandiri dan menghormati orang lain.
Kebersahajaan juga diajarkan dan ditanamkan pada anak-anak sejak dini. Nilai moral jauh lebih penting dari nilai materi. Mereka hampir tidak pernah menunjukkan atau bicara tentang materi.

Anak-anak di SD Jepang tidak ada yang membawa handphone, ataupun barang berharga. Berbicara tentang materi adalah hal yang memalukan dan dianggap rendah di Jepang.

Keselarasan antara pendidikan di sekolah dengan nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dan masyarakat juga penting. Apabila anak di sekolah membersihkan WC, maka otomatis itu juga dikerjakan di rumah. Apabila anak di sekolah bersahaja, maka orang tua di rumah juga mencontohkan kebersahajaan. Hal ini menjadikan moral lebih mudah tertanam dan terpateri di anak.

Dengan kata lain, orang tua tidak “membongkar” apa yang diajarkan di sekolah oleh guru. Mereka justru mempertajam nilai-nilai itu dalam keseharian sang anak.

Saat makan siang tiba, anak-anak merapikan meja untuk digunakan makan siang bersama di kelas. Yang mengagetkan saya adalah, makan siang itu dilayani oleh mereka sendiri secara bergiliran. Beberapa anak pergi ke dapur umum sekolah untuk mengambil trolley makanan dan minuman. Kemudian mereka melayani teman-temannya dengan mengambilkan makanan dan menyajikan minuman.

Hal seperti ini menanamkan nilai pada anak tentang pentingnya melayani orang lain. Saya yakin, apabila anak-anak terbiasa melayani, sekiranya nanti menjadi pejabat publik, pasti nalurinya melayani masyarakat, bukan malah minta dilayani.

Saya sendiri bukan seorang ahli pendidikan ataupun seorang pendidik. Namun sebagai orang tua yang kemarin kebetulan melihat sistem pendidikan dasar di SD Negeri Jepang, saya tercenung. Mata pelajaran yang menurut saya “berat” dan kerap di-“paksa” harus hafal di SD kita, tidak terlihat di sini. Satu-satunya hafalan yang saya pikir cukup berat hanyalah huruf Kanji.
Sementara, selebihnya adalah penanaman nilai.

Besarnya kekuatan industri Jepang, majunya perekonomian, teknologi canggih, hanyalah ujung yang terlihat dari negeri Jepang. Di balik itu semua ada sebuah perjuangan panjang dalam membentuk budaya dan karakter. Ibarat pohon besar yang dahan dan rantingnya banyak, asalnya tetap dari satu petak akar. Dan akar itu, saya pikir adalah pendidikan dasar.

Sistem pendidikan Jepang seperti di atas tadi, berlaku seragam di seluruh sekolah. Apa yang ditanamkan, apa yang diajarkan, merata di semua sekolah hingga pelosok negeri. Mungkin di negeri kita banyak juga sekolah yang mengajarkan pembentukan karakter. Ada sekolah mahal yang bagus. Namun selama dilakukan terpisah-terpisah, bukan sebagai sistem nasional, anak akan mengalami kebingungan dalam kehidupan nyata. Apalagi kalau sekolah mahal sudah menjadi bagian dari mencari gengsi, maka satu nilai moral sudah berkurang di sana.

Di Jepang, masalah pendidikan ditangani oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olah Raga, dan Ilmu Pengetahuan Jepang (MEXT) atau disebut dengan Monkasho. Pemerintah Jepang mensentralisir pendidikan dan mengatur proses didik anak-anak di Jepang. MEXT menyadari bahwa pendidikan tak dapat dipisahkan dari kebudayaan, karena dalam proses pendidikan, anak diajarkan budaya dan nilai-nilai moral.

Mudah-mudahan dikeluarkannya kata “Budaya” dari Departemen “Pendidikan dan Kebudayaan” sehingga “hanya” menjadi Departemen “Pendidikan Nasional” di negeri kita, bukan berarti bahwa pendidikan kita mulai melupakan “Budaya”, yang di dalamnya mencakup moral dan budi pekerti.

Hakikat pendidikan dasar adalah juga membentuk budaya, moral, dan budi pekerti, bukan sekedar menjadikan anak-anak kita pintar dan otaknya menguasai ilmu teknologi. Apabila halnya demikian, kita tak perlu heran kalau masih melihat banyak orang pintar dan otaknya cerdas, namun miskin moral dan budi pekerti. Mungkin kita terlewat untuk menginternalisasi nilai-nilai moral saat SD dulu. Mungkin waktu kita saat itu tersita untuk menghafal ilmu-ilmu “penting” lainnya.

Demikian sekedar catatan saya dari menghadiri pertemuan orang tua di SD Jepang.
Salam.

Sumber: edukasi.kompasiana.com

Bandingkan dengan SD kita yg masih saja sibuk dan meributkan ANAK-ANAK SD HARUS SUDAH BISA CALISTUNG dan KKM (nilai minimal naik kelas) ,PR BERTUMPUK, WAJIB IKUT LES PELAJARAN, REMIDIAL, TES dan UAN dll....dll